Wabah PMK Jelang Hari Kurban

Warisan Kolonial, Tak Menular Ke Manusia Aman Dikonsumsi

Laporan: Tim Redaksi
Sabtu, 25 Juni 2022 | 13:11 WIB
Ilustrasi, (SinPo.id/ Wawan)
Ilustrasi, (SinPo.id/ Wawan)

Penyakit mulut dan kuku atau PMK berdampak kerugian ekonomi berupa kematian ternak, biaya pencegahan penyakit juga membengkak, serta kecemasan masyarakat yang menyebabkan turunnya angka penjualan. 

SinPo.id -  Iwan tak mau spekulasi dengan menjual banyak hewan kurban saat mendekati Idul Adha tahun ini. Pedagang sapi musiman yang biasa menjual hewan kurban di daerah Pondok Cabe Tangerang Selatan itu khawatir dengan serangan Penyakit Mulut Dan Kuku atau PMK yang saat ini banyak membunuh hewan ternak berkuku.

“Kali ini saya tak berani belanja banyak,” kata Iwan kepada SinPo.id pekan lalu.

Iwan biasa menggunakan lapak jualan sapi kurban milik di pinggir jalankota dekat dengan lapangan udara Pondok Cabe. Berjualan sapi musiman itu dilakukan sejak 10 tahun lalu, lokasinya strategis banyak diketahui publik membuat ia selalu panen penjualan saban mendekati Idul Adha. Namun sejak adanya wabah PMK ia hanya  menyediakan menjual 200 ekor sapi di dua lapakyang berbeda.

“Berkurang separuh dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” kata pria berusia 58 tahun itu.

Ia mengaku di lapak Pondok Cabe hanya menyediakan 60 ekor sapi, itu pun baru laku 10 ekor, masih tersisa 50 ekor. Sedangkan sisa sapi miliknya yang lain, ia tempatkan di lapak lain daerah Parung, Bogor. 

Pengurangan penjualan sapi yang ia lakukan bukan tanpa alasan. Sebagai pedagang, Iwan khawatir  sepinya pembeli oleh PMK yang mewabah. “Selain itu biaya perawatan lebih besar dibandingkan tahun lalu sebelumada PMK,” kata Iwan menjelaskan.

Sedangkan harga jual sapi sehat juga turut naik hingga 30 persen dari harga rata-rata sebelum wabah PMK. Menurut Iwan harga jual sapi dewasa untuk kurban saat ini mencapai Rp23 juta dari  harga rata-rata lebaran tahun lalu Rp20 juta.

Sedangkan pemeliharaan kali ini juga lebih tinggi. Iwan dan pedagang sapi harus  menyiapkan vitamin dan jamu penambah setamina hewan kurban. Tak heran kali ini ia harus belanja di luar pakan berupa vitamin B Kompleks, antibiotik, termasuk jamu dari Paguyuban Peternak Sapi (KPSI). Langkah itu dilakukan demi menjaga daya tahan sapi dari ancaman PMK

Keresahan yang dirasakan pedagang sapi seperti Iwan wajar terjadi, apalagi kasus penyebaran PMK yang merebak di Indonesia belum sepenuhnya tertangani. Berdasarkan data yang dirangkum SinPo.id dari situs siagapmk.id pada 24 Juni 2022 malam, menunjukkan kasus sapi terinfeksi PMK secara nasional mencapai 171.124 ekor.

Dari data itu Jawa Timur tertinggi  mencapai 100.492 ekor sapi yang sakit, disusul  Nusa Tenggara Barat 39.758,  Aceh 30.128, Jawa Tengah, 28.473 dan  Jawa Barat 28.365 serta  Sumatera Utara 11.210.  Sisanya  DI Yogyakarta 5.977, sedangkan di provinsi lain  rata-rata antara ratusan hinga ribuan

Wabah PMK yang telah menyebar di 19 provinsi dan 216 kabupaten itu membuat pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan. Dalam rapat kabinet yang  dipimpin Presiden Joko Widodo pada Kamis, (23/6) siang lalu menghasilkan sejumlah kebijakan. Di antaranya melarang hewan hidup terutama sapi untuk bergerak di daerah yang terdampak PMK.

"Untuk daerah berbasis level mikro seperti di penanganan Covid di PPKM, ini akan diberikan larangan hewan hidup dalam hal ini sapi untuk bergerak di daerah level kecamatan yang terdampak penyakit mulut dan kuku atau kita sebut dengan daerah merah," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto usai mengikuti rapat terbatas.

Selain itu, pemerintah juga membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanganan PMK yang akan dipimpin oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto bersama dengan sejumlah kementerian dan lembaga terkait.

"Kemudian juga disetujui untuk pengadaan vaksin yang khusus untuk tahun ini, itu sekitar 28 atau 29 juta dosis dan seluruhnya akan dibiayai dengan dana dari KPCPEN," ungkap Airlangga menambahkan.

Terkait dengan pergantian terutama terhadap hewan yang dimusnahkan ataupun dimatikan paksa. “Pemerintah akan menyiapkan ganti terutama untuk peternak UMKM sekitar Rp10 juta per sapi,” kata Airlangga menjalaskan.

Kepala BNPB Suharyanto mengatakan segera berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait dan turun langsung ke lapangan untuk mengatasi permasalahan PMK agar masalah tersebut dapat diselesaikan dalam waktu dekat.

"Setelah ini akan dilaksanakan rapat-rapat koordinasi dan turun ke daerah, khususnya daerah-daerah yang merah,” kata Suharyanto

Ia minta aparat pemerintah daerah, para gubernur, bupati, wali kota menyiapkan bisa bersama-sama menangani penyakit mulut dan kuku pada ternak. “Ini secepat mungkin," kata Suharyanto menegaskan.

Warisan Kolonial, Tak Menular Ke Manusia Aman Dikonsumsi  

Wabah PMK pertama kali masuk ke Indonesia pada 1887 akibat melalui impor sapi dari Belanda. Hal itu diuangkap dalam buku “Kesiagaan Darurat veriteriner Indonesia” yang diterbitkan Kementerian Pertanian.

Keterangan itu juga dipertegas oleh drh. Devi Kurniawan yang menyebut awal mula munculnya PMK diketahui berada di Kota Malang pada tahun tersebut. Dokter hewan lulusan Universitas Airlangga itu menyebut PMK terakhir kali mewabah di tahan air pada 1983 dan berhasil diberantas melalui vaksinasimassal.

”Jika dihitung kurang lebih 100 tahun Indonesia pernah terjangkit wabahtersebut,” kata Devi Kurniawan kepada SinPo.id.

Menurut Devi, pada 1986 Indonesia dinyatakan bebas PMK melalui Surat  Keputusan  Menteri Pertanian nomor 260 tahun 1986 yang kemudian diakui badan kesehatan hewan dunia atau OIE pada tahun 1990.

Namun, saat Indonesia dinyatakan bebas PMK, beberapa negara di  Asia Tenggara justru masih  terjadi kejadian kasus PMK. “Kondisi inimenjadi salah satu resiko kemungkinan kembali masuknya PMK ke Indonesia,” ujar Devi menambahkan.

Secara ekonomi virus PMK merugikan masyarakat khusunya peternak, meski tak semua hewan dapat terpapar  penyakit tersebut. Devi mengatakan, PMK  hanya menyerang hewan yang berkuku belah seperti kambing, sapi, domba, onta, kuda, jerapah dan hewan sejenis. Ancaman hewan berkuku belah itu disebabkan oleh virus tipe A darikeluarga Picornaviridae, genus Apthovirus, yaitu Aphtaee epizootecae.

“Virus tersebut tingkat penularannya bisa mencapai 90 sampai 100 persenjika hewan tersebut dalam kondisi tingkat kesakitan atau morbiditas tinggi,”kata Devi menjelaskan.

Sedangkan tingkat mortalitas atau tingkat kematian pada hewan ternak yang terjangkit PMK mencapai 1 sampai 5 persen pada hewan dewasa. “Itu pun jika penanganannya tepat. Tapi jika penanganannya tidak tepat, presentasi kematiannya bisa lebih tinggi ," katanya.

Tingkat kematian akibat PMK pada hewan yang masih muda itu bisa lebih tinggi, hingga mencapai 50 persen. Sedangkan untuk tingkat penularan PMK pada hewan bisa mecapai 90 sampai dengan 100 persen, hal itu yang menimbulkan kerugian sector ekonomi.

Devi menegaskan PMK yang menjangkit hewan ternak tidak menular terhadap manusia, karena tidak terkategori sebagai zoonosis atau menular dari hewan kemanusia. Ia memastikan daging sapi terinveksi PMK aman dikonsumsi dengan beberapa catatan, di antaranya organ dalam yang terdapat luka pada Sapi dibuang

“Terutama dibagian mulut, hidung dan kaki, daging Sapi masih aman dikonsumsi. Kemudian cara pengolahannya pun harus di masak selama 30 menit tanpa harus di cuci terlebih dahulu,” kata Devi menyarankan.sinpo

Komentar: