Masjid Gammalamo: Jejak Kerajaan Islam Jailolo

SinPo.id - "Sejarah adalah suatu perjanjian di antara orang yang telah meninggal, mereka yang masih hidup, dan mereka yang belum dilahirkan". - Edmund Burke (Negarawan Irlandia).
Kali ini kita akan mengisahkan tentang Masjid Gammalamo, sebagai bangunan rumah ibadah pertama dan tertua yang berdiri kokoh di Kota Jailolo Halmahera Barat.
Masjid yang berlokasi di pesisir pantai Pelabuhan Dufa-Dufa tepatnya di Desa Gamlamo ini, merupakan bangunan bersejarah yang menyingkapkan sejarah dan budaya Islam di Jailolo.
Menariknya, di halaman depan masjid, terdapat sebuah meriam tua peninggalan masa kolonial.
Masjid ini juga dinilai sebagai representasi eksistensi dakwah dan syiar Islam yang sudah bermetamorfosis secara fisik maupun tradisi budaya sejak masa berdirinya hingga masa sekarang.
Keberadaan Masjid Gammalamo juga sebagai jejak-jejak warisan budaya Kesultanan Jailolo yang tergabung dalam Moloku Kie Raha (Ternate, Bacan, Jailolo dan Tidore).
Masyarakat Jailolo sendiri memiliki filosofi Jou Se Ngofangare yang bermakna teologis dan humanistik dalam memaknai eksistensinya sebagai manusia adalah ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa.
Menurut Mudaffar Sjah dalam bukunya 'Moloku Kie Raha dalam Perspektif Budaya dan Sejarah Masuknya Islam' (2005), filosofi Jou Se Ngofangare mengandung makna Tuhan dan Aku.
"Tuhan sebagai awal dari segala kejadian. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang tidak lepas dari dimensi-dimensi teologis. Secara teologis Jou Se Ngofangare merupakan representasi kebudayaan melalui pendekatan lokal untuk memahami makna proses syahadat yang pada intinya adalah penghormatan Tuhan kepada hambanya yang menempati manusia pada posisi yang paling tinggi dan terhormat," tulis Mudaffar (hal. 44)
Dari uraian di atas, tidak berlebih bila kita perlu mempelajari peran Masjid Gammalamo dalam perkembangan agama Islam di Maluku Utara, termasuk filosofi hidup masyarakat Jailolo.
Masjid Gammalamo dibangun pada awal tahun 1900-an atas swadaya masyarakat yang bergotong-royong bahu-membahu mendirikan tempat ibadah.
Berawal tidak adanya bangunan rumah ibadah bagi kaum muslim di Jailolo, maka atas prakarsa Suku Moro (suku tertua di Jailolo) rakyat Jailolo bersepakat dan berswadaya mendirikan masjid.
Empat suku di Jailolo yaitu suku Moro, Wayuli, Porniti, Gammalamo baik itu yang beragama Islam maupun Kristen turut berpartisipasi membangun Masjid Gammalamo.
Tiap-tiap suku memberikan kontribusi berupa pemasangan tiang kaba (soko guru) pada ruang ibadah masjid.
Tiang Kaba sebagai simbolisasi persatuan dan kesatuan rakyat Jailolo yang saling bersaudara dan tetap menjaga hubungan baik antarsesama walau beda suku dan agama
Setelahnya masjid ini berdiri dan difungsikan sebagai rumah ibadah, juga dijadikan tempat bermusyawarah, menyusun strategi oleh seluruh suku di Gammalamo melawan penjajahan Belanda, saat terjadi perang Jailolo atau biasa disebut dengan Rogu Lamo Jailalo pada tahun 1914, tulis Novita Siswayanti dalam jurnalnya 'Sejarah dan Peranan Masjid Gammalamo Jailolo Halmahera dalam Menyingkap Jejak Warisan Budaya Kesultanan Jailolo' .
Saat itu, kolonial mengeksploitasi harta kekayaan masyarakat Jailolo dan mewajibkan mereka membayar upeti atau pajak kepada belanda. Belanda menerapkan sistem tanam paksa terhadap perkebunan rakyat, dengan mempekerjakan masyarakat secara rodi tanpa bayaran.
Masjid Gammalamo ini juga digunakan sebagai benteng muslim Jailolo untuk menangkal dan menghalang Misi Kristenisasi yang dijalankan Belanda. Karena pada saat itu selain menjajah secara materi, ternyata penjajah juga sering memaksa para masyarakat untuk memeluk agama mereka, yaitu Kristen.
Belanda ingin meluaskan misi kristenisasi di tanah tersebut dengan mendirikan sekolah zendiq bagi misionaris. Sekolah zendeling (dalam bahasa Belanda pengutusan) yang ditujukan untuk penyebaran agama Kristen melalui kabar keselamatan kepada seluruh dunia.
Seperti dijelaskan di atas, ada sebuah meriam tua peninggalan Perusahaan Dagang Belanda di Hindia Timur atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yang diletakkan di halaman depan masjid. Meriam ini juga sempat digunakan rakyat Jailolo untuk melawan pasukan Belanda.
Namun, diameter pucuk meriam ini telah pecah, dirusak oleh tentara Jepang pada masa Perang Dunia II, supaya tidak bisa digunakan lagi.
"Meriam itu peninggalan masa pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, ditinggalkan begitu saja setelah wilayah Halmahera Barat tidak difungsikan lagi sebagai pusat penghasil rempah-rempah, sekarang berada di tangan masyarakat," kata Arkeolog Syahruddin Mansyur dari Balai Arkeologi Ambon, dikutip dari Malukupost.com
Namun, menurut Mustafa Masnyur dkk, dari Universitas Khairun, dalam jurnal pustaka (Vol. 3. No. 2, 2023), berjudul 'Potensi Objek-objek Wisata Sejarah dan Budaya di Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat', menyebutkan bahwa meriam dengan panjang 2,9 meter, diameter pangkal sekitar 1,2 meter, dan diameter pucuk sekitar 70 sentimeter, merupakan peninggalan tinggalan bangsa Spanyol.
Kendati demikian, keberadaan meriam yang meski tidak terbilang bagus, tapi kondisinya masih relatif baik, merupakan salah satu bukti fisik jejak penjajahan di Halmahera Barat yang masih tersisa.
Dulunya, meriam ini digunakan sebagai penanda untuk datangnya waktu sahur dan berbuka puasa pada saat bulan Ramadhan tiba, mengingat tidak semua masyarakat yang memiliki jam matahari ataupun jam analog.
Selain meriam, pada halaman depan masjid ini juga terdapat beberapa makam tua yang diyakini oleh masyarakat setempat, merupakan makam dari kerabat-kerabat Kesultanan Jailolo.
Menurut Novita Siswayanti, Masjid Gammalamo sebagai lembaga keagamaan di bawah legitimasi Kesultanan Jailolo ditandai dengan pembentukan institusi kesultanan yang disebut Bobato Akherat atau Jolebe di samping Bobato Dunia yang mengurus hal-ikhwal keduniaan.
Bobato Akhirat dipimpin langsung oleh Sultan yang berperan sebagai imam agung. Fungsi Sultan selain sebagai pemimpin pemerintahan dan pemangku tertinggi adat dan tradisi, juga sebagai pemimpin tertinggi agama Islam dengan gelar Amiruddin.
Predikat ini bukan sekedar simbol spiritual tetapi membawa konsekuensi pembebanan sejumlah tugas keagamaan kepada sultan baik pelaksanaan hukum Islam maupun tugas sosioekonomi untuk kepentingan rakyat dan agama.
Sultan sebagai Amiruddin berkewajiban melindungi dan menjaga agama Islam dari berbagai praktek yang mencemarkannya.
Bersyukurnya, bangunan asli Masjid Gammalamo masih terpelihara dengan baik. Meskipun beberapa kali berganti nama san mengalami renovasi, namun secara garis besar renovasi hanya memperbaiki beberapa bangunan yang rusak, dan tetap mempertahankan seni arsitektural aslinya.
Inilah yang kemudian menjadi nilai plus untuk masyarakat Jailolo yang senantiasa mempertahankan keaslian dari masjid tersebut.
Padahal, awalnya masjid ini sebuah surau atau langgar tanpa nama yang digunakan untuk melaksanakan shalat berjamaah lima waktu.
Kemudian, sekitar tahun 1920-an, bangunannya dipindahkan ke lokasi yang baru dan diberi nama Masjid Al-Kabir. Lalu, tahun 1960-an renovasi dilakukan kembali tanpa mengubah desain arsitektural asli bangunan. Setelah renovasi tersebut namanya kemudian di uubah menjadi Masjid Al-Amin.
Pada tahun 1993, muncul anak cucu keturunan asli Sultan Jailolo, yang kemudian mengklaim masjid tersebut sebagai masjid kesultanan.
Akhirnya, Masjid Al-Amin dirubah namanya kembali menjadi "Masjid Gammalamo" seperti yang kita kenal saat ini.
Dengan umur yang sudah lebih dari 1 abad, Masjdi Gammalamo juga menjadi masjid tertua yang ada di Kabupaten Halmahera.
HUKUM 18 hours ago
POLITIK 2 days ago
OLAHRAGA 1 day ago
BUDAYA 2 days ago
PERISTIWA 1 day ago
GALERI 2 days ago
GALERI 19 hours ago