Mencabut IUP Tambang di Raja Ampat

Laporan: Tim Redaksi
Jumat, 13 Juni 2025 | 07:00 WIB
Ilustrasi (Wawan Wiguna/SinPo.id)
Ilustrasi (Wawan Wiguna/SinPo.id)

Pencabutan izin tambang nikel di Raja Ampat itu diawali dengan polemik ancaman kerusakan alam yang disuarakan pegiat lingkungan yang menggelar protes di acara Indonesia Critical Minerals Conference & Expo, Selasa, 3 Juni 2025.

SinPo.id -  Pemerintah resmi mencabut izin usaha pertambangan (IUP) milik empat perusahaan di wilayah Raja Ampat. Kebijakan itu sesuai keputusan Presiden Prabowo Subianto yang meminta agar perusahaan tambang nikel yang beroperasi di kawasan Raja Ampat dicabut.

"Dan atas petunjuk Bapak Presiden, beliau memutuskan bahwa pemerintah akan mencabut izin usaha pertambangan untuk empat perusahaan di Kabupaten Raja Ampat,” ujar  Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi,  di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, pada Selasa, 10 Juni 2025.

Tercatat keempat perusahaan tersebut yakni PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining. Menurut Prasetyo, Presiden Prabowo Subianto telah memimpin rapat terbatas untuk mencabut izin tambang. “Salah satunya membahas tentang izin usaha pertambangan di Kabupaten Raja Ampat ," kata Prasetyo menambahkan.

Menurut Prasetyo, proses pencabutan IUP tersebut melalui proses koordinasi dan pengumpulan data secara objektif di lapangan, setelah Presiden Prabowo menugaskan kementerian terkait untuk menghimpun data dan informasi secara objektif di lapangan. 

“Menteri-menteri terkait itu yakni Menteri ESDM, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan, termasuk Mensesneg dan Seskab terus berkoordinasi mencari informasi, mengumpulkan data di lapangan seobjektif mungkin,” kata Prasetyo menjelaskan.

Pencabutan izin tambang nikel di Raja Ampat itu diawali dengan polemik ancaman kerusakan alam yang disuarakan pegiat lingkungan dari Greenpeace Indonesia, yang menggelar protes di acara Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Hotel Pullman, Central Park, Jakarta, Selasa, 3 Juni 2025.

Protes disampaikan  Greenpeace menyebutkan industrialisasi nikel telah menciptakan kerusakan lingkungan hingga konflik horizontal di masyarakat. Dalam protesnya Greenpeace Indonesia melibatkan empat pemuda Papua membentangkan banner ketika Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno menyampaikan sambutan. “Pemerintah bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang terjadi di Raja Ampat, di Papua. Save Raja Ampat,” kata salah satu pemuda Papua.

Selain berorasi mereka juga menampilkan tiga banner berwarna kuning bertuliskan tulisan hitam . Banner pertama bertuliskan “What’s the true cost of your nickel?” kemudian “Nickel mines destroy lives” serta “Save Raja Ampat from nickel mining.”Selain di ruangan konferensi, banner dengan pesan yang sama juga dibentangkan di area ekshibisi.

Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia, Kiki Taufik mengatakan,  protes saat acara Indonesia Critical Minerals Conference & Expo, senagaja dilakukan saat para pebisnis industri nikel dan pemerintah hadir dalam konferensi tersebut. Sedangkan  kerusakan akibat industri nikel sudah terlihat jelas di sejumlah daerah seperti Halmahera, Wawonii, hingga di Kabaena.

“Saat ini sudah mulai masuk di Raja Ampat, ada lima pulau yang sudah mulai dieksploitasi dan dibongkar,” ujar Kiki.

Ia menyebutkan, selain itu Raja Ampat merupakan global geopark dan tempat paling favorit untuk wisata bawah laut. “75 persen terumbu karang yang bagus di dunia itu adanya di Raja Ampat dan saat ini mulai dihancurkan,” ujar Kiki menambahkan.

Pesan protes yang disampaikan menyebutkan jangan sampai lingkungan dan hajat hidup masyarakat dikorbankan atas nama transisi energi, khususnya lewat hilirisasi nikel. Dia menilai masyarakat Raja Ampat menjadi korban berkali-kali atas eksploitasi nikel dan hanya menjadi penonton.

Greenpeace juga meminta pemerintah Indonesia menyetop dan mencabut izin konsesi di lima pulau di wilayah Raja Ampat. “Sudahlah wilayahnya dihancurkan, ruang hidupnya dihancurkan, tidak ada lagi tempat buat mereka untuk hidup, untuk mencari makan, kemudian juga ditutup mata pencariannya,” kata Kiki menjelaskan.

Perusahaan Asing diduga Melanggar Pidana

Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Haryadi sebelumnya juga memprotes sikap pemerintah yang dinilai tak bertindak tegas terhadap perusahaan swasta. Padahal perusahaan itu justru menjadi perusak utama kawasan konservasi di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya.

"Yang kami lihat saat ini, hanya PT Gag Nikel yang ditindak, sementara tiga perusahaan swasta yang lebih parah tidak disentuh sama sekali," ujar kata Bambang.

Ia menyebut ada tiga perusahaan masing-masing yang menambang di Raja Ampat, masing-masing PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP).

Menurut Bambang, informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan PT ASP merupakan perusahaan asal Tiongkok telah terindikasi melanggar pidana karena  menyebabkan pencemaran dan merusak ekosistem laut di wilayah operasinya. PT KSM diketahui telah membuka lahan sejak 2023 dan mulai menambang pada 2024. 

Tak hanya itu, lokasi tambang berada sangat dekat dengan kawasan konservasi Raja Ampat. Sehingga, berisiko besar terhadap keanekaragaman hayati di wilayah tersebut.  PT MRP baru memulai pengeboran di 10 titik, namun belum memiliki izin lingkungan yang sah.

“Aktivitas itu tergolong pelanggaran karena dilakukan tanpa dasar hukum yang memadai,” ujar Bambang menegaskan.

Legislator dari Fraksi Partai Gerindra itu mengatakan, justru PT Gag Nikel yang merupakan anak usaha PT Antam Tbk yang ditindak oleh pemerintah melalui penghentian sementara operasional.

Padahal, menurut informasi Kementerian Lingkungan Hidup yang disampaikan ke Komisi XII, PT Gag hanya melakukan pelanggaran minor dan dikenai kewajiban melakukan perbaikan terhadap pengawasan pengelohaan lingkungan dan juga wilayah operasinya agak jauh dari kawasan wisata Raja Ampat.

“Sedangkan izin tiga perusahaan swasta adalah izin pemerintah setempat,”katanya.

Perizinan sangat berbeda jauh antara kontrak karya dengan izin dari Pemda. Bahkan infonya PT KSM izinnya diterbitkan oleh Bupati dan Kontrak Karya PT GAG sudah terbit sebelum kabupaten Raja Ampat terbentuk.

Daerah Penerima Dampak

Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, mengatakan polemik tambang nikel di daerahnya sebagai bukti kewenangan pemerintah pusat membuat daerah (Pemda) sering  menjadi 'kambing hitam' atas kerusakan-kerusakan di wilayah kerjanya. Orideko sebagai pucuk pimpinan di Raja Ampat tak bisa berbuat banyak ketika tambang nikel menggerus keindahan alam daerahnya.

"97 persen Raja Ampat adalah daerah konservasi, sehingga ketika terjadi persoalan pencemaran lingkungan oleh aktivitas tambang, kami tidak bisa berbuat apa-apa, karena kewenangan kami terbatas," kata Orideko.

Dia mengatakan, Pemda selama ini kesulitan mengintervensi tambang nikel yang diduga merusak dan mencemari hutan serta ekosistem yang ada. Hal ini menjadi alasan ia meminta pemerintah pusat betul-betul meninjau pembatasan kewenangan pengelolaan hutan sebagai bagian dari upaya melestarikan alam dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut.

Di Kabupaten Raja Ampat terdiri 117 kampung atau desa dan 24 distrik. Kawasan itu menjadi salah satu daerah yang dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa dari hutan dan laut yang bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

"Kita memiliki laut dan hutan yang luas, kemudian potensi wisata yang telah terkenal bahkan mendapatkan predikat Geopark dari Unesco," kata Orideko menambahkan.

Sedangkan pembatasan kewenangan pengelolaan hutan yang saat ini berlaku membuat masayarakat lokal kesulitan dalam mengakses dan mengelola sumber daya hutan.

"Hutan ini tidak hanya berfungsi sebagai penyangga kehidupan masyarakat lokal, tetapi juga sebagai habitat bagi berbagai spesies endemik dan langka,"katanya.

Menurut dia, kewenangan hanya dari Jakarta membuat pemerintah daerah dan masyarakat Raja Ampat hanya menjadi penonton atas kekayaan alam yang ada. (*)

BERITALAINNYA
BERITATERKINI