Amoye Madai dan Mimpi Kesetaraan Pendidikan Pedalaman
Video haru seorang pemuda di Papua yang bercita-cita menjadi guru di akun Tik-Toknya pada 21 Agustus 2024 lalu. Video itu menampilkan pemuda panggilan Amoye Madai yang mendedikasikan diri mengajar di sekolah pedalaman. Ketulusan pemuda Bernama lengkapi Leonardo Madai didasari kondisi tempat tinggalnya tidak ada satu orang pun guru yang mengajar.
Amoye sebenarnya mendaftar kuliah di Universitas Muhammadiyah Sorong (Unimuda) Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, ia berharap setelah lulus dapat mencerahkan anak-anak di kampung halamannya.
Impian Amoye Madai yang viral itu menuai pujian dari warganet. Pemuda asli Papua Tengah tersebut berharap di kampung halamannya kelak ada seorang guru yang bisa mengajar.
Amoye adalah potret generasi muda yang bermimpi dengan pendidikan dapat mengubah lingkungan di tempat tinggalnya. Tercatat Papua Tengah merupakan salah satu kawasan daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T).
Ia hadir oleh dorongan jiwa ketika persoalan akses pendidikan di Papua belum sepenuhnya terjangkau. Amoye sebagai pemuda lokal yang sadar dan komitmen kuat agar akses pendidikan bisa dinikmati masyarakat Papua.
Ihtiyar Pendidikan di Pedalaman Papua
Amoye Madai adalah satu dari sekian pemuda di Papua Tengah yang merasakan pengalaman pedagogis itu dalam konvergensi pendidikan. Artinya generasi muda di sana menjadi praktik baik konvergensi pedagogis yang memadukan unsur bakat, kemampuan dan lingkungan sosial secara empiris.
Meski diakui masih ada pemuda-pemudi di kawasan Indonesia yang mungkin nasib dan cita-citanya sama dengan Amoye Madai ingin mengangkat martabat kampung halamannya.
Di sisi lain kehadiran Unimuda Sorong, kampus tempat Amoye belajar selama ini, hanya salah satu perguruan tinggi di kawasan Indonesia Timur yang ditilik dari kacamata konvergensi pendidikan adalah pengalaman dan ekspresi pedagogis yang saling mengisi dan berinteraksi antara kaum muslim dan non-muslim dalam bingkai pendidikan.
Ini adalah peran pendidikan Muhammadiyah yang menurut Abdul Mu’ti dalam bukunya Kristen Muhammadiyah, sebagai wujud pengabdian mencerdaskan anak bangsa yang dibalut dengan kerukunan antar umat beragama dan persatuan bangsa.
Persoalan Pendidikan di Papua
Meski diakui Pemerintah pusat dalam hal ini Kemendikbud mengaktivasi sejumlah kebijakan pendidikan untuk Papua dengan sejumlah program melalui Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM), Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik) dan tunjangan khusus daerah 3T untuk pendidik dan tenaga kependiidkan dan pendirian PTN baru.
Hal itu mengacu temuan lain menunjukan indikator pendidikan di Papua yang digambarkan BPS tahun 2023, disebabkan adanya kesenjangan jumlah peserta didik berdasarkan status sekolah.
Berdasarkan laporan tersebut, kesenjangan jumlah peserta didik antara sekolah negeri dan swasta terutama untuk jenajang SMP dan SMA di tahun ajaran 2023/2024 tak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan tahun ajaran sebelumnya.
Penyebabnya distribusi jumlah sekolah negeri dan sekolah swasta yang tidak seimbang. Persentase siswa SMP negeri dan SMP swasta yaitu 74,38 persen berbanding 25,62 persen, mengikuti persentase SMA negeri dan SMA swasta masing-masing sebesar 69,46 persen dan 30,54 persen.
Masalah pendidikan di Papua masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Tentu ini perlu melibatkan para pemangku kepentingan agar anak-anak Papua dan daerah terpencil lainnya bisa mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas.
Minimnya jumlah tenaga pengajar dan fasilitas pendidikan di Papua adalah fakta yang sama persis disampaikan oleh Amoye Madai ketika bermimpi ingin menjadi guru.
Anak Papua dan generasi muda lainnya, sangat menanti komitmen pemerintah untuk pendidikan yang merdeka bagi semua. Amoye Madai yang berani tampil secara online adalah mimpi yang melampaui batas-batas geografis Indonesia. Ia punya hak yang sama dengan anak-anak muda lainnya di seluruh Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Kemendikbud mencatat bahwa melalui program afirmasi pendidikan, disebutkan lebih dari 5.000 anak Papua dan daerah 3T telah melanjutkan sekolah SMA dengan beasiswa ADEM (2020-2024). Sebanyak 5.000 anak Papua dan daerah 3T juga bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dengan beasiswa ADik selama empat tahun terakhir.
Namun mengapa angka melek huruf di Papua masih rendah yaitu sebanyak 84,22%. Adapun terendah lainnya yaitu Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur yakni 89,11% dan 93,7%. Sementara itu, Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia sebesar 96,53% pada 2023. Dari angka itu menggambarkan 96 dari 100 penduduk dewasa di Indonesia memiliki kemampuan membaca dan menulis.
Masih absennya negara di Papua memantik percepatan pendidikan di Papua hingga masa kerja Kemendikbud berakhir di Oktober 2024. Anggaran 20 persen di sektor pendidikan di kabinet yang akan datang perlu memprioritaskan kembali kawasan 3T sebagai target percepatan akses pendidikan.
Muhadjir Effendy menteri pendidikan sebelum Nadiem Makarim, mengatakan bahwa pendidikan untuk semua pada prinsipnya untuk memperkecil kesenjangan pendidikan yang ada di Indonesia. Kesenjangan itu meliputi tiga hal yaitu, kesenjangan struktural, kesenjangan kultural dan kesenjangan spasial.
Ketiga kesenjangan di atas sejatinya dapat diupayakan untuk bisa diakses dan dibuktikan dengan pendekatan politik dan ekonomi melalui kebijakan yang berpihak, sehingga masyarakat risiko seperti yang dikatakan Ulrich Beck, tidak dialami secara panjang durasi waktunya bagi saudara-saudara kita yang membutuhkan akses pendidikan.
Meski resiko dan ketidakpastian salah satunya ditandai dengan probabilitas fisik (manusia dan infrastuktur), akan lebih berbahaya lagi jika generasi muda di Papua dan kawasan 3T lainnya tidak memiliki kepastian masa depan. Ketidakpastian akses pendidikan tidak hanya bahaya aktual, lebih dari itu merupakan bahaya laten yang senantiasa potensial yang memutus harapan besar generasi muda Indonesia. (*)
* Penulis, Dosen Uhamka dan Pegiat Filantropi Lazismu