HIPMI: Framing Negatif Tambang Bisa Gerus Citra Investasi dan Kebijakan Hilirisasi

Laporan: Tio Pirnando
Senin, 09 Juni 2025 | 18:09 WIB
Sekjen BPP HIPMI Anggawira. (SinPo.id/dok. Pribadi)
Sekjen BPP HIPMI Anggawira. (SinPo.id/dok. Pribadi)

SinPo.id - Sekretaris Jenderal BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira mengingatkan publik untuk tidak termakan isu lingkungan yang kadang dijadikan alat tekanan oleh asing.

Menurutnya, kampanye lingkungan hidup yang menghentikan laju industri tambang, kerap dimanfaatkan oleh aktor asing sebagai alat politik dan kepentingan ekonomi

"Framing negatif terhadap tambang nasional bisa menggerus citra investasi, daya saing, dan stabilitas kebijakan hilirisasi. Kita tidak boleh membiarkan narasi eksternal menggiring opini publik secara tidak berimbang," kata Angga dalam keterangannya, Senin, 9 Juni 2025.

Anggawira menegaskan bahwa Indonesia harus berdaulat atas narasi pengelolaan sumber daya alamnya. 

"Jangan sampai kita dikendalikan opini luar, sementara mereka di negaranya sendiri menjalankan praktik tambang yang jauh dari prinsip keberlanjutan," ucapnya. 

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batubara (ASPEBINDO) itu, sektor tambang tetap menjadi salah satu fondasi penting perekonomian nasional dan transisi energi. Karena itu, industri tambang tak bisa lagi dilihat sebagai aktivitas ekonomi konvensional. Tambang kini berperan strategis dalam rantai pasok global untuk teknologi masa depan.

"Kita tidak sedang membicarakan tambang dalam konteks lama. Ini tentang nikel dan tembaga sebagai kunci baterai, kendaraan listrik, energi bersih, dan digitalisasi global. Tanpa kontribusi Indonesia, dunia akan kesulitan," ujar Anggawira 

Industri tambang disebut menyumbang 6–7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional, menciptakan ratusan ribu lapangan kerja, dan menyumbang PNBP serta royalti yang terus naik. Sejak disahkannya Undang-Undang Minerba No. 3 Tahun 2020, serta diterbitkannya PP No. 96 Tahun 2021, pemerintah berupaya memperkuat tata kelola, hilirisasi, dan pengawasan lingkungan.

Namun, tantangan utama bukan pada regulasi, melainkan pada penegakan hukum, konsistensi, dan transparansi.

"Kita butuh tambang yang legal, berkelanjutan, dan modern. Pemerintah harus tegas menindak pelanggaran, tapi juga melindungi dan memberi insentif bagi perusahaan patuh hukum," ucapnya.

Angga juga menyoroti sejumlah perusahaan tambang nasional yang dinilai berhasil menjalankan operasi berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, seperti PT Bumi Resources Tbk (BUMI) melalui Kaltim Prima Coal dan Arutmin aktif reklamasi dan konservasi biodiversity, meraih PROPER Hijau, kemudian PT Merdeka Copper Gold Tbk kelola tambang emas dan tembaga berbasis pemberdayaan masyarakat dan transparansi, PT Vale Indonesia sukses revegetasi lahan pascatambang dan bangun smelter nikel, PT Freeport Indonesia pionir tambang bawah tanah dan smelter Gresik, serta PT Bukit Asam (PTBA) ubah bekas tambang jadi kawasan ekowisata dan pertanian produktif.

Pada 2023, kata Anggawira, lebih dari 30 perusahaan tambang mendapat penghargaan PROPER Hijau dan Emas dari Kementerian LHK. 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI