pojok sin po

Pecinan Semarang, Tergeser Kebijakan Kolonial Terbentuk Sentra Ekonomi

Laporan: Sinpo
Sabtu, 17 Agustus 2024 | 09:39 WIB
Kawasan Pecinan Kota Semarang, (SinPo.id/ C.P.Soesanto)
Kawasan Pecinan Kota Semarang, (SinPo.id/ C.P.Soesanto)

SinPo.id -  Aura perdagangan begitu terasa di kawasan Pecinan Kota Semarang oleh aktivitas transaksi dan menjaja di sejumlah Rumah Toko (Ruko) yang berjajar di sepanjang jalan. Sejumlah Ruko dengan aneka khas yang dijajakan itu terjajar dari Jalan KH Wahid Hasyim hingga Jalan Gang Warung Semarang Tengah. Kawasan itu juga indentik dengan gang kecil sebagai kampung pemukiman sekaligus tempat berbisnis masyarakat Tionghoa. Kawasan pecinan di Kota Semarang itu menjadi salah satu sentral perdagangan di Ibu Kota Jawa Tengah.

Kemeriahan perputaran bisnis di Pecinan menyimpan cerita kelam sebagai kampung yang digeser pemerintah kolonial Belanda ketika berkuasa.  Leo Suryadinata dalam buku Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, menyebut kampung Pecinan hadir ketika tangsi-tangsi militer didirikan di tepi timur muara Kali Semarang.

Tangsi militer juga mencari keuntungan memungut pajak dari kapal yang masuk lewat muara Kali Semarang. Dengan kekuatan penuh kolonialisasi Belanda, kawasan tersebut menjadi wilayah pesakitan bagi warga Tionghoa.

"Pertengahan abad 17, pemerintah kolonial menguasai semua kapal yang masuk kali Semarang," tulis Leo Suryadinata dalam buku Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia.

Pungutan pajak secara paksa tangsi militer kolonial saat itu meresahkan masyarakat, termasuk warga Tionghoa yang mendiami hilir sungai di wilayah Simongan. Meluasnya teritori tangsi militer kolonial khususnya wilayah sungai, juga berujung pada perampasan wilayah.

Kondisi itu menimbulkan reaksi keras dari warga Tionghoa yang sama-sama memanfaatkan tranportasi sungai untuk distribusi barang perdagangan menuju beberapa lokasi. Gesekan antara tengsi militer kolonial dengan kelompok Tionghoa pun semakin memanas. Kondisi tersebut berujung perlawanan masyarakat Tionghoa yang tinggal di Simongan secara sporadis menyerang tangsi militer kolonial menguasai wilayah sungai.

Namun karena kalah dalam hal persenjataan dan jumlah pasukan, masyarakat Tionghoa di kawasan Simongan terpaksa megibarkan bendera putih tanda kekalahan.  "Dari kekalahan tersebut, masyarakat Tionghoa dipindahkan. Semula dari Simongan ke arah utara, tepatnya di sisi timur sungai dekat tangsi militer kolonial," tulis Leo lebih lanjut.

Pemindahan pemukiman oleh pemerintah kolonial itu bertujuan memudahkan pengawasan pergerakan masyarakat Tionghoa di Kota Semarang. Masyarakat Tionghoa ditempatkan dalam satu wilayah berdasarkan etnis yang kini dikenal sebagai Pecinan Kota Semarang.

David Bulbeck dalam buku Chinese Economic Activity in Netherlands India, menyebut kolonisasi pemukiman tak hanya diterapkan untuk Etnis Tionghoa, namun etnis lainnya seperti Arab, Jawa hingga golongan Eropa dikelompokkan dalam pemukiman terpisah.

"Pemukiman berdasarkan etnis itu ditetapkan 1672," tulis David Bulbeck.

Jika golongan Eropa diberi tempat khusus di wilayah Semarang atas yang sekarang menjadi wilayah Candi Kota Semarang.  Pemukiman Etnis Tionghoa, Arab dan Jawa dipusatkan di dalam benteng yang dikuasai oleh militer kolonial.

Lokasi tersebut juga menjadi pusat pemerintahan kolonial di Kota Semarang atau Kota Benteng, yang sekarang dikenal sebagai Kota Lama Semarang.

Kota Benteng merupakan wilayah yang dikelilingi tembok dan parit yang cukup lebar untuk memisahkan pemukiman antar etnis. Gambaran lokasi tersebut bisa dilihat pada peta koleksi atlasofmutualheritage.nl tahun 1741.

Pecinan, Kampung Penghubung dan Pemersatu Komunitas Kota

Pada abad 18 kekuasaan pemerintah kolonial meluas, bahkan meliputi daerah antara daerah Stradt, yang kini dikenal dengan Jalan Raden Patah sampai kawasan Tawang di Kota Semarang. Sedangkan kota benteng pada waktu itu dikelilingi tembok dengan empat pintu masuk ke dalam kota yang dilengkapi lima menara pemantau.

Kondisi masa lampau itu dibenarkan oleh Wijanarka dalan buku Semarang Tempo Dulu, Teori Desain Kawasan Bersejarah. Dalam bukunya, Wijanarka menyebutkan terdapat empat pintu masuk meliputi Gouvernements Burg atau disebut juga Sosieteit Burg atau dekat Jembatan Berok, de Cost Port, de Punt Amsterdam, dan de Tawangs Punt.

Sebagai kawasan pelabuhan, kala itu Semarang berkembang pesat. Bahkan menjadikan kota itu sebagai pusat perekonomian pemerintah kolonial di Jawa. Hal tersebut berdampak pada kehidupan Etnis Tionghoa yang hidup di tiga penjuru di dalam Kota Benteng, yaitu Pecinan Lor atau utara, Pecinan Kidul atau selatan dan Pecinan Kulon atau barat.

Beriringan dengan kemajuan Kota Benteng, kawasan Pecinan memperlihatkan perannya di sektor ekonomi. Daerah Pecinan Lor misalnya, merupakan daerah penghubung antara bagian kawasan pecinan lainnya dengan Pasar Padamaran dan wilayah luar Kota Benteng.

Sejumlah gang kampung di kawasan pecinan juga ikut berkembang, bahkan beberapa gang berubah nama. Seperti Gang Mangkok sebelumnya bernama Oa-kee. Kemudian Say-kee berubah menjadi Gang Belakang karena letaknya di belakang kawasan pecinan. Hoay-kee berubah menjadi Gang Cilik karena struktur ukuran jalannya paling kecil dibandingkan jalan-jalan yang ada di kawasan pecinan.

Kang-kee sekarang lebih dikenal dengan Gang Lombok karena dulu di daerah ini banyak tanaman lombok atau cabai. Pada akhir abad ke-17 rumah-rumah bagus berarsitektur Thionghoa mulai dibangun tembok di Gang Warung dan Gang Pinggir.  Sejumlah klenteng juga dibangun untuk menunjang aktivitas masyarakat kegiatan religi. Sejumlah klenteng itu yang dibangun itu menjadi ciri dan identitas serta citra kawasan pecinan.

Etnis Tionghoa juga mulai berdagang dan membangun Ruko di gang-gang pemukiman yang mereka tempati. Kondisi tersebut tergambar pada foto yang diabadikan GCT van Dorp & Co, Semarang sekitar tahun 1910 yang diberi judul Chineesche Kamp Semarang.

"Sebagai salah satu kota besar di pantai utara Jawa, sejak tahun 1695 jumlah penduduk Tionghoa di Semarang merupakan jumlah terbesar di Jawa. Kawasan Pecinan Semarang sebagai komplek permukiman masyarakat Tionghoa yang memiliki 8 kelenteng," tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya.

Meski pemerintah kolonial mengelompokkan pemukiman berdasarkan etnis, namun sinergitas antar etnis di pecinan dan sekitarnya tetap terjalin baik.Yang menarik, toleransi antar etnis justru terbangun lebih kuat.

Bahkan menurut pemerhati budaya dan sejarah Kota Semarang, Asrida Ulinuha, pengelompokan pemukiman menjadikan kawasan Pecinan Kota Semarang menjadi kawasan multikultural. Menurut Asrida, dari sudut pandang antropologi masyarakat di Pecinan Kota Semarang tidak bisa lepas dari etnis lainya. Hal itu ditambah dengan kemiripan nasib dan kebudayaan, membuat masyarakat di Pecinan Kota Semarang mulai bekerjasama dengan etnis lainnya.

"Dari abad 17, sinergi itu terjalin hingga sekarang. Bahkan terjadi akulturasi budaya, satu di antaranya Lontong Cap Go Meh," ujar Asrida.

Sedangkan Sumarjo seorang warga Gang Baru Pecinan Kota Semarang mengakui itu. Meski Pecinan Kota Semarang diisi oleh masyarakat Tionghoa, namun hubungan antar etnis yang ada di wilayah sekitar berjalan baik.

“Saat Imlek 1977, di mana masyarakat Tionghoa disuguhi tontonan wayang oleh masyarakat Jawa,” ujar Sumarjo, mengenang hubungan baik kala itu.

Tak hanya itu, ketika Idhul Fitri dan Natal, masyarakat Tionghoa juga mendatangi satu persatu rumah warga yang merayakan. Meski kala itu orde baru dengan stigma negatif bagi masyarakat Tionghoa, namun warga Pecinan tidak merasa ada batasan.  “Baik masyarakat Tionghoa, Jawa, Arab dan lainnya tetap bersama-sama menjalankan kebudayaan masing-masing," kata Sumarjo. (*)

 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI