MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal, Pakar: Semestinya Domain Pembentuk UU
SinPo.id - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Fahri Bachmid menilai, semestinya model dan sifat keserentakan sebuah Pemilihan Umum (Pemilu), merupakan kewenangan pembuat undang-undang, yaitu DPR RI.
Hal itu disampaikan Fahri menanggapi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memutuskan mulai 2029, pemilu nasional dan lokal diselenggarakan secara terpisah. Pemilu nasional ini mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sedangkan pemilu lokal meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, serta kepala daerah.
"Sedianya penentuan pilihan model atas sifat keserentakan Pemilihan umum itu menjadi domain pembentuk undang-undang, akan tetapi sampai dengan saat ini belum terjadi perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu," kata Fahri dalam keterangannya, Jumat, 27 Juni 2025.
Fahri menjelaskan, pada hakikatnya isu konstitusional terkait dengan prinsip dasar serta model keserentakan Pemilu dalam praktik sistem pemerintahan presidensial adalah merupakan produk Putusan MK Nomor 55/PUU-XVll/2019,
yang didalamnya telah mengakomodir putusan Nomor 14/PUU-XI/2013.
Secara prinsip, MK telah menentukan semacam "constitutional guide" atas varian pilihan model keserentakan Pemilu yang semestinya domain DPR.
Menurut Fahri, salah satu implikasi konstitusional serta teknis atas putusan MK yang harus dicermati oleh pembentuk UU adalah bangunan desain rekayasa konstitusional (constitutional engineering) berkenaan dengan masa jabatan anggota DPRD termasuk masa jabatan kepala daerah sesuai kaidah "formulation of the norm"
transisional.
"Pengaturan rezim atau pelembagaan pranata transisi/peralihan ihwal jabatan kepala daerah berdasarkan hasil pemilihan serentak pada tanggal 27 November 2024, serta anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota berdasarkan pemilihan umum pada tanggal 14 Februari 2024, " ucapnya.
Artinya dengan konstruksi waktu serta periode yang telah ditentukan, sambung Fahri, maka ada konsekwensi yuridis dengan diperlukannya tindakan perpanjangan masa jabatan anggota DPRD hasil Pemilu 2024, yang semestinya berakhir pada 2029, tetapi dapat diperpanjang 2 (dua) tahun menjadi tahun 2031.
Fahri menilai, perumusan kebijakan perpanjangan untuk anggota DPRD merupakam sebuah 'legal policy' yang 'related' serta 'reliable'. Namun, untuk kepala daerah, pembentuk undang-undang dapat saja menentukan lain dalam rumusan 'legal policy' yaitu boleh dengan instrumen Penjabat Kepala daerah (Pj) atau melakukan perpanjang jabatan.
"Sebab, penentuan model mana yang tepat secara konstitusional, itu merupakan 'open legal policy' yang tentunya menjadi domain serta kewenangan pembentuk undang-undang dalam merumuskan 'constitutional engineering'," tutup Fahri.
