Peneliti TII: Perubahan Iklim dan Hama Jadi Penyebab Kenaikan Harga Beras
SinPo.id - Putu Rusta Adijaya, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), berpendapat bahwa kenaikan harga beras di mayoritas daerah di Indonesia disebabkan oleh perubahan iklim serta penyakit dan hama.
“Kenaikan harga beras di Indonesia itu disebabkan oleh beberapa hal. Faktor utamanya adalah fenomena iklim El Nino yang semakin diperburuk dengan pendidihan global. Hal ini menyebabkan kekeringan esktrem sehingga petani di daerah penghasil beras gagal panen. Perubahan iklim yang terakselerasi juga memperparah curah hujan sehingga padi tergenang dan mati. Hal ini membuat produksi padi berkurang dan mengurangi suplai di pasar,” paparnya dalam keterangan tertulis di Jakarta.
“Kedua, adanya penyakit dan hama yang menyerang tanaman padi menyebabkan rusaknya tanaman padi, gagal panen, yang berujung pada berkurangnya kuantitas produksi beras,” tambah Putu.
Putu menilai kenaikan harga beras adalah hasil dari kurangnya ketersediaan beras untuk memenuhi permintaan beras.
“Masyarakat kita masih sangat tergantung dengan beras sebagai bahan pokok. _Demand_ beras yang tinggi ini tidak bisa terpenuhi oleh ketersediaan yang ada. Alhasil, _shortage_ beras ini membuat harga beras makin mahal, karena kuantitasnya sedikit di pasar. Walaupun mahal, masyarakat juga tetap membelinya karena sangat bergantung pada beras. Karena masyarakat sangat butuh, ada potensi penjual bisa _mark-up_ harga,” jelasnya.
Selain itu, Putu juga mengatakan bahwa dampak restriksi ekspor beras India juga memengaruhi ketersediaan beras dalam negeri.
“Waktu India _banned export_ beras beberapa waktu lalu, kuantitas beras global menurun karena ini. Mau tidak mau dampaknya juga dirasakan oleh Indonesia. Memang persentase impor beras kita dari India sedikit, tapi setelah ada _ban_ tersebut, hal ini ikut mengurangi ketersediaan beras dalam negeri juga. Karena susah impor dari India, kita diversifikasi pasar impor ke Thailand dan Pakistan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Putu juga melihat faktor kampanye Pemilu 2024 juga menjadi potensi pendorong mahalnya harga beras.
“Kampanye pemilu juga saya lihat sebagai potensi _driven factor_ naiknya harga beras. Sudah kondisi jumlah berasnya sedikit di pasar, berasnya diborong oleh para Caleg untuk tujuan kampanye. Belum lagi program Bansos Pemerintah yang juga gencar di masa kampanye Pemilu 2024 ini. Ya, kuantitasnya di pasar jadi makin berkurang. _Demand_-nya tadi tetap tinggi, harganya jadi makin mahal,” tuturnya.
Putu pun menghimbau Pemerintah untuk melakukan impor guna menstabilkan harga beras di Tanah Air.
“Impor beras dapat menjadi langkah jangka pendek saat ini untuk menstabilkan harga beras dan memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Harus ada perhitungan jumlah kuantitas beras impor dan jumlah pengeluaran untuk impor beras. Jangan karena impor, nanti semakin menekan defisit neraca perdagangan. Upaya ini juga untuk memenuhi kuantitas dan ketersediaan beras dalam negeri menjelang Ramadhan dan Lebaran 2024,” katanya.
Akan tetapi, Putu menyayangkan bahwa kenaikan harga beras terus menjadi permasalahan Pemerintah yang tidak kunjung usai. Ia menyarankan beberapa hal kepada Pemerintah, seperti memperkuat kebijakan diversifkasi pangan, memperbaiki sarana dan prasarana pertanian, adaptasi teknologi, serta penelitian dan pengembangan.
“Saya menyayangkan kenaikan harga beras ini terus menjadi PR Pemerintah yang berulang. Padahal, kita punya cukup waktu untuk diversifikasi pangan guna mengurangi ketergantungan terhadap beras. Diharapkan agar sebelum berakhirnya masa Pemerintah sekarang, kebijakan diversifikasi pangan dapat diperkuat, tidak hanya untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras, tetapi juga meningkatkan akses dan nilai tambah untuk pangan lokal,” jelasnya.
“Yang kedua, Pemerintah juga dapat memperbaiki dan juga meng-_upgrade_ sarana dan prasarana pertanian yang ada, serta mengadaptasi dan mengimplementasi teknologi guna meningkatkan produktivitas lahan pertanian. Ketiga, Pemerintah juga dapat memberikan bantuan penelitian dan pengembangan untuk dapat menciptakan padi yang lebih _resilient_ terhadap perubahan iklim dan pupuk yang lebih _ecofriendly_ , berkualitas, dan mampu mengusir hama. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah Pemerintah perlu memastikan adanya rujukan data terkini dan valid yang terintegrasi dan mudah diakses terkait ketersediaan dan kebutuhan, serta harga beras. Kolaborasi multi pihak untuk mengatasi tantangan ini juga diperlukan,” tutup Putu.