PENGELOLAAN SAWIT

Ombudsman RI: Maladministrasi Tata Kelola Sawit Rugikan Negara Rp 279,1 Triliun

Laporan: Tio Pirnando
Senin, 18 November 2024 | 20:56 WIB
Petani sedang memasukkan buah sawit ke dalam truk (SinPo.id/ Dok. PPKS)
Petani sedang memasukkan buah sawit ke dalam truk (SinPo.id/ Dok. PPKS)

SinPo.id - Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan, pihaknya menemukan sejumlah potensi maladministrasi dan kerentanan dalam tata kelola industri kelapa sawit, yang merugikan negara hingga Rp 279,1 triliun per tahun.

"Total potensi nilai kerugian dalam (dugaan maladministrasi) tata kelola industri kelapa sawit adalah Rp 279,1 triliun per tahun," kata Yeka di Jakarta, Senin, 18 November 2024.

Yeka menguraikan, beberapa aspek maladministrasi yang perlu diperbaiki dalam industri sawit, seperti pemanfaatan lahan, integrasi kebijakan, perizinan, dan aspek tata niaga

Untuk aspek pemanfaatan lahan, yang terjadi tumpang tindih perkebunan dengan kawasan hutan, berpotensi hilangnya pendapatan negara Rp 74,1 triliun. Dimana, tumpang tindih lahan itu mencapai 3.222.350 hektare, dengan subjek hukum kelapa sawit sejumlah 2.172 perusahaan dan 1.063 koperasi tani pekebun sawit.

Kendati demikian, ribuan subjek hukum tersebut telah selesai ditangani melalui mekanisme Pasal 110A UUCK sejumlah 115 Subjek Hukum (SH), terdiri dari 83 SH dengan Surat Keputusan (SK) penetapan batas pelepasan kawasan hutan, dan 32 SH dengan SK pelepasan kawasan hutan.

Sementara itu, penyelesaian hukum lewat Pasal 110B UUCK telah selesai sejumlah 53 SH dengan ditetapkan SK Denda Administratif, serta untuk Perkebunan Sawit Rakyat telah diselesaikan melalui Skema PP 24/2021 sejumlah 31 SH dengan SK Persetujuan Perhutanan Sosial.

Dengan demikian, total penyelesaian tumpang tindih lahan perkebunan sawit dan kawasan hutan baru sebanyak 199 SH dan masih tersisa sebanyak 3.036 SH atau 93,84 persen.

"Permasalahan perlu diselesaikan dengan mengutamakan kepemilikan lahan yang telah diterbitkan bukti kepemilikan Hak Atas Tanah (HAT) dan pengakuan hukum lainnya," kata Yeka.

Kemudian, aspek integrasi kebijakan, adalah rendahnya capaian perizinan dalam bentuk Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), Peremajaan Sawit Rakyat (PSR),  sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), serta ketidakpastian layanan persetujuan teknis (pertek) pemanfaatan air limbah pabrik kelapa sawit untuk aplikasi ke lahan, negara berpotensi hilang mencapai Rp 111,6 triliun.

Sedangkan aspek tata niaga yang ditemukan yaitu soal kualitas bibit yang tidak sesuai ISPO, perizinan Pabrik Kelapa Sawit (PKS), program kebijakan perdagangan produk turunan kelapa sawit, dan pengelolaan dana sawit, potensi kerugiannya sekitar Rp 81,9 triliun.

Terakhir, dari aspek kehilangan yield/keuntungan akibat grading tidak sesuai standar kematangan Tandan Buah Segar (TBS), sebesar Rp 11,5 triliun/tahun.

"Silakan, ini direnungkan. Kalau tata kelola ini bisa diperbaiki maka minimalnya negara akan mendapatkan tambahan sebesar Rp 279,1 triliun," tukasnya.

BERITALAINNYA