JADWAL SALAT & IMSAKIAH
Imsak
00:00
Subuh
00:00
Zuhur
00:00
Ashar
00:00
Magrib
00:00
Isya
00:00

Pinter Tapi Toxic? Saatnya Hadapi Si Brilliant Jerk!

Laporan: Sinpo
Rabu, 05 Maret 2025 | 12:12 WIB
Ilustrasi (Sinpo.id/freepik)
Ilustrasi (Sinpo.id/freepik)

Pernah kerja bareng orang yang jenius banget? Otaknya encer, idenya brilian, selalu bisa menyelesaikan pekerjaan dengan hasil luar biasa. Tapi, sayangnya... dia bikin suasana kerja jadi sumpek. Omongannya tajam, nggak bisa dikritik, dan setiap kali dia buka mulut, suasana tim langsung berubah tegang.

Di dunia kerja, orang seperti ini sering disebut brilliant jerk—individu yang cerdas dan produktif, tapi sayangnya, kehadirannya justru merusak harmoni tim.

Banyak perusahaan menghadapi dilema ini. Haruskah mereka mempertahankan si jenius yang menyebalkan ini karena kontribusinya besar? Atau lebih baik melepasnya demi kesehatan mental seluruh tim?

Ketika Kejeniusan Jadi Masalah

Netflix punya prinsip tegas soal ini: No brilliant jerks. The cost to teamwork is too high. Dalam budaya mereka, seberapa pun cerdasnya seseorang, kalau dia bikin kerja tim jadi kacau, lebih baik dilepas.

Kenapa? Karena satu orang dengan attitude buruk bisa merusak banyak hal. Motivasi tim bisa turun drastis, kreativitas terhambat, dan kerja sama yang seharusnya solid jadi penuh gesekan.

Bayangkan kamu punya rekan kerja yang perfeksionis dan selalu ingin hasil terbaik. Tapi kalau ada kesalahan sedikit, dia langsung nyinyir. Kalau ada ide yang menurutnya bodoh, dia langsung mencibir di depan orang lain. Awalnya, kamu mungkin menganggap itu bagian dari standar tinggi yang harus diikuti. Tapi lama-lama, bukannya berkembang, kamu justru makin takut berpendapat.

Bukan cuma kamu, tapi seluruh tim pun merasa hal yang sama. Kerja yang seharusnya menyenangkan jadi penuh tekanan. Ide-ide brilian yang seharusnya muncul malah tenggelam karena semua orang lebih memilih diam daripada menghadapi komentar pedasnya.

Pertahankan atau Lepaskan?

Sebagai pemimpin atau manajer, ini adalah keputusan yang sulit. Apalagi kalau kontribusi orang tersebut memang nggak bisa diremehkan. Tapi ada satu pertanyaan sederhana yang bisa membantu menentukan langkah:

"Apakah keberadaannya lebih banyak membawa manfaat atau justru merugikan?"

Kalau hasil kerjanya luar biasa tapi bikin tim nggak betah dan akhirnya banyak yang resign, apakah itu masih bisa disebut sebagai keuntungan? Kalau ide-idenya cemerlang tapi nggak ada yang mau bekerja sama dengannya, apakah itu masih bisa dibilang produktif?

Faktanya, banyak brilliant jerks sebenarnya nggak sadar kalau sikap mereka bermasalah. Mereka mungkin berpikir bahwa cara mereka yang blak-blakan itu efektif. Mereka menganggap itu sebagai bentuk kejujuran, tanpa menyadari bahwa kejujuran yang tanpa empati justru bisa merusak.

Solusi: Bukan Langsung Pecat, Tapi Ubah Pendekatan

Memecat seseorang selalu jadi opsi terakhir. Kalau masih ada peluang untuk memperbaiki, kenapa tidak dicoba dulu?

Salah satu cara efektif adalah memberi feedback yang jelas dan langsung. Bukan sekadar ngomong, "Kamu harus lebih baik," tapi benar-benar mengajak mereka melihat dampak dari sikap mereka. Misalnya, alih-alih bilang, "Kamu terlalu keras," coba katakan, "Kamu memang punya standar tinggi, tapi kalau disampaikan dengan cara yang lebih menghargai orang lain, hasilnya bisa jauh lebih baik."

Selain itu, coaching bisa jadi solusi. Banyak orang cerdas yang sebenarnya bisa berubah kalau diberi arahan yang tepat. Mereka hanya butuh perspektif baru tentang bagaimana bekerja dalam tim dengan lebih sehat.

Dan yang paling penting, perusahaan harus membangun budaya komunikasi yang terbuka. Jangan sampai orang-orang dalam tim memilih diam dan memendam rasa nggak nyaman. Kalau ada masalah, harus ada ruang untuk membicarakannya tanpa takut disalahkan.

Kejeniusan Itu Penting, Tapi Sikap Lebih Penting

Brilliant jerks memang sering bikin dilema. Mereka punya potensi luar biasa, tapi juga bisa jadi racun dalam tim. Apakah mereka harus dipertahankan atau dilepas? Jawabannya tergantung pada apakah mereka masih bisa berkembang dan beradaptasi.

Satu hal yang pasti: di dunia kerja, kepintaran saja nggak cukup. Keberhasilan sebuah tim nggak cuma bergantung pada satu individu yang jenius, tapi pada bagaimana semua orang bisa bekerja sama dengan nyaman.

Jadi, kalau kamu menemukan si brilliant jerk di tempat kerja, jangan langsung ambil keputusan drastis. Coba cari tahu apakah dia masih bisa diajak berubah. Karena kalau bisa? Dia bukan lagi brilliant jerk, tapi justru bisa menjadi brilliant leader.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI