Modus Korupsi Tata Kelola Minyak PT Pertamina

Laporan: Tim Redaksi
Jumat, 28 Februari 2025 | 06:02 WIB
Ilustrasi (Wawan Wiguna/SinPo.id)
Ilustrasi (Wawan Wiguna/SinPo.id)

Menurunkan produksi kilang, sehingga pemenuhan minyak mentah harus impor.  Sedangkan Pertamina pada periode tahun 2018 hingga 2023 seharusnya memenuhi minyak mentah wajib mengutamakan pasokan dari dalam negeri. 

SinPo.id -  Kejaksaan Agung akhirnya menahan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan usai ditetapkan tersangka dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Senin 24 februari awal pekan lalu. Selain dia terdapat Yoki Firnandi Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Agus Purwono VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, serta pihak swasta, masing-masing Muhammad Kerry Andrianto Riza,  beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim serta Gading Ramadhan Joedo Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina yang dikenal publik sebagai kasus Pertamax oplosan itu melibatkan subholding dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) selama periode 2018 hingga 2023.

"Dari hasil pemeriksaan, penyidik menetapkan tujuh orang saksi menjadi tersangka," ujar Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, saat konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Senin 24 Februari 2025.

Tak hanya tujuh tersangka, Kejagung juga kembali menahan dua tersangka baru selang tiga hari usai penetapan dan penahan tersangka, tepatnya Rabu 26 Februari lalu. Mereka Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya dan VP Trading Operation Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan kedua tersangka yang ditahan sebelumnya diperiksa intensif. "Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan selama 20 hari ke depan di rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung," ujar Qohar, Rabu 26 Februari 2025.

Qohar menyebutkan, maya dan Edward diduga terlibat permufakatan jahat bersama tujuh tersangka sebelumnya yang telah ditahan. "Mereka diduga melakukan tindak pidana bersama-sama dengan tujuh tersangka yang telah kami sampaikan sebelumnya," ujar Qohar. 

Mark Up Belanja dan Kontrak hingga  Oplos Minyak

Menurut Qohar, Maya dan Edward diduga menyetujui pembelian bahan bakar minyak (BBM) RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92. Hal ini menyebabkan pembayaran lebih tinggi dari yang seharusnya. Selain itu, Maya juga memerintahkan blending atau mengoplos produk kilang antara RON 88 dan RON 92 untuk menghasilkan BBM RON 92 yang dijual dengan harga lebih tinggi. 

"Tersangka juga menyetujui mark up kontrak pengiriman, yang menyebabkan perusahaan mengeluarkan fee 13 persen hingga 15 persen secara melawan hukum. Uang tersebut mengalir ke tersangka MKAR (Muhammad Kerry Andrianto Riza   owner PT Navigator Khatulistiwa), yang telah ditahan sebelumnya,"  ujar Qohar menjelaskan. 

Tindakan itu menimbulkan negara merugi mencapai Rp 193,7 triliun. Cara jahat itu terjadi pada periode 2018 hingga 2023, ketika pemerintah mewajibkan pemenuhan minyak mentah dari dalam negeri sebelum impor.

Tak hanya itu, mereka juga diduga mengkondisikan menurunkan produksi kilang, sehingga pemenuhan minyak mentah harus impor.  Sedangkan Pertamina pada periode tahun 2018 hingga 2023, kata Qohar, seharusnya pemenuhan minyak mentah wajib mengutamakan pasokan dari dalam negeri. PT Pertamina pun wajib mencari pasokan yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 yang mengatur prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.

Namun Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, serta Sani Dinar Saifuddin Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional,  serta Agus Purwono VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, justru mengkodisikan lewat rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar menurunkan produksi kilang. Hal itu menimbulkan produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya.

“Pengondisian tersebut membuat pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor,” ujar Qohar menjelaskan.

Saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga sengaja ditolak dengan alasan spesifikasi tak sesuai dan tak memenuhi nilai ekonomis. Maka, secara otomatis bagian KKKS untuk dalam negeri harus diekspor ke luar negeri.

Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional mengimpor minyak mentah yang dilakukan melalui PT Pertamina Patra Niaga.

“Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang sangat tinggi atau berbeda harga yang sangat signifikan,” katanya.

Melibatkan Broker

Fakta yang ditemukan menunjukkan proses pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga adanya perbuatan jahat antara penyelenggara negara, yakni subholding Pertamina, dengan broker.

“Tersangka RS, SDS dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum,” katanya.

Catatan penyidik Kejagung menunjukkan, Dimas Werhaspati, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa serta Gading Ramadhan Joedo sebagai Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, berkomunikasi dengan Agus Purwono, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.

Keduanya minta agar bisa memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari Sani Dinar Saifuddin selaku Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional, untuk impor minyak mentah serta dari Riva Siahaan untuk produk kilang.

Akibat kecurangan tersebut, komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM yang dijual kepada masyarakat menjadi lebih tinggi. Kemudian HIP tersebut dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun melalui APBN.

Ulah mereka itu membuat negara rugi keuangan sebesar Rp193,7 triliun. Meski Kejagung menyebut jumlah tersebut nilai perkiraan sementara dari penyidik. Kejagung menyebut nilai kerugian yang pasti sedang dalam proses penghitungan bersama para ahli.

Nama Riza Chalid Dalam Kasus Tata Kelola Minyak

Kejagung menyebut ada dugaan keterlibatan pengusaha minyak Mohammad Riza Chalid dalam kasus tata kelola minyak milik perusahaan plat merah itu. Hal itu mengacu proses penggeledahan rumah  Mohammad Riza Chalid di Jalan Jenggala, Kebayoran Baru pada Selasa, 25 Februari 2025.

Pada hari yang sama, Kejagung juga menggeledah Plaza Asia yang diduga melibatkan Muhammad Kerry Adrianto Riza, sekaligus anak Riza. "Yang pertama terkait dengan penggeledahan di Jalan Jenggala. Kami memaknai ini rumah yang dijadikan sebagai kantor," kata Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar, Rabu, 26 Februari 2025.

Dari penggeledahan itu, penyidik Kejagung menyita sejumlah dokumen terkait perusahaan-perusahaan yang terseret dalam kasus tata niaga minyak. Tercatat, penyidik menemukan 34 ordner, di dalamnya ada berbagai dokumen terkait dengan korporasi atau perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan kegiatan impor dari minyak mentah.

"Kemudian ada 89 bundel dokumen, nah ini juga sedang dipelajari terkait dengan aktivitas dari dugaan tindakan korupsi ini," ujar Harli menambahkan.

Selain dokumen, penyidik Kejagung juga menyita CPU dan sejumlah uang tunai dengan pecahan rupiah dan mata uang asing. "Uang tunai ada Rp833 juta dalam bentuk rupiah dan dalam bentuk USD itu 1.500, dan juga ada dua CPU," kata Harli menjelaskan.

Sedangkan hasil penggeledahan di Plaza Asia, Kejagung menyita empat kardus berisi surat-surat atau dokumen.

Sindikat Kejahatan Sistematis di Pertamina

Anggota Komisi VI DPR RI, Asep Wahyuwijaya, mengatakan dugaan mega korupsi yang melibatkan beberapa anak perusahaan inti di bawah PT Pertamina menunjukkan ada sindikat secara sistematis. Praktik korup melalui markup harga yang diduga berlangsung selama lima tahun itu telah menipu rakyat dan membuat negara mengalami kerugian hingga mencapai Rp193,7 triliun.

"Ini luar biasa parah. Seruan untuk menegakkan akhlak di lingkungan Kementerian BUMN justru diluluhlantakkan oleh salah satu BUMN terbesar yang katanya berkelas dunia," kata Asep.

Asep mendesak agar dilakukan audit total secara menyeluruh oleh pihak independen yang memiliki kredibilitas tinggi guna memastikan transparansi keuangan dan tata kelola perusahaan.

"Audit total dan pemeriksaan menyeluruh oleh pihak yang benar-benar independen dan memiliki kredibilitas tinggi terhadap kondisi keuangan serta manajemen perusahaan," ujar Asep menegaskan.

Ia berharap para pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal agar menimbulkan efek jera. Sehingga tidak ada lagi yang menikmati kesenangan di atas penderitaan negara dan rakyat. (*)

BERITALAINNYA
Sunat Takaran MinyaKita
Jumat, 14 Maret 2025
Musibah Banjir Melanda Jabodetabek
Jumat, 07 Maret 2025
Modus Korupsi Walikota Semarang
Jumat, 21 Februari 2025
Menyambut Tamu Istimewa dari Turki
Jumat, 14 Februari 2025
Penembakan Perantau Asal Indonesia
Jumat, 31 Januari 2025