Serikat Pabrik Rokok Nyatakan Tolak RUU Kesehatan

Laporan: Martahan Sohuturon
Senin, 22 Mei 2023 | 12:38 WIB
Ketua umum Perkumpulan GAPPRI Henry Najoan. (SinPo.id/Istimewa)
Ketua umum Perkumpulan GAPPRI Henry Najoan. (SinPo.id/Istimewa)

SinPo.id - Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan. Mereka melayangkan surat permohonan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar meninjau ulang rancangan regulasi berbentuk omnibus law yang sedang dibahas oleh Panja RUU Kesehatan Komisi IX DPR RI tersebut.

Hal itu merujuk surat resmi GAPPRI tertanggal 16 Mei 2023, bernomor D.0519/P.GAPPRI/V/2023, perihal Penolakan Pasal pada RUU tentang Kesehatan. 

Ketua umum Perkumpulan GAPPRI Henry Najoan menyatakan bahwa dalam situasi tahun politik yang rentan dengan ketidakstabilan, maka patut menghindari isu-isu dan penerbitan peraturan yang berpotensi menciptakan kegaduhan. 

Henry Najoan menegaskan, pembahasan RUU Kesehatan juga berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi banyak pihak dan memiliki dampak berganda (multiplier effect) ke berbagai sektor serta berpotensi disharmonis dengan berbagai peraturan yang ada. 

"Bapak Presiden yang kami hormati, kami mengusulkan akan lebih baik Pasal 154 - 158 dalam RUU kesehatan ditiadakan. Kami menolak inisiasi pembahasan RUU Kesehatan khususnya Pasal 154 - 158," kata Henry Najoan dalam keterangannya Senin, 22 Mei 2023.

Dalam kajian GAPPRI, RUU Kesehatan Omnibus Law telah menyelipkan beberapa substansi poin pengaturan tentang Industri Hasil Tembakau (IHT), yaitu pada Pasal 154 hingga Pasal 158. Isi pasal- pasal tersebut sangat berpotensi menimbulkan polemik dan kegaduhan publik di seluruh pemangku kepentingan IHT dari sektor hulu sampai sektor hilir. 

Penyetaraan tembakau yang merupakan produk legal dengan narkoba yang jelas ilegal dalam RUU Kesehatan , hanya akan mematikan IHT nasional yang selama ini telah berkontribusi besar kepada negara. 

"Penyetaraan ini akan menimbulkan perlakuan diskriminatif serta aturan yang mengekang terhadap kelangsungan usaha pertembakauan nasional," ucap Henry. 

Merujuk kajian GAPPRI, pada Pasal 154 RUU Kesehatan disebutkan bahwa Produk Tembakau dikategorikan sebagai Zat Adiktif bersama dengan Narkotika, Psikotropika dan Minuman Beralkohol. Pengelompokan tersebut, bagi GAPPRI, akan berdampak pada seluruh mata rantai yang terlibat di industri hasil tembakau (IHT) dari petani hingga distribusi. 

"Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VIII/2010, tanggal 1 November 2011, disebutkan bahwa tembakau adalah produk legal yang terbukti dengan dikenakannya cukai," ujar Henry. 

Terkait Pasal 156, disebutkan bahwa pengaturan standardisasi kemasan akan diatur lebih lanjut melalui peraturan menteri kesehatan. Berdasarkan kajian GAPPRI, perubahan pengaturan yang sebelumnya berbentuk peraturan pemerintah menjadi peraturan di tingkat kementerian, berpotensi rezim kesehatan semakin memojokkan IHT nasional yang telah terpuruk akibat stigma negatif dan kebijakan yang menekan. 

"Selama ini, IHT telah diatur oleh ratusan peraturan yang diterbitkan oleh sejumlah Kementerian dan Lembaga baik di tingkat pusat dan daerah yang umumnya pengaturan tersebut menekan IHT nasional. Karena itu, alangkah lebih baiknya untuk tidak menambah aturan yang makin memberatkan lagi bagi IHT nasional," kata Henry. 

Di lain sisi, GAPPRI berkomitmen mendukung cita-cita Presiden Jokowi melalui UU Cipta Kerja yang bertujuan untuk peningkatan investasi, kemudahan berusaha, peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja, serta investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategi nasional. 

"Kami sangat berharap Presiden Jokowi agar mempertimbangkan secara komprehensif aspirasi stakeholders sektor pertembakauan terkait RUU Kesehatan demi kelangsungan usaha di tanah air," pungkas Henry.sinpo

Komentar: