Memperbincangkan Angkatan Puisi Esai

Laporan: Tim Redaksi
Senin, 16 Desember 2024 | 13:46 WIB
Peneliti LSI, Denny JA (Sinpo.id/Dok: Pribadi)
Peneliti LSI, Denny JA (Sinpo.id/Dok: Pribadi)

“Di setiap gelombang sejarah, sastra adalah saksi. Kadang ia bersuara lembut seperti bisik angin, kadang ia menjerit seperti badai. Tapi selalu, ia mencatat jejak jiwa manusia.”

Kutipan ini mengingatkan kita akan kekuatan sastra sebagai kronik yang tidak hanya mencatat peristiwa, tetapi juga emosi dan makna di baliknya. Puisi, dengan keindahan bahasanya, memiliki peran istimewa sebagai jembatan antara yang nyata dan imajinatif, antara fakta dan rasa.

Maka, ketika sebuah genre sastra baru seperti puisi esai muncul, ia bukan hanya menyentuh kata-kata, tetapi juga membuka ruang baru untuk pengalaman kolektif manusia.

Topik ini menjadi salah satu pembahasan utama dalam Festival Puisi Esai Jakarta ke-2, tahun 2024, di PDS HB Jassin, TIM. Lahirnya Angkatan Puisi Esai adalah momen penting dalam sejarah sastra Indonesia.

Angkatan ini didokumentasikan dalam empat buku tebal dengan total sekitar 2000 halaman, yang masing-masing mencatat perjalanan dan pencapaian genre ini.

Buku-buku itu menjadi bukti fisik sebuah gerakan besar, seperti kompas yang menandai arah baru sastra Indonesia, sekaligus ruang bagi dialog kritis tentang inovasi estetika, narasi sosial, dan relevansi sastra modern.

Angkatan Puisi Esai adalah fenomena unik dalam sejarah sastra, disebut sui generis oleh pengamat sastra Jerman, Berthold Damshäuser, karena menjadi angkatan pertama yang dinamai berdasarkan genre.

Menurut Berthold, ini adalah genre yang berkembang pesat dalam waktu singkat, melintasi batas Indonesia hingga Malaysia, Brunei, Thailand, dan Singapura. Ia juga mencatat bahwa belum pernah ada genre sastra sebelumnya yang digagas oleh satu individu dan mencapai dampak sebesar ini.

Agus R. Sarjono menegaskan bahwa sejak Angkatan 2000, hanya Puisi Esai yang menjadi inovasi besar dalam sastra Indonesia. Dimulai dari buku Atas Nama Cinta karya Denny JA pada 2012, genre ini telah melahirkan banyak karya dengan estetika dan tema serupa.

Agus menambahkan bahwa polemik yang melibatkan Puisi Esai melampaui semua perdebatan sastra sebelumnya, mencerminkan pengaruh besarnya.

Agus Sarjono adalah tokoh pertama yang mendeklarasikan lahirnya Angkatan Puisi Esai. Ia sudah menyatakannya pada Festival Puisi Esai ASEAN di Sabah ke-3, Juni 2024 lalu.

Agus pula yang memimpin penulisan 4 seri buku Angkatan Puisi Esai, yang total tebalnya sekitar 2000 halaman.

Jamal D. Rahman memandang bahwa masa depan Angkatan Puisi Esai bergantung pada generasi muda, khususnya Gen Z yang akrab dengan AI dan media sosial. Ia memuji inklusivitas genre ini, yang membuka ruang bagi orang dari berbagai latar belakang untuk menulis, sehingga menghapus eksklusivitas dunia kepenyairan dan mendukung keberlanjutan genre.

Agus melihat Angkatan Puisi Esai sebagai sebuah momen besar dalam sejarah sastra Indonesia. Ia menegaskan bahwa genre ini memiliki estetika yang khas: narasi panjang, tema sosial yang kuat, dan penggunaan catatan kaki sebagai elemen integral.

Agus juga menekankan bagaimana Puisi Esai telah melampaui batas Indonesia, diterima di Malaysia, Brunei, dan Singapura, menjadikannya gerakan sastra pertama di Indonesia yang benar-benar transnasional.

Berthold, seorang akademisi dan pengamat sastra dari Jerman, awalnya skeptis terhadap genre ini. Namun, ia kemudian mengakui kekuatan inovatif Puisi Esai.

Baginya, genre ini adalah sui generis — unik dan tak terbandingkan. Ia mencatat bahwa tidak pernah ada genre sastra lain yang tumbuh begitu pesat dan diterima luas, bahkan menembus konteks global, sejak awal digagas oleh satu individu.

Dalam esainya yang terpisah, Ahmad Gaus menyoroti pentingnya Puisi Esai sebagai jembatan antara sastra dan masyarakat luas. Dengan gaya narasi yang mudah diakses dan tema-tema yang relevan, Puisi Esai membuka pintu bagi mereka yang sebelumnya merasa terasing dari dunia sastra.

Ia menegaskan bahwa genre ini tidak hanya menjadi milik penyair, tetapi juga politisi, akademisi, dan masyarakat umum, menjadikannya sebuah gerakan literasi inklusif yang menyegarkan.

Juga dalam esai terpisah, Imam Qalyubi melihat Puisi Esai sebagai ijtihad sastra. Ia menyoroti riset mendalam yang dilakukan Denny JA sebelum memperkenalkan genre ini, yang mencerminkan kebutuhan masyarakat terhadap karya sastra yang relevan dan mudah diakses.

Baginya, Puisi Esai tidak hanya estetika tetapi juga cara baru untuk menghidupkan dialog sosial yang selama ini terabaikan oleh sastra konvensional.

Juga dalam esai lain, Joni menggunakan metafora yang kuat: kisah Luqmanul Hakim dan keledainya. Seperti Luqman yang tidak pernah bisa menyenangkan semua orang, Puisi Esai menghadapi kritik keras sejak awal kemunculannya.

Namun, ia menegaskan bahwa genre ini terus berkembang karena keyakinan pada kebaikan yang dibawanya. Joni juga memuji fleksibilitas Puisi Esai yang memungkinkan berbagai ekspresi seni lintas media, dari film pendek hingga teater.

Kritik dan Respon terhadap Lahirnya Angkatan Puisi Esai

Salah satu kritik paling kuat terhadap Angkatan Puisi Esai adalah bahwa genre ini dianggap terlalu by design atau hasil rekayasa, yang dibangun melalui pendanaan besar dan promosi sistematis, sehingga tidak mencerminkan organiknya pertumbuhan sastra.

Kritikus menilai bahwa keberadaan Angkatan Puisi Esai lebih dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi dan politik daripada oleh keaslian artistik atau respon alami masyarakat sastra.

Selain itu, adanya penggunaan catatan kaki dan unsur prosa dalam Puisi Esai juga sering dianggap merusak esensi puisi itu sendiri. Beberapa pengamat mengklaim bahwa genre ini lebih menyerupai esai dengan format berlarik-larik daripada puisi sejati, sehingga estetika puitisnya diragukan.

Namun, argumen bahwa Angkatan Puisi Esai adalah hasil rekayasa tidak sepenuhnya meniadakan nilainya.

Banyak inovasi dalam sejarah sastra lahir dari desain terencana, termasuk manifesto para penyair modernis atau gerakan sastra avant-garde.

Keberhasilan Angkatan Puisi Esai melibatkan lebih dari sekadar promosi; ia membuktikan relevansinya dengan melahirkan ratusan karya, menciptakan perdebatan luas, dan diterima lintas negara, dari Malaysia hingga Singapura.

Keberlanjutan genre ini selama lebih dari satu dekade membuktikan bahwa substansinya mampu melampaui kritik.

Mengenai estetika puitis, puisi selalu berevolusi. Kritik terhadap Puisi Esai mengingatkan pada penolakan terhadap puisi bebas ketika pertama kali diperkenalkan. Catatan kaki dalam Puisi Esai tidak merusak puitisasi, melainkan menawarkan perspektif baru dengan menggabungkan fakta dan imajinasi.

Inovasi ini memungkinkan sastra menjadi lebih inklusif, menjangkau pembaca dari berbagai latar belakang dan menciptakan ruang baru untuk dialog sosial.

Kini Komunitas Puisi Esai memiliki dua festival tahunan. Pertama, Festival Puisi Esai ASEAN yang pada tahun 2024 sudah berlangsung tiga kali. Kedua, Festival Puisi Esai Jakarta, yang sudah berlangsung dua kali.

Terminologi “Puisi Esai” juga sudah menjadi kata baru dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sejak tahun 2020. Komunitas Puisi Esai mulai meluas tak hanya di Indonesia, dari Aceh sampai Papua, dan ASEAN, kini juga sampai ke Kairo, Mesir.

Tak hanya berhenti di generasi Baby Boomers dan milenial, kini 181 penulis Gen Z juga menulis Puisi Esai.

Komunitas puisi esai ini juga sudah melahirkan hampir 200 buku, yang mengeksplorasi aneka TRUE STORIES isu sosial. Kini komunitas puisi esai dilembagakan dengan dukungan dana abadi.

Mengapa Penting Lahirnya Sebuah Angkatan Sastra?

Lahirnya Angkatan Puisi Esai tidak hanya menjadi tonggak penting dalam sastra Indonesia, tetapi juga mencerminkan kebutuhan fundamental dalam dunia sastra. Setidaknya ada tiga alasan mengapa lahirnya sebuah angkatan itu penting:

Pertama, mengabadikan Momen dan Identitas Zaman. Angkatan sastra adalah cermin dari zaman. Ia tidak hanya mengabadikan karya-karya individual, tetapi juga mencatat perubahan sosial, budaya, dan politik yang membentuk generasi tertentu.

Angkatan Puisi Esai menjadi saksi momen pasca-Reformasi, di mana tema diskriminasi, suara kaum terpinggirkan, dan keadilan sosial menjadi relevan.

Kedua,  menciptakan Ruang Dialog Kolektif. Angkatan sastra membuka ruang bagi para penulis untuk berinteraksi, berbagi gagasan, dan saling menginspirasi. Puisi Esai telah memicu perdebatan luas, baik di Indonesia maupun internasional, tentang batas-batas genre, fungsi sastra, dan perannya dalam masyarakat modern.

Ketiga, Menghadirkan Inovasi Estetika Untuk Isu Sosial.  Dengan menggabungkan puisi, narasi, dan fakta historis, Puisi Esai memperkenalkan bentuk baru yang kaya akan potensi. Kehadirannya memecahkan kebekuan estetik dan menciptakan alternatif segar bagi pembaca dan penulis sastra.

“Di setiap karya, sastra bukan hanya menuliskan kata, tetapi melahirkan dunia baru.”

Angkatan Puisi Esai bukan hanya tentang genre baru, tetapi juga tentang sebuah gerakan yang menawarkan ruang bagi kreativitas, refleksi, dan dialog. Seperti gelombang yang terus meluas, Puisi Esai adalah undangan untuk menjelajahi batas-batas baru, menjadikan sastra tidak hanya relevan, tetapi juga transformatif.

*Denny JA , Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI)

BERITALAINNYA
BERITATERKINI