Masjid Saka Tunggal (1288 M): Masjid Tertua dan Keunikannya

Laporan: Tio Pirnando
Sabtu, 01 Maret 2025 | 12:58 WIB
Masjid Saka Baitussalam (Sinpo.id/Pemprov Jateng)
Masjid Saka Baitussalam (Sinpo.id/Pemprov Jateng)

SinPo.id -  Banyaknya masjid dengan ragam pesona arsitektur, menjadi daya tarik dan bukti perkembangan Islam di Indonesia. Dari data Dukcapil Kemendagri 2024 mencatat, dari 282.477. 584 jiwa penduduk Indonesia,  245. 973. 915 orang (87,08%) beragama Islam. 

Masuknya Islam ke Nusantara masih menjadi perdebatan para sejarawan yang melahirkan multi teori. Ada yang menyebut abad ke-7, dan abad ke-13. Dengan masing-masing hipotesa teori, yaitu teori Mekkah, teori Persia, teori Gujarat, dan seabrek teori lainnya. San, biarkan itu menjadi buah penelitian para sejarawan. 

Yang ingin kita bahas dalam kronik ini ialah awal hingga perkembangan masjid-masjid serta sejarahnya di bumi pertiwi. Sebagai negara dengan populasi terbesar di dunia setelah kembali menggeser posisi Pakistan (jumlah umat islam 2024 sebanyak 240.8 juta jiwa), sangat wajar bila kita temukan masjid dimana-mana di seluruh penjuru Indonesia. 

Bagaimana dengan perkembangan masjid di Nusantara? Masjid Saka Tunggal Baitussalam terletak di Desa Cikakak, Banyumas, Jawa Tengah, disebut sebagai masjid tertua di Indonesia. Masjid ini didirikan oleh Kiai Mustolih alias Mbah Tolih, dengan versi berdiri sejak 1288, dua abad sebelum zaman Wali Songo (sekitar abad 15-16 M). Memang versi tahun berdirinya Masjid Saka Tunggal cukup banyak, dan terus menjadi bahan penelitian bagi akademisi. 

Adapun nama Saka Tunggal dari masjid ini, yang berarti tiang tunggal, diambil dari karakteristik bangunannya yang ditopang oleh satu tiang utama. Dalam bahasa Jawa, "Saka" berarti tiang, dan "tunggal" berarti satu. Hal ini yang membuat desain konstruksi Masjid Saka Tunggal menjdi unik. Untuk 1288 M itu sendiri terukir di tiang  masjid dengan aksara Arab. 

Masjid ini, ada yang menyebut didirikan ketika kerajaan Singasari masih berkuasa. Artinya, keberadaan Masjid Saka Tunggal lebih tua dari Majapahit Kerajaan Hindu-Budha terbesar di Nusantara, yang didirikan Raden Wijaya pada 1294 Masehi, sebagai kelanjutan dari Singasari.

Versi kedua menyatakan, tahun 1288 M sudah didirikan bangunan tempat peribadatan, tetapi kala itu masih digunakan sebagai tempat ibadah umat Hindu. Baru pada 1522 ketika Islam masuk dibawa oleh K.H. Mustholih ke Desa Cikakak, bangunan itu beralih fungsi menjadi masjid.

Teori ini menunjukkan pembangunan masjid Saka Tunggal dilakukan di akhir masa Majapahit dan di masa kejayaan Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa yang didirikan oleh seorang pangeran Majapahit bernama Raden Patah, baru pada tahun 1475 M.

Riwayat Kerajaan Majapahit benar-benar runtuh pada 1527 M akibat serangan dari Kesultanan Demak di bawah kepemimpinan Sultan Trenggana (1521-1546 M).

Menurut  Prof. Dr. Sugeng Priyadi, pakar sejarah dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto, dalam wawancara dengan Savitri Meiniadi untuk riset bertajuk "Sejarah Masjid Saka Tunggal Cikakak" (2016), tahun 1288 yang dimaksud bukan tahun masehi, tetapi tahun hijriah.

Apabila mengacu rumusan ini, maka teori bahwa Masjid Saka Tunggal Banyumas dibangun pada masa Kerajaan Majapahit atau pada periode sebelumnya yakni di era Kerajaan Singasari, terbantahkan.

Jika memang masjid ini dibangun pada masa Majapahit atau bahkan pada masa Singasari, lanjut Savitri Meiniadi dalam penelitian untuk tugas akhirnya, tahun yang dipakai adalah tahun Saka dengan tulisan huruf Jawa Kuno.

Pentingnya Masjid Saka Tunggal dalam sejarah Indonesia, ini tercermin melalui statusnya sebagai Benda Cagar Budaya/Situs. Ditetapkan dengan nomor 11-02/Bas/51/TB/04, masjid ini dilindungi oleh undang-undang RI No. 5 tahun 1992 dan PP nomor 10 tahun 1993.

Tradisi Unik 

Beragam tradisi unik masib tetap dipertahankan di Masjid Saka Tunggal. Seperti zikir melantunkan kidung Jawa di hari Jumat. Ditulis dalam situs duniamasjid.islamic-center.or.id, elama menunggu waktu salat Jumat dan setelah salat, jamaah Masjid Saka Tunggal akan berzikir dan bershalawat dengan nada seperti melantunkan kidung jawa. Dengan bahasa campuran Arab dan Jawa, tradisi ini disebut tradisi ura ura.

Keunikan lainnya, imam masjid tak menggunakan penutup kepala, sen yla peci, kopiah, yang lazimnya digunakan, tapi memakai udeng/pengikat kepala, dan khutbah Jumat disampaikan seperti melantunkan sebuah kidung,

Selain itu, keunikan yang masih dipertahankan, adalah empat orang muazim berpakaian sama dengan imam, menggunakan baju lengan panjang warna putih, menggunakan udeng bermotif batik. Ke empat muazin tersebut mengumandangkan adzan secara bersamaan, yang dilantukan secara lantang merdu terdengar, tanpa menggunakan pengeras suara. 

Uniknya lagi, seluruh rangkaian salat  Jumat dilakukan secara berjamaah, mulai dari  tahiyatul masjid, kobliah Jumat, shalat Jumat, ba’diah Jumat, shalat zuhur, hingga ba’diah zuhur. Semuanya dilakukan secara berjamaah. Itulah sedikit keunikan di Masjid Saka Tunggal. 

Mitologi Monyet 

Ketertarikan orang ke Masjid Saka Tunggal bukan hanya dengan arsitekturnya saja, tetapi keberadaan monyet-monyet, yang  tidak ditemukan di masjid lain. Dimana, nonyet-monyet ini dibiarkan berkeliaran di pelataran masjid, area parkir, dan jalan. Ini semakin meneguhkan Masjid Saka Tunggal sebagai destinasi wisata religi. Balutan forklore bercampur mitologi menaungi keberadaan masjid yang oleh sebagian orang dikeramatkan.

Dikutip dari Gatra (14 Oktober 2019), Imam  sekaligus juru kunci ke-12 Masjid Saka Tunggal, Sulam mengatakan, monyet penunggu itu berjumlah ratusan ekor. Ratusan monyet itu terbagi menjadi lima koloni atau kelompok dan tinggal di sekitar masjid yang memang berada di pinggiran hutan.

Ternyata, ada legenda di balik keberadaan ratusan monyet ini. Cerita ini tuturkan secara lisan, turun temurun di antara masyarakat Cikakak yang merupakan keluarga besar, bersaudara satu sama lain. "Memang ada legendanya. Benar tidaknya, saya tidak tahu. Tapi ceritanya demikian," kata Sulam

Sulam mengisahkan, pada masa penyebaran Agama Islam, Kyai Mustholih mendirikan masjid dan mendirikan padepokan mengaji. Puluhan santri pun berdatangan dari berbagai daerah. Tiba hari Jumat. Santri lelaki pun berkewajiban menunaikan Salat Jumat. Namun, ada beberapa santri yang melanggar dan melupakan kewajibannya, lantaran asyik mencari ikan di sekitar masjid.

Akibatnya, Mmreka pun ribut sehingga mengganggu orang-orang yang tengah menjalankan Salat Jumat. Kyai Mustholih lantas marah. Seusai Salat Jumat, ia menghardik para santri yang telah kelewat batas. Saat itu ia sempat mengatakan kelakuan santrinya tak beda dengan monyet yang nakal dan susah diatur.

Sebagaimana legenda kyai zaman kuno yang memiliki daya linuwih, ujaran itu menjadi kenyataan. Santri-santri nakal itu berubah menjadi monyet. "Legendanya begitu," cerita Sulam.

Namun, terlepas benar tidaknya, menurut Sulam, ada pesan mulia di balik legenda santri yang dikutuk menjadi monyet. Dimana, yang membedakan manusia dengan hewan adalah perilakunya. Jika manusia tak memiliki kemanusiaan, akal dan hati, maka ia tak beda dengan monyet.

Itulah sedikit kisah tentang Masjid Saka Tunggal. Kisah-kisah masjid lain, serta perannya dalam perkembangan Islam di Nusantara, akan diulas pada tulisan berikutnya.

BERITALAINNYA