Minggu, 16 Maret 2025
JADWAL SALAT & IMSAKIAH
Imsak
04:30
Subuh
04:40
Zuhur
12:01
Ashar
15:10
Magrib
18:05
Isya
19:14
Khazanah Islam

Masjid Cipari Garut: Saksi Bisu Pemberontakan DI/TII

Laporan: Tio Pirnando
Rabu, 12 Maret 2025 | 15:48 WIB
Masjid Cipari Garut (Sinpo.id/Disbud Jabar)
Masjid Cipari Garut (Sinpo.id/Disbud Jabar)

SinPo.id - "Barangsiapa membangun masjid karena Allah, kecil atau besar, maka Allah membangun baginya rumah di surga". - (HR al-Tirmidzi).

Para pembaca yang budiman, hadis di atas menyebutkan bahwa bagi setiap muslim atau muslimah dapat turut berkontribusi untuk kokohnya bangunan masjid, baik besar maupun kecil, dan tetap mendapat keutamaan dalam memakmurkan masjid. Begitu besarnya pahala membangun masjid. 

Kali ini kita akan mengisahkan tentang Masjid Al-Syuro, berlokasi di Kampung Cipari, Desa Sukarasa, Kecamatan Pangatikan, Kabupaten Garut, Jawa Barat, atau lebih dikenal dengan nama Masjid Cipari.

Menurut Iim Imadudin dalam "Peranan Kiai dan Pesantren Cipari Garut Menghadapi DI/TII 1948-1962 (Jurnal Patanjala Vol. 2 No. 1, Maret 2010), menyebutkan bahwa masjid ini dirancang oleh Raden Mas Abikoesno Tjokrosoejoso, adik dari tokoh Sarekat Islam, Haji Omar Said Tjokroaminoto. 

Masjid ini sendiri terletak lingkungan Pondok Pesantren Cipari di Kampung Cipari, Desa Sukarasa, Kecamatan Pangatikan, Garut, dipimpin oleh KH. Yusuf Taudziri. 

Dengan kelihaian Abikusno, dalam merancang, bangunan masjid ini berhasil memadukan arsiterktur bernuansa kolonial dengan sentuhan lokal. 

Fondasi batu alam, dinding beton, jendela-jendela bergaya art deco dan satu menara berkubah berhiaskan bulan bintang menjadi ciri khas dari Majid Cipari. Ini menjadi bahwa bangunan ini sesungguhnya adalah masjid bergaya kolonial Eropa. 

Pembangunan Masjid Al-Syuro selesai pada tahun 1936 diresmikan oleh H.O.S Tjokroaminoto. Nama Syuro itu dipilih, karena memang ada sejarah di balik berdirinya, yang mana dulu sering dipakai untuk tempat musyawarah pejuang. 

Karena setelah diresmikan, masjid lantas menjadi pusat kegiatan umat muslim sekitar, serta basis pertemuan tokoh Syarikat Islam (SI), dan juga tokoh pergerakan nasional melawan Belanda. 

Saksi Gempuran DI/TII 

Masjid yang didirikan pada masa kolonial ini, tentu difungsikan juga sebagai tempat latihan perang, basis pertahanan hingga dapur umum.

Karena, para santri di Pesantren Cipari selain belajar ilmu agama, juga dididik untuk menjadi pejuang kemerdekaan.

Bahkan, masjid ini sempat menjadi tempat pengungsian warga sekitar pada saat perang berlangsung. 

Namun, kita akan menyoroti lebih jauh peran masjid ini pasca kemerdekaan. Atau puluhan tahun lalu, ketika serbuan pasukan Darul Islam ingin membumihangsukan  kompleks Pesantren Darussalam, tempat masjid ini berada.

Kiai Yusuf Tauziri bersama santri-santrinya berusaha bertahan dari penyerbuan. Masjid Cipari menjadi benteng pertahanan terakhir. 

Solahudin dalam The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jema’ah Islamiyah (2013) mencatat, pesantren ini sejak 1949 hingga 1958 diserang sebanyak 47 kali. Penyerangan pada 1952 adalah yang terbesar.

Serbuan selama delapan jam pada 17 April 1952, menghancurkan bangunan pesantren dan merusak masjid, tapi tak mampu membunuh Kiai Yusuf. Ia dan para santrinya bertahan dengan menggunakan tujuh pucuk senapan dan dan dua peti granat. Sebelas santri tewas dan lebih dari 10 pasukan Darul Islam binasa.

Hiroko Horikoshi penulis The Darul Islam Movement In West Java 1948-62 (1975) mencatat, pada 17 April 1952 sekitar 3 ribu pasukan Darul Islam melakukan serangan sebanyak tiga kali. Tembak-menembak pada serbuan tersebut berlangsung sampai pukul tiga pagi.

Padahal, jika ditilik, Sekaemadji Maridjan Kartosoewirjo dan Kiai Yusuf adalah teman seperjuangan dalam melawan penjajah Belanda dan Jepang.

Namun ketika Kartosoewirjo ingin mendirikan DI/TII karena merasa tidak sejalan dengan pemerintahan Presiden Soekarno yang menganggap tidak menjalankan syariat Islam, ditolak mentah-mentah oleh Kiai Yusuf.

Hal inilah yang menimbulkan sikap permusuhan yang dibangun Kartosuwirjo terhadap Kiai Yusuf.

Lebih lagi, penolakan terhadap permintaan Kartosoewiryo itu dilakukan dua kali oleh Kiai Yusuf, baik pada tahun 1945 dan 1948. 

"Ide untuk mendirikan Negara Islam, melenyapkan republik kesatuan adalah di luar apa yang hendak diusahakan sebagian besar kelompok Islam di bawah pengaruh Yusuf (Tauziri). […] Pada waktu TII terbentuk hanya satu kelompok Hizbullah, kelompok Tasikmalaya yang dipimpin Oni (kemudian menjadi Perdana Menteri DI), tetap bersama Kartosuwirjo," tulis Cornelis van Dijk dalam Darul Islam Sebuah Pemberontakan (1983), mengutip dari Hiroko Horikoshi dalam The Darul Islam Movement In West Java 1948-62 (1975).

Majalah Tempo edisi 16 Agustus 2010 dalam liputan khususnya yang bertajuk "Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam" juga mencatat hubungan antara kedua orang ini yang sempat dekat.

Saat Kartosoewirjo menjauh dari pusaran politik di pusat kekuasaan, ia menetap di Malangbong, Garut. Di sinilah ia berguru mempelajari Islam kepada sejumlah kiai, salah satunya Kiai Yusuf Tauziri.

"Keakraban Kartosoewirjo dengan Yusuf Tauziri terjalin antara 1931 dan 1938, saat sang Kiai duduk dalam Dewan Sentral Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Kiai Yusuf kemudian menjadi salah seorang penasihat Kartosoewirjo," tulis Majalah Tempo.

Pada kongres PSII pada 1936, Kartosoewirjo terpilih sebagai wakil ketua partai. Namun, pada Januari 1940, ia dipecat oleh partai lantaran dituduh menyalahgunakan dana partai. 

Ia bersama Kiai Yusuf kemudian membentuk Komite Pembela Kebenaran PSII yang diklaim sebagai kelanjutan dari PSII yang sebenarnya.

Kedekatan itu akhirnya retak setelah Kiai Yusuf berseberangan pandangan dengan Kartosoewirjo tentang konsep negara Islam.

Menurut Cornelis van Dijk, ada gerombolan-gerombolan liar dalam gerakan Darul Islam, yang paling menonjol adalah kelompok Bambu Runcing dan Brigade Citarum.

Kelompok Bambu Runcing yang pada awalnya dipimpin Chaerul Saleh tidak beroperasi di wilayah Priangan, melainkan di Jakarta, Bekasi, Karawang, Purwakarta, dan Subang. Sementara itu, Brigade Citarum kerap beraksi di daerah Sukabumi, Cianjur, dan Bandung.

Pada hari-hari penuh kontak senjata itu, mereka kerap bertempur satu sama lain dan kadang juga bekerja sama. Jika tengah bermusuhan, kedua kelompok beda ideologi ini saling menculik para pemimpin kedua belah pihak.

Bahkan, dalam catatan van Dijk, kelompok Bambu Runcing Sukabumi sempat mengancam akan menghabisi semua ulama pada bulan puasa.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI