Perubahan Iklim Sebabkan Banjir Jabodetabek Tak Lagi Siklus Lima Tahunan

Laporan: Tio Pirnando
Senin, 24 Maret 2025 | 17:43 WIB
Ilustrasi masyarakat mengendarai motor melintas banjir Jakarta (SinPo.id/ Ashar)
Ilustrasi masyarakat mengendarai motor melintas banjir Jakarta (SinPo.id/ Ashar)

SinPo.id - Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menekankan pentingnya pemahaman mendalam tentang pengaruh iklim dan cuaca terhadap kehidupan manusia. Hal ini diperlukan agar seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat dapat melakukan mitigasi, pencegahan, dan pengurangan risiko bencana secara efektif.

"Kekeringan dan banjir adalah dua sisi mata uang dari perubahan iklim. Keduanya akan semakin parah dan terus berlanjut setiap tahunnya," ujar Dwikorita dalam Webinar  bertajuk "Refleksi Banjir JABODETABEK: Strategi Tata Ruang dan Mitigasi Cuaca Ekstrem" dalam Peringatan Hari Meteorologi Dunia (HMD) ke-75, di Jakarta, Senin, 24 Maret 2025. 

Dwikorita mengingatkan bahwa perubahan iklim telah mencapai tahap kritis. Data BMKG menunjukkan periode 2015-2024 adalah yang terpanas dalam sejarah, dengan tahun 2024 mencatat anomali suhu sebesar 1,55 derajat celcius di atas rata-rata pra-industri, melampaui kesepakatan Paris.

Tren peningkatan curah hujan ekstrem di Indonesia berkorelasi langsung dengan kenaikan suhu permukaan dan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK). Dampak perubahan iklim, seperti mencairnya gletser di Papua dan naiknya suhu muka air laut, memicu bencana hidrometeorologi ekstrem, seperti banjir yang melanda Jabodetabek awal Maret 2025.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, lebih dari 37 ribu kepala keluarga terdampak banjir di Jabodetabek. Sementara itu, BMKG mencatat 1.891 kejadian cuaca ekstrem di Indonesia periode 1 Januari-17 Maret 2025, yang menyebabkan banjir, pohon tumbang, tanah longsor, kerusakan bangunan, gangguan transportasi, dan korban jiwa.

"Siklus banjir yang semula lima tahunan bisa menjadi lebih sering bahkan setiap tahun jika kita tidak mampu mengelola lingkungan. Ini harus dicegah," tegas Dwikorita.

Data BMKG menunjukkan curah hujan di Bekasi saat banjir 2025 lebih dari 200mm/hari, lebih rendah dari banjir 2020 yang mencapai lebih dari 300mm/hari. Namun, tren curah hujan ekstrem (>150mm/hari) secara umum meningkat di Indonesia, seiring dengan kenaikan suhu permukaan dan konsentrasi GRK.

Menurut Dwikorita, belajar dari kejadian banjir Jabodetabek awal Maret lalu diperlukan mata rantai kebencanaan yang kokoh dan solid di Indonesia. Di mana, mata rantai kebencanaan di Indonesia terdiri dari tiga tahap, yaitu BMKG di hulu sebagai pemberi informasi peringatan dini, pemerintah daerah, BNPB, Badan SAR, media massa, TNI, Polri, dan komunitas sebagai interface, dan masyarakat di hilir.

"Sebagai mata rantai bencana di Indonesia, BMKG tidak bisa bertindak sendirian. Kami membutuhkan bantuan dari berbagai macam pihak. Kolaborasi menjadi penting agar seluruh pemangku kepentingan mampu bergotong royong sesuai tugas dan fungsinya masing-masing sehingga informasi sampai ke masyarakat,"ujarnya.

Untuk itu, Dwikorita mengajak seluruh pihak berupaya melakukan pendekatan dan aksi yang berbeda dari yang sudah dilakukan karena saat ini perubahan iklim telah memasuki tahap kritis. Sehingga cara yang digunakan harus berbeda dan jangan sampai dibiarkan begitu saja karena potensi bencana mungkin saja akan lebih sering terjadi dari seharusnya.

"Selain itu pola pikir, pandangan, dan persepsi kita juga harus berbeda bukan persepsi Tunggal hanya ego kita saja. Untuk menjadi sukses kita harus melakukan aksi nyata sesuai dengan kondisi yang dihadapi saat ini. Intinya, semua dilakukan demi keselamatan masyarakat," pungkasnya.