Ekonom Minta Waspadai Tekanan Rupiah dan PHK Imbas Tarif Trump

Laporan: Tio Pirnando
Kamis, 03 April 2025 | 18:53 WIB
Ilustrasi dolar AS dan rupiah (SinPo.id/ Paypal)
Ilustrasi dolar AS dan rupiah (SinPo.id/ Paypal)

SinPo.id - Guru Besar Ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Didin S. Damanhuri memperkirakan, penerapan tarif timbal balik 32 persen oleh Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia, berpotensi menekan rupiah lebih dalam. Bahkan, tak menutup kemungkinan, beberapa hari ke depan, nilai tukar rupiah bisa melampaui Rp17.000/ dolar. 

"Dampak yang segera terjadi adalah depresiasi rupiah. Entah sampai seberapa dalam lagi nilai tukar ini akan tertekan," kata Didin dalam keterangannya, Kamis, 3 April 2025. 

Selain itu, lanjut Didin, perusahaan besar yang bergantung pada dolar AS juga berisiko mengalami kesulitan keuangan. Hal ini berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. 

"Perusahaan yang menghadapi tekanan berat mungkin akan mengambil langkah pemutusan hubungan kerja sebagai upaya rasionalisasi," kata ekonom senior dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) itu. 

Dampak lainnya adalah terganggunya hubungan bisnis antara perusahaan besar dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). "Bakal ada efek berantai terhadap sektor usaha kecil yang bergantung pada perusahaan besar," tuturnya.

Didin mengingatkan Pemerintah untuk mengantisipasi makin turunnya penerimaan pajak yang saat ini bahkan sudah anjlok mencapai 30 persen. Selain itu, daya beli masyarakat berpotensi semakin turun. 

"Sekarang pun daya beli sudah melemah, misalnya pada momen mudik, baik dari sisi jumlah pemudik maupun perputaran uang yang turun sekitar 24 persen," ujarnya. 

Kebijakan tarif resiprokal Trump tersebut juga berpotensi memicu pesimisme, baik di kalangan pelaku UMKM, perusahaan besar, maupun pemerintah pusat dan daerah. Dan, dikhawatirkan terjadinya potensi peningkatan angka kriminalitas akibat kondisi ekonomi yang memburuk.

Oleh karena itu, Didin menyarankan pemerintah untuk meredam dampak tarif AS. Diantaranya, pemerintah perlu menganalisis dampak jangka pendek, menengah, dan panjang dari tarif ini. Selain itu, perlu ada penguatan kerja sama dengan ASEAN, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), serta negara-negara dalam kelompok BRICS Plus. 

Kemudian, pemerintah juga perlu menyesuaikan visi, misi, dan program ekonomi nasional dengan mempertimbangkan situasi baru akibat kebijakan tarif tinggi dari AS. Termasuk, APBN dan APBD harus lebih selektif, pengeluaran yang tidak mendesak sebaiknya dihentikan.

Pemerintah juga diminta mengalihkan dana dari program jangka menengah dan panjang ke stimulus besar-besaran bagi UMKM dan pelaku usaha di daerah guna menjaga pasar domestik tetap bergerak.

Selanjutnya, keluarga-keluarga di Indonesia disarankan untuk lebih memprioritaskan belanja kebutuhan pokok guna menghadapi ketidakpastian ekonomi. 

"Keamanan diminta bergerak cepat dan bijaksana dalam mengantisipasi potensi peningkatan gangguan ketertiban masyarakat akibat situasi ekonomi yang memburuk," tukasnya. 

BERITALAINNYA