Guru Besar Hukum Nilai Adopsi FCTC Tak Relevan Karena Indonesia Produsen Tembakau

SinPo.id - Keputusan Amerika Serikat (AS) keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjadi topik hangat, diikuti oleh beberapa negara yang mengikuti jejak AS untuk melepas afiliasinya dari WHO. Keluarnya AS sebagai pemberi dana terbesar menimbulkan berbagai pertanyaan baru terkait kebijakan yang dibentuk melalui WHO, salah satunya Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Aturan global tersebut telah menjadi landasan dari wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) di Indonesia.
Menanggapi hal itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana menjelaskan, FCTC berprinsip untuk mengatur negara produsen tembakau di seluruh dunia. Tujuannya agar negara-negara tunduk terhadap batasan penggunaan tembakau.
Mirisnya, perjanjian FCTC ini diinisiasi oleh negara-negara non-produsen tembakau yang disinyalir menunggangi isu kesehatan untuk mematikan industri strategis di negara seperti di Indonesia.
“Bila dicermati, intervensi saat ini dilakukan melalui perjanjian internasional yang apabila sudah ikut, maka negara tersebut memiliki kewajiban untuk mentransformasikan ikatan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional,” kata Hikmahanto, dalam keterangannya, Rabu, 26 Maret 2026.
Hikmahanto menilai, FCTC seharusnya menjadi tidak relevan lagi setelah keluarnya AS dari WHO. Ini menunjukkan WHO tidak seharusnya menjadi otoritas tertinggi bagi negara-negara yang tergabung untuk menjalankan kebijakannya. Dalam hal ini, AS telah mengambil keputusan yang tepat untuk menjaga kedaulatan negaranya.
Selain itu, demi menjaga kedaulatan negara seperti halnya AS, pemerintah juga harus secara tegas menegakkan kedaulatan dari ancaman intervensi asing, sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.
"Pemerintah harus hati-hati dalam menerapkan FCTC di Indonesia, terutama karena negara ini tidak meratifikasi aturan global tersebut. Pemerintah juga harus mempertimbangkan kondisi nasional sehingga kebijakan ini menjadi tidak tepat bila diterapkan,” tegasnya.
Hikmahanto menilai, rancangan Permenkes bisa menjadi ancaman nyata keberlangsungan sektor tembakau, salah satu sektor padat karya yang menjadi perhatian Presiden Prabowo Subianto.
Karena itu, Hikmahanto menyarankan agar Kemenkes dapat berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga yang terkait dengan industri tembakau, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Ketenagakerjaan untuk memastikan kebijakan yang berimbang sebelum mengesahkan rancangan tersebut.
Mengingat industri tembakau merupakan industri yang kompleks di Tanah Air dan melibatkan banyak tenaga kerja serta sektor lain yang saling berkaitan.
"Pemerintah harus menjaga kedaulatan dan kebebasan dalam membuat kebijakan yang sesuai dengan kondisi lokal," pungkasnya.