Jejak Petani Tionghoa Dalam Catatan Sejarah
Sejarawan Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik, memperlihatkan orang Tionghoa berjasa besar dalam membantu mempercepat produksi pertanian dan mengolah produk pertanian beraneka ragam.
SinPo.id - Pada massanya orang Tionghoa di Indonesia juga dikenal sebagai petani memproduksi bahan pangan, namun seiring waktu mereka dianggap hanya berfokus pada bisnis perdangangan. Dalam sebuah catatan dokumen Edmun Scott seorang pegawai kantor dagang Inggris (EIC) yang datang ke Banten sejak 1603 hingga 1604 menunjukkan orang Tionghoa juga memiliki andil besar dalam sejarah pertanian Indonesia.
“Di daerah pedalaman orang Tionghoa tak hanya membudidayakan lada untuk keperluan ekspor, tetapi juga padi yang diperlukan untuk konsumsi kota,” tulis Edmun Scott dikutip oleh Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya Jaringan Asia (02).
Dalam kesaksian Edmun Scott menyebutkan pada tahun 1611 orang Tionghoa di Batavia bertani mendulang sukses sehingga mereka dapat membangun sebuah loji pertama dan keadaan di Pecinan yang begitu mapan dan makmur. Kesuksesan tersebut turut dimanfaatkan oleh nahkoda Wattingh dalam perdaganggan beras.
Edmun Scott juga menceritakan, di Batavia telah ada pabrik arak yang menyuling minuman keras dari beras dan tebu. Dari sini dapat disiratkan bahwa budidaya tebu oleh orang Tionghoa telah dimulai.
Pertanian Tionghoa justru terus berkembang besar sepanjang abad ke-18. Tercatat, mereka telah mengembangkan tiga sektor pertanian yakni perkebunan tebu, pertanian padi, serta pertanian kacang.
Pengolah Bahan Baku Gula
Pada sektor perkebunan tebu, orang Tionghoa ternyata tak hanya focus pada penanaman di perkebunan tebu, namun juga ada yang mengolah tebu bahan baku utama gula itu. Jan Hooyman, seorang Belanda yang tinggal di Batavia saat itu mencatat bahwa pengilingan tebu oleh orang Tionghoa sangat sederhana, yakni dua tabung kayu didampingkan, kemudian diputar oleh seekor lembu dengan perantaraan sebuah sistem roda gigi yang sederhana serta sebuah poros sepanjang lima belas kaki atau sekitar 4,5 meter.
Kedua tabung tersebut tegak lurus, kemudian pengolahan selanjutnya batang tebu lantas dimasukkan ke dalam dan diperas dua kali. Dari sini kemudian sari tebu di dapatkan dan setelahnya dipanaskan agar dapat menghasilkan gula.
Sejarawan Denys Lombard menulis cara penggilingan tebu tersebut telah digunakan sejak lama di China pada abad ke-17. Ia juga menyebut penggilingan tebu tersebut kini masih digunakan oleh pabrik gula di Jawa Timur.
“Perkirakan sebuah penggilingan yang bagus, dikelola dengan baik dan bekerja selama tujuh beulan berturut-turut dapat memasuk 1.900 pikul atau setara 95 ton gula, “ tulis Denys Lombard
Denys Lombard juga menunjukkan industri penggilingan tebu di Batavia pada abad ke-17 semula hanya terdapat 23 unit penggilinggan. Lantaran pada tahun 1650 adanya pajak yang tinggi, maka industri penggilingan tebu sempat turun hingga menyisakan 10.
Namun, pada tahun 1710 industri penggilingan tebu melonjak naik hingga tercatat terdapat 131 penggilingan. Inilah titik tolak kenaikan tertinggi, hingga akhirnya setelah insiden geger pecinan 1749, jumlah tersebut menurun dan hanya menyisakan 52 buah.
Industry gula itu hanya perlahan membaik. Tercatat pada tahun 1745 yang jumlahnya 65 penggilingan tebu, naik hingga hingga 80 unit penggilingan pada tahun 1750. Keadaan industri tebu tersebut mulai memburuk, meski tak habis sepenuhnya lantaran hutan di sebelah tiur Ciliwung telah mengalami penggundulan.
Pada massanya orang Tionghoa di Indonesia juga dikenal sebagai petani memproduksi bahan pangan, namun seiring waktu mereka dianggap hanya berfokus pada bisnis perdangangan. Dalam sebuah catatan dokumen Edmun Scott seorang pegawai kantor dagang Inggris (EIC) yang datang ke Banten sejak 1603 hingga 1604 menunjukkan orang Tionghoa juga memiliki andil besar dalam sejarah pertanian Indonesia.
“Di daerah pedalaman orang Tionghoa tak hanya membudidayakan lada untuk keperluan ekspor, tetapi juga padi yang diperlukan untuk konsumsi kota,” tulis Edmun Scott dikutip oleh Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya Jaringan Asia (02).
Dalam kesaksian Edmun Scott menyebutkan pada tahun 1611 orang Tionghoa di Batavia bertani mendulang sukses sehingga mereka dapat membangun sebuah loji pertama dan keadaan di Pecinan yang begitu mapan dan makmur. Kesuksesan tersebut turut dimanfaatkan oleh nahkoda Wattingh dalam perdaganggan beras.
Edmun Scott juga menceritakan, di Batavia telah ada pabrik arak yang menyuling minuman keras dari beras dan tebu. Dari sini dapat disiratkan bahwa budidaya tebu oleh orang Tionghoa telah dimulai.
Pertanian Tionghoa justru terus berkembang besar sepanjang abad ke-18. Tercatat, mereka telah mengembangkan tiga sektor pertanian yakni perkebunan tebu, pertanian padi, serta pertanian kacang.
Pengolah Bahan Baku Gula
Pada sektor perkebunan tebu, orang Tionghoa ternyata tak hanya focus pada penanaman di perkebunan tebu, namun juga ada yang mengolah tebu bahan baku utama gula itu. Jan Hooyman, seorang Belanda yang tinggal di Batavia saat itu mencatat bahwa pengilingan tebu oleh orang Tionghoa sangat sederhana, yakni dua tabung kayu didampingkan, kemudian diputar oleh seekor lembu dengan perantaraan sebuah sistem roda gigi yang sederhana serta sebuah poros sepanjang lima belas kaki atau sekitar 4,5 meter.
Kedua tabung tersebut tegak lurus, kemudian pengolahan selanjutnya batang tebu lantas dimasukkan ke dalam dan diperas dua kali. Dari sini kemudian sari tebu di dapatkan dan setelahnya dipanaskan agar dapat menghasilkan gula.
Sejarawan Denys Lombard menulis cara penggilingan tebu tersebut telah digunakan sejak lama di China pada abad ke-17. Ia juga menyebut penggilingan tebu tersebut kini masih digunakan oleh pabrik gula di Jawa Timur.
“Perkirakan sebuah penggilingan yang bagus, dikelola dengan baik dan bekerja selama tujuh beulan berturut-turut dapat memasuk 1.900 pikul atau setara 95 ton gula, “ tulis Denys Lombard
Denys Lombard juga menunjukkan industri penggilingan tebu di Batavia pada abad ke-17 semula hanya terdapat 23 unit penggilinggan. Lantaran pada tahun 1650 adanya pajak yang tinggi, maka industri penggilingan tebu sempat turun hingga menyisakan 10.
Namun, pada tahun 1710 industri penggilingan tebu melonjak naik hingga tercatat terdapat 131 penggilingan. Inilah titik tolak kenaikan tertinggi, hingga akhirnya setelah insiden geger pecinan 1749, jumlah tersebut menurun dan hanya menyisakan 52 buah.
Industry gula itu hanya perlahan membaik. Tercatat pada tahun 1745 yang jumlahnya 65 penggilingan tebu, naik hingga hingga 80 unit penggilingan pada tahun 1750. Keadaan industri tebu tersebut mulai memburuk, meski tak habis sepenuhnya lantaran hutan di sebelah tiur Ciliwung telah mengalami penggundulan.
Pelopor Produksi Beras Secara Modern
Jasa Tionghoa yang kedua ialah pada sektor pertanian padi dengan memperkenalkan teknik pertanian baru. Catatan dari Andries Teisseire, seorang pedagang gula ternama Belanda melaporkan bahwa orang Tionghoa dan orang Jawa bekerjsama dalam pengolahan lahan. “Orang Jawalah yang umumnya mengolah tanah, mereka didorong, dibimbing dan diangkat oleh orang Cina, yang memberi mereka sarana untuk memperoleh hewan serta alat-alat yang diperlukan,” tulis Andries.
Kesaksian dari Hooyman menjelaskan sistem Bertani orang Tionghoa terlihat perbedaan yang mendasar, yakni teknik penyemaian yang dibuat dalam baris-baris. Cara tersebut membuat petani membersihkan rumput dengan bajak dan memberi keuntungan terhadap hasil yang dihasilkan sebanyak 80 kali lipat.
Jasa orang Tionghoa dalam pertanian padi lainnya yakni dengan meperkenalkan jenis padi baru dengan nama padiejeree. Bahkan sekitar tahun 1750, orang Tionghoa memperkenalkan alat penyosoh atau alat pembersih beras yagng sangat efisien.
Orang Tionghoa memperkenalkannnya dengan cara dua atau tiga ekor lembu yang mengolah empat sampai lima ratus pon per hari. Saat itu sebagai perbandingan, alat penyosoh yang dilakukan oleh orang Jawa menggunakan lesung tradisional yang hanya bisa mengolah 100 pon beras.
Cara tersebut lantas diadopsi oleh Hooyman dengan bantuan insinyur J-B Pilon dan berhasil merangsang produki beras di Batavia dan bahkan termasuk memecahkan masalah persediaan pangan yang saat itu dikhawatirkan.
Kacang Tanah, Nila Hingga Buah-buahan
Jasa Tionghoa terakhir tak kalah pentingnya ialah jaasa budidaya kacang tanah. Masih menurut Hooyman, kacang tanah baru masuk ke Batavia sekitar tahun 1755 yang kemungkinan berasal dari China.
Dalam mengolah perkebunan kacang tanah, orang Tionghoa memelihara babi sampai 200 ekor. Pada tahun 1778 tercatat terdapat 51 penggilingan kacang tanah di daerah Batavia termasuk di dalamnya di daerah Ommelanden. Penggilingan kacang tanah tersebut mempekerjaan 600 buruh masing-masing menghasilkan 27 ribu kannen atau guci kecil.
Dari industri kacang tanah itulah kemudian dihasilkan minyak kacang tanah, tepat pada tahun 1778 telah berjasa menyelesaikan masalah kekurangan minyak di Batavia.
Selain tiga sektor pertanian tersebut, Hooyman juga menyinggung sedikit soal Nila yang telah dibudidayakan di sekitar Batavia. Orang Tionghoa menanamnya di dekat sungai yang dibutuhkan untuk membuat pewarna.
Hooyman juga menyebut orang Tionghoa juga memiliki masa depan cerah terhadap budidaya buah-buahan dan sayur mayur dengan pengecualaian kembang kol dan arthicoke.
Sejarawan Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik, memperlihatkan orang Tionghoa berjasa besar dalam membantu mempercepat produksi pertanian dan mengolah produk pertanian beraneka ragam.
Ia mennyebut dalam pembuatan garam, orang Tionghoa memperkenalkan teknik pompa berpedal, pemeras kelapa hingga bajak. Selain itu mengembangkan penyulingan arak yang bahan mentahnya berasal dari beras yang difermentasi, tetes tebu dan nira.
Dari sektor pertanian kacang hijau dan kedelai orang Tionghoa juga berjasa menghasilkan taoge, tauco dan kecap. Banyaknya sektor pertanian yang dihasilkan itu membuat Denys Lombard tak segan menyebut orang Tionghoa telah memiliki sumbangsih besar dalam mendirikan dasar industri pertanian.
Jasa Tionghoa yang kedua ialah pada sektor pertanian padi dengan memperkenalkan teknik pertanian baru. Catatan dari Andries Teisseire, seorang pedagang gula ternama Belanda melaporkan bahwa orang Tionghoa dan orang Jawa bekerjsama dalam pengolahan lahan. “Orang Jawalah yang umumnya mengolah tanah, mereka didorong, dibimbing dan diangkat oleh orang Cina, yang memberi mereka sarana untuk memperoleh hewan serta alat-alat yang diperlukan,” tulis Andries.
Kesaksian dari Hooyman menjelaskan sistem Bertani orang Tionghoa terlihat perbedaan yang mendasar, yakni teknik penyemaian yang dibuat dalam baris-baris. Cara tersebut membuat petani membersihkan rumput dengan bajak dan memberi keuntungan terhadap hasil yang dihasilkan sebanyak 80 kali lipat.
Jasa orang Tionghoa dalam pertanian padi lainnya yakni dengan meperkenalkan jenis padi baru dengan nama padiejeree. Bahkan sekitar tahun 1750, orang Tionghoa memperkenalkan alat penyosoh atau alat pembersih beras yagng sangat efisien.
Orang Tionghoa memperkenalkannnya dengan cara dua atau tiga ekor lembu yang mengolah empat sampai lima ratus pon per hari. Saat itu sebagai perbandingan, alat penyosoh yang dilakukan oleh orang Jawa menggunakan lesung tradisional yang hanya bisa mengolah 100 pon beras.
Cara tersebut lantas diadopsi oleh Hooyman dengan bantuan insinyur J-B Pilon dan berhasil merangsang produki beras di Batavia dan bahkan termasuk memecahkan masalah persediaan pangan yang saat itu dikhawatirkan.
Kacang Tanah, Nila Hingga Buah-buahan
Jasa Tionghoa terakhir tak kalah pentingnya ialah jaasa budidaya kacang tanah. Masih menurut Hooyman, kacang tanah baru masuk ke Batavia sekitar tahun 1755 yang kemungkinan berasal dari China.
Dalam mengolah perkebunan kacang tanah, orang Tionghoa memelihara babi sampai 200 ekor. Pada tahun 1778 tercatat terdapat 51 penggilingan kacang tanah di daerah Batavia termasuk di dalamnya di daerah Ommelanden. Penggilingan kacang tanah tersebut mempekerjaan 600 buruh masing-masing menghasilkan 27 ribu kannen atau guci kecil.
Dari industri kacang tanah itulah kemudian dihasilkan minyak kacang tanah, tepat pada tahun 1778 telah berjasa menyelesaikan masalah kekurangan minyak di Batavia.
Selain tiga sektor pertanian tersebut, Hooyman juga menyinggung sedikit soal Nila yang telah dibudidayakan di sekitar Batavia. Orang Tionghoa menanamnya di dekat sungai yang dibutuhkan untuk membuat pewarna.
Hooyman juga menyebut orang Tionghoa juga memiliki masa depan cerah terhadap budidaya buah-buahan dan sayur mayur dengan pengecualaian kembang kol dan arthicoke.
Sejarawan Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik, memperlihatkan orang Tionghoa berjasa besar dalam membantu mempercepat produksi pertanian dan mengolah produk pertanian beraneka ragam.
Ia mennyebut dalam pembuatan garam, orang Tionghoa memperkenalkan teknik pompa berpedal, pemeras kelapa hingga bajak. Selain itu mengembangkan penyulingan arak yang bahan mentahnya berasal dari beras yang difermentasi, tetes tebu dan nira.
Dari sektor pertanian kacang hijau dan kedelai orang Tionghoa juga berjasa menghasilkan taoge, tauco dan kecap. Banyaknya sektor pertanian yang dihasilkan itu membuat Denys Lombard tak segan menyebut orang Tionghoa telah memiliki sumbangsih besar dalam mendirikan dasar industri pertanian.