Pengamat: Putusan MK Hapus Presidential Threshold Perluas Peluang Demokrasi

Laporan: Sigit Nuryadin
Sabtu, 04 Januari 2025 | 01:21 WIB
Ilustrasi palu sidang (SinPo.id/iStock/BCFC)
Ilustrasi palu sidang (SinPo.id/iStock/BCFC)

SinPo.id - Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Sentral Politika, Subiran Paridamos, memberikan pandangan terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau Presidential Threshold (PT).

Subiran menilai, putusan MK ini membuka peluang yang lebih besar untuk demokrasi di Indonesia. Menurutnya, MK berpendapat bahwa pasal tersebut bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, serta melanggar prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat diterima.

"Keputusan ini menjadi bukti bergesernya sikap MK terhadap isu ambang batas pencalonan presiden yang sebelumnya dipertahankan dalam putusan-putusan sebelumnya," ujar Subiran dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 3 Januari 2025.

Menurut Subiran, putusan MK ini berpotensi memperluas partisipasi politik dengan memberikan kesempatan lebih besar bagi partai politik, baik besar maupun kecil, untuk mengusung calon presiden mereka sendiri.

"Ini adalah kabar baik bagi demokrasi, karena lebih banyak tokoh potensial, baik dari kalangan partai maupun nonpartai, bisa ikut serta dalam kontestasi," tambahnya.

Namun, Subiran juga mengingatkan bahwa putusan MK ini memiliki sisi yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, keputusan ini memperkuat prinsip demokrasi dan memperluas partisipasi politik. Di sisi lain, tanpa regulasi yang baik, keputusan ini bisa memicu ketidakstabilan politik dan inefisiensi dalam proses pemilu.

Sebagaimana diketahui, MK memutuskan untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen yang tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pemohon perkara ini adalah Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.

Dalam pertimbangan putusannya, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyatakan bahwa Pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur ambang batas pencalonan bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, serta melanggar prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. Ia menambahkan bahwa ketentuan tersebut juga bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

"Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden—berapapun besaran atau angka persentasenya—adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," ujar Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum dalam perkara nomor 62/PUU-XXII/2024, pada Kamis, 2 Januari 2025.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI