Satrio: Denny JA Sosok Figur Multidimensional yang Jenius
SinPo.id - Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, Satrio Arismunandar menyebut sosok Denny JA adalah figur multidimensional yang telah melampaui batas-batas konvensional di setiap bidang yang disentuhnya.
Hal ini disampaikan pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) itu dalam esainya menyambut perayaan 62 tahun usia Denny JA pada 4 Januari 2025 lalu.
“Dalam sejarah peradaban manusia, istilah jenius sering disematkan kepada individu yang menciptakan inovasi melampaui batas zamannya. Leonardo da Vinci menguasai seni, sains, dan teknik. Rabindranath Tagore menyentuh sastra dan filsafat. Denny JA, di era modern, menjadi sosok serupa di Indonesia,” ungkap Satrio dalam keterangannya, Rabu, 8 Januari 2024.
Ada beberapa alasan yang dinyatakan Satrio soal mengapa Denny JA ia anggap layak disebut jenius.
Sebagai pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA adalah pelopor modernisasi kampanye politik di Indonesia.
Ia mengubah pendekatan tradisional berbasis intuisi menjadi strategi ilmiah berbasis survei dan riset opini publik. Dengan memanfaatkan data dan narasi, Denny JA menciptakan revolusi dalam demokrasi Indonesia.
Di bawah kepemimpinannya, LSI membantu memenangkan lima pemilu presiden berturut-turut (2004, 2009, 2014, 2019, 2024), sebuah prestasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Lebih dari itu, LSI juga menjadi kunci sukses bagi puluhan gubernur dan lebih dari 100 kepala daerah.
"Ia tidak hanya menyajikan data kepada kliennya, tetapi juga membangun narasi strategis yang menyentuh hati rakyat. Dengan pendekatan soft power, ia membuktikan bahwa perubahan besar dapat dilakukan tanpa kekerasan, melainkan dengan strategi komunikasi yang matang," kata Satrio.
Denny JA juga menurutnya memiliki portofolio luas di sektor properti, hotel, tambang, dan kuliner. Kekayaannya yang melampaui Rp1 triliun menjadi bukti kemampuannya mengelola berbagai bidang secara profesional.
Selain itu, Denny JA juga dianggapnya menciptakan genre puisi esai, perpaduan antara puisi, narasi cerita, dan isu sosial. Buku debutnya, Atas Nama Cinta, menjadi tonggak awal sebuah gerakan sastra yang kini telah menghasilkan lebih dari 150 buku puisi esai di Asia Tenggara.
"Puisi esai tidak hanya menjadi ekspresi seni, tetapi juga alat advokasi sosial. Genre ini telah digunakan untuk membahas isu-isu sensitif seperti diskriminasi agama, pernikahan anak, hingga kekerasan berbasis gender," jelasnya.