RUU Kesehatan

LBM PBNU Pertanyakan Tembakau disejajarkan Dengan Zat Adiktif

Laporan: Sinpo
Senin, 08 Mei 2023 | 07:28 WIB
Salah satu diskusi dalam Bahtsul masail yang digelar LBM PBNU (SinPo.id/ist)
Salah satu diskusi dalam Bahtsul masail yang digelar LBM PBNU (SinPo.id/ist)

SinPo.id -  Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) pertanyakan usulan pemerintah yang mensejajarkan  tembakau  sebagai produk adiktif  sama dengan narkotika, psikotropika, dan alkohol dalam rancangan undang-undang (RUU) Kesehatan. Usulan itu dinilai diskriminatif.

“RUU ini juga menjadi kontroversial karena mengatur penggunaan kemasan. Masak kemasan rokok yang notabene beberapa ulama membolehkan diberi peringatan sedemikian besar, sementara botol miras tidak ada peringatannya?” Ketua LBM PBNU KH Mahbub Ma'afi, dalam pernyataan resmi, Senin 8 Mei 2023.

Mahbub mempertanyakan tentang aturan penggunaan kemasan yang ada di dalam RUU Kesehatan tersebut. Ia heran lantaran tidak ada peringatan di botol minuman keras. 

Tecatat Bahtsul masail yang digelar LBM PBNU pekan lalu itu membahas pasal 154 RUU kesehatan yang menyejajarkan tembakau dengan zat adiktif. Menurut Mahbub, RUU Kesehatan merupakan regulasi yang kontroversi karena ada satu bagian yang secara eksplisit menyamakan produk olahan tembakau dengan zat adiktif lainnya. 

Sedangkan Wakil Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PBNU Nur Kholis menyoroti nasib para pekerja yang menggantungkan hidupnya di dalam industri tembakau. Padahal, kata Nur Kholis, undang-undang dibuat harus menjadi sebagai pemecah dari permasalahan sosial.

“Nah, masyarakat yang sangat bergantung dengan industri tembakau berjumlah 6 juta jiwa. Di mana letak penyelesaian masalahnya jika 6 juta jiwa ini terancam karena undang-undang ini?” ujar Nur Kholis

Sikap serupa juga disampaikan Katib Syuriyah PBNU KH Sarmidi Husna. Ia bahkan mengeluarkan pertanyaan retoris bahwa pemerintah telah bersikap diskriminatif terhadap produk olahan tembakau.  "Ini membuat kita bertanya-tanya kenapa kok pemerintah begitu diskriminatif? Jangan-jangan karena miras itu mayoritas produk impor?” kata Kiai Sarmidi.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI