Uang dan Kemewahan di Balik Vonis Bebas Ekspor CPO

Laporan: Tim Redaksi
Jumat, 18 April 2025 | 06:46 WIB
Ilustrasi (Wawan Wiguna/SinPo.id)
Ilustrasi (Wawan Wiguna/SinPo.id)

Setelah menerima uang suap, Arif menunjuk para hakim yang akan mengadili terdakwa korporasi CPO. Para hakim itu turut disuap agar memberikan vonis lepas kepada terdakwa korporasi.

SinPo.id -  Uang ribuan dolar Singapura hingga mata uang Ringgit ditemukan saat Kejaksaan Agung menggeledah lima tempat di Jakarta, terkait vonis perkara ekspor crude palm oil (CPO). Uang itu diduga bukti suap terhadap majelis hakim yang memutus perkara bebas sejumlah perusahaan pengolah sawit pada pada 19 Maret 2025.

"Dollar Singapura (SGD) 40 ribu, US$ 5.700, 200 Yuan, Rp 10,804 juta disita dari rumah WG di Villa Gading Indah," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar, Ahir pekan, 13 April lalu.

Tak hanya itu, Jaksa juga menyita uang senilai Rp136,95 juta dari rumah milik AR serta tas milik MAN yang isinya ditemukan sejumlah uang dolar lainnya. Selain uang, terdapat sejumlah mobil mewah lain sehingga total mencapai Rp60 miliar.

"Bilat ditotal jumlah barang bukti yang diamanlan itu mencapai Rp60 miliar," ujar Qohar menambahkan.

Beberapa hari berikutnya Kejagung kembali menyita 29 mobil dan motor mewah milik Ariyanto Bakrie (AR) yang kaitannya sama dengan dugaan suap kasus tersebut. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengungkapkan, selain mobil dan motor mewah dan tujuh sepeda kayuh mewah.

"Jadi dari AR itu setidaknya ada tujuh mobil mewah dengan 21 kendaraan bermotor dan tujuh unit sepeda," kata Harli.

Harli menjelaskan, puluhan kendaraan mewah milik Ariyanto Bakrie yang sering dipamerkan di media sosial tersebut berkaitan dengan kasus suap CPO. Selain dari rumah Ariyanto Bakrie, Kejagung juga menyita sejumlah barang mewah dari hakim Ali Muhtarom, termasuk satu unit mobil Toyota Fortuner.

Barang bukti akan dihitung dan dicocokkan dengan jumlah suap dalam kasus tersebut. Selain penggeledahan, kini Kejagung menambah lagi seorang tersangka  suap vonis lepas korupsi CPO, menjadi delapan orang.

Penerima Suap dari Bos Sawit

Kasus suap terhadap hakim Muhammad Arif Nuryanta melibatkan Marcella Santoso (MS) dan Ariyanto (AR), serta Wahyu Gunawan (WG), panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Temuan suap sang pengadil itu awalnya ketika  Kejagung menetapkan tiga perusahaan minyak sawit, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group yang ditetapkan tersangka korporasi pada 16 Juni 2023 lalu.  

Kejagung menuntut ketiga terdakwa korporasi denda uang pengganti kerugian negara sebanyak Rp17,7 triliun. Namun oleh hakim PN Jakarta Pusat mereka divonis "onstslag" atau lepas terhadap dari dugaan korupsi ekspor CPO.

Muhammad Arif Nuryanta kini menjabat ketua PN Jaksel, saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Kapus. Ia diduga menerima suap dari  Marcella Santoso dan Ariyanto senilai Rp60 miliar yang disalurkan melalui Wahyu Gunawan, yang berperan sebagai perantara. Suap itu diberikan dengan tujuan agar Arif menjatuhkan putusan lepas (onstslag) bagi tiga perusahaan tersebut.

"Penyidik menemukan fakta dan alat bukti bahwa MS dan AR memberikan suap atau gratifikasi kepada MAN sebanyak Rp 60 miliar, yang diterima melalui WG. Pemberian suap ini untuk memastikan majelis hakim menjatuhkan putusan onstslag," ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar.

Hakim Muhammad Arif Nuryanta berperan menunjuk para hakim yang mengadili terdakwa korporasi kasus minyak goreng. Praktik suap diawali ketika  Ariyanto selaku pengacara terdakwa korporasi CPO menyerahkan uang senilai Rp60 miliar dalam bentuk dolar Amerika kepada panitera muda pada PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan. Oleh Wahyu uang tersebut diteruskan ke Arif.

"Uang sejumlah Rp60 miliar ini, kita kurskan ya karena yang yang diserahkan uang dollar Amerika Serikat, diserahkan kepada Muhammad Arif Nuryanto, dan pada saat itu Wahyu Gunawan diberi oleh Muhammad Arif Nuryanto sebesar 50 ribu USD sebagai jasa penghubung," ujar Qohar membacakan kronologi kasus itu.

Setelah menerima uang suap, Arif menunjuk para hakim yang akan mengadili terdakwa korporasi CPO. Para hakim ini turut disuap agar memberikan vonis lepas kepada terdakwa korporasi.

Setelah uang tersebut diterima Muhammad Arif Nuryanto, kemudian yang bersangkutan menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menunjuk majelis hakim yang terdiri dari DJU (Djuyamto) sebagai ketua majelis, kemudian AL (Ali Muhtaro) sebagai Hakim adhoc dan ASB (Agam Syarif Baharudin) sebagai anggota majelis.

Selain Arif dan para penyuap, Kejagung juga menetapkan tiga hakim yang sebelumnya ditunjuk Arif untuk menangani sidang, mereka  hakim Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtaro, dan Djuyamto.

"Dan terkait dengan putusan onslag tersebut, penyidik menemukan fakta dan alat bukti bahwa MS dan AR melakukan perbuatan pemberian suap dan atau gratifikasi kepada MAN sebanyak, diduga sebanyak Rp 60 miliar," kata Qohar.

Majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili kasus ini lalu memvonis lepas kepada tiga terdakwa korporasi itu pada 19 Maret 2025. Vonis itu berbeda jauh dengan tuntutan yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum yang menuntut uang pengganti sebesar Rp937 miliar kepada Permata Hijau Group, uang pengganti kepada Wilmar Group sebesar Rp11,8 triliun, dan uang pengganti sebesar Rp4,8 triliun kepada Musim Mas Group.

"Jadi perkaranya tidak terbukti, walaupun secara unsur memenuhi pasal yang didakwakan, tetapi menurut pertimbangan majelis hakim bukan merupakan tindak pidana," katanya.

Qohar mengatakan Arif Nuryanta menggunakan jabatannya sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat saat itu dalam mengatur vonis lepas kepada tiga terdakwa korporasi kasus korupsi minyak goreng.

Rawan Menerima Suap

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Muhammad Yassar menyebut kasus suap hakim sering terjadi. Bahkan sejak tahun 2011 hingga tahun 2024 menunjukkan terdapat 29 hakim yang ditetapkan sebagai tersangka akibat menerima suap untuk mempengaruhi hasil putusan.

"Jika ditotal, jumlah suapnya menyentuh angka sekitar Rp 108 miliar," ujar Yassar, dikutip dari BBC News Indonesia.

Yassar menekankan perlunya kecermatan dalam mengawasi kasus korupsi yang melibatkan korporasi besar, terutama di sektor ekstraktif. "Jangan-jangan selama ini ada kasus-kasus lain di mana korporasi sebetulnya melakukan tindak pidana korupsi, tetapi kasusnya kemudian dipesan menggunakan modus suap-menyuap," ujar Yassar menegaskan.

Sedangkan Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) La Ode Syarif mengatakan, munculnya suap hakim dalam vonis perkara ekspor crude palm oil (CPO) menjadi alasan Mahkamah Agung mengeluarkan tangan besi dalam menangani hakim yang melanggar.

"Kalau tidak, hal seperti ini akan terus terjadi. Saya sangat berharap kepada pimpinan MA supaya betul-betul zero tolerance terhadap hakim-hakim yang melanggar hukum. Seharusnya dibebastugaskan saja semuanya," ujar La Ode. (*)

BERITALAINNYA
BERITATERKINI