Menyiapkan Jiwa Kepemimpinan Dari Sekolah
Sebuah sekolah di kawasan Jakarta Selatan itu menarik perhatian saya, meski bangunan gedung yang tak terlalu besar, namun asri dan indah. Kesan itu terukir meski hanya satu hari berinteraksi dengan siswa, guru, kepala sekolah, orang tua dan pihak yayasan sekolah.
Saya kagum menyaksikan siswa kelas awal sekolah dasar (SD) menjelaskan tentang visi sekolah, tujuan sekolah dan aspek lainnya. Penjelasan siswa yang mungkin usianya belum genap sepuluh tahun itu bukan hafalan, ketika ditanya lebih dalam, ia bisa menjawab dengan detail dan meyakinkan, siswa itu tidak sedang menjelaskan pada teman sebayanya, tapi tamu dan tim reviewer dari dalam dan luar negeri.
Penjelasan para siswa itu mengubah persepsi saya selama ini, visi sekolah tak lebih dari tulisan yang dilekatkan di papan putih bertinta hitam dan digantung di ruang kepala sekolah atau di dinding bagian depan sekolah, no body care. Papan visi pun menua dan berdebu direguk waktu. Di sekolah ini tidak, visi, tujuan dan sekolah dibuat terukur dan proses menyusunnya melibatkan semua pihak. Tujuan sekolah diturunkan secara bertahap sampai ke tingkat individu. Tiap individu punya leadership portofolio, mulai dari siswa, guru, kepala sekolah, librarian bahkan pengurus yayasan. Semua itu nantinya bermuara pada visi dan tujuan sekolah.
Tak heran siswa dan guru di sekolah itu menuai seratus lebih penghargaan hanya dalam satu tahun saja, penghargaan akademik dan non akademik, regional, nasional bahkan internasional. Bukan soal prestasinya, tapi soal bagaimana setiap orang mendorong dirinya melakukan hal-hal yang mereka cintai.
Hal itu sesuai dengan sejumlah tulisan tangga sekolah dipenuhi berbagai kalimat yang penuh warna, satu yang terlihat menonjol Everyone can be a leader. Ternyata ini adalah salah satu paradigma yang dimiliki sekolah ini, selama ini pemahaman dan keyakinan kita bahwa pemimpin itu hanya segelintir siswa saja. Itulah praktik di sekolah-sekolah kita, di kelas ya ketua kelas, sekretaris dan bendahara. Tapi di sekolah itu setiap anak punya peran kepemimpinan mereka, no one left behind.
Lebih dari lima belas anak yang saya dengar bagaimana mereka menceritakan peran kepemimpinan mereka, tujuan hidup mereka dan bagaimana mencapai itu semua. Bukan hanya cita-cita yang abstrak, tapi mereka menurunkannya sampai ke tingkat praktis harian yang secara disiplin dijalankan.
Setiap Orang Bisa Menjadi Pemimpin
Setiap kita bisa menjadi pemimpin, rasa-rasanya setiap kita pun pernah mendengar kalimat itu. Tapi sudah kah sekolah-sekolah mempraktikkannya dengan disiplin dan turun sampai ke tingkat keseharian di siswa dan gurunya. Bahkan proses belajar pun banyak yang diinisiasi oleh siswa sedangkan guru lebih sebagai fasilitator. Sesuatu yang sulit saya bayangkan pada sistem sekolah yang sangat sentralistik di era 90an.
Tiap siswa diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang sebagai pemimpin, mereka berlatih sekaligus mempraktikkan peran-peran kepemimpinan mereka baik di sekolah maupun di rumah, saya melihat dengan mata saya sendiri mayoritas anak-anak di sekolah ini sangat percaya diri dan memiliki keberanian dalam menyampaikan gagasan.
Apa yang dicontohkan siswa di SD dan SMP Avicenna Cinere ini seperti mencubit kesadaran saya bahwa seorang pemimpin tidak lahir secara alamiah, tapi harus disiapkan dan sekolah adalah ranah yang sangat penting untuk mengambil peran itu.
Di dalam kehidupan sosial maupun kenegaraan di negeri kita, banyak sekali pemimpin yang lahir secara alamiah, tapi tak banyak pemimpin yang benar-benar disiapkan oleh sebuah proses yang dimulai di sekolah. Ini adalah sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita untuk menjadi ruang bagi lahirnya pemimpin yang genuine.
Jangan sampai sekolah justru menjadi penghilang kemampuan kepemimpinan siswanya. Penghargaan atas peran kepemimpinan dalam bentuk yang minor, seperti pemimpin berdoa, pemimpin kebersihan kelas, pemimpin penyusun buku di perpustakaan dan banyak sekali peran kepemimpinan lainnya yang bisa dilahirkan di sekolah, kepemimpinan tidak bertumpu pada satu dua orang.
Pembelajaran dari Sekolah Avicenna adalah bukti bahwa pemimpin harus disiapkan, tidak bisa dibiarkan alam yang membentuknya. Proaktif, pembiasaan, apresiasi dan lingkungan suportif menjadi instrumen kunci dalam menciptakan sekolah yang mempersiapkan para pemimpin.
Semua Orang Punya Kejeniusan
Pemimpin sepantasnya adalah seorang jenius pula, karena pada dasarnya setiap kita memiliki kejeniusan masing-masing. Paradigma yang ada di dunia pendidikan kita, bahwa kejeniusan itu hanya milik sebagian kecil orang dan kejeniusan selalu identik dengan akademik. Ini adalah paradigma yang perlu diubah, setiap anak memiliki kejeniusan mereka masing-masing.
Selama ini ada semacam asumsi, kalau mau tenar di sekolah jadi siswa yang pintar banget secara akademik atau “aktif” (pengganti kata nakal), selebihnya hanya akan jadi siswa rata-rata saja, tidak mendapat ruang dan cenderung diabaikan. Asumsi ini tentu saja tidak tepat, hanya saja asumsi ini lahir dari fakta yang kerap hadir di ruang-ruang kelas.
Sekolah pun punya pekerjaan serius menggali dan melesatkan kejeniusan masing-masing siswa mereka. Bantu dan dorong tiap siswa menemukan passion-nya, jangan hakimi mereka untuk hal-hal yang mereka tidak kuasai. Jangan sebut kelemahan siswa sebagai kelemahan tapi sebut sebagai ruang yang bisa diperbaiki, room of improvement.
Soal diksi ini menjadi penting, karena kerap kali diksi yang dipilih menjadi trauma tersendiri bagi siswa. Bahkan orang dewasa juga mengalami trauma karena penggunaan kata yang tidak tepat. Coba kita pikirkan berapa banyak kata yang disematkan orang membuat kita kehilangan kepercayaan diri atau merasa tersisih.
Kembali ke soal setiap kita memiliki kejeniusan, maka sekolah pun harus melakukan perubahan paradigma. Gali kejeniusan tiap anak, mereka yang dikenal sulit diatur, berlarian kesana kemari tanpa lelah, siapa tahu kejeniusan mereka adalah kecerdesan kinestetik. Kejelian dan kesabaran dalam menemukan dan mengarahkan kejeniusan ini adalah kunci pengembangan calon pemimpin di masa depan.
Ada tiga paradigma lagi sebenarnya yang menjadi bagian dari lima paradigma inti dalam mempersiapkan pemimpin seutuhnya mulai dari sekolah. Dua paradigma awal ini adalah pondasi dari tiga paradigma lainnya.
Kerja-kerja transformasi sekolah tentu bukan hanya tugas Mas Menteri Nadiem, Dinas Pendidikan di daerah atau guru saja, ini adalah kerja kolaboratif, gotong royong. Masa depan negeri kita ditentukan oleh anak-anak kita yang kini di sekolah, setiap kita punya tanggung jawab. Yuk, dorong sekolah-sekolah fokus pada penyiapan pemimpin tidak sekedar menyiapkan mereka yang tangguh secara akademik.
* Pegiat di Dunamis Organization Services Divisi Pendidikan.