Gaprindo Jelaskan Fakta Rencana Penyeragaman Kemasan Rokok

SinPo.id - Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, menyatakan rencana aturan plain packaging rokok akan menghilangkan semua bentuk identitas produk. Hal tersebut tengah digodok Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
"Jadi nanti ciri, warna, atau logo akan tampak sama semua," kata Benny dalam keterangannya, Kamis, 27 Februari 2025.
Diketahui plain packaging rencananya akan mengatur desain kemasan rokok secara seragam, termasuk ukuran, jenis huruf, warna, dan letak penulisan merek serta identitas produsen. Bahkan, jenis tulisan diharuskan menggunakan Arial dan warna kemasan rokok disamakan dengan kode warna Pantone 448C.
Menurut Benny, aturan ini justru merujuk pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang digunakan banyak negara non-produsen dalam membuat regulasi kebijakan produk tembakau. Padahal, Indonesia tidak meratifikasi perjanjian internasional tersebut.
"Penyeragaman kemasan rokok ini sebenarnya diperkirakan Kemenkes melihat (mengacu pada) FCTC yang tidak diratifikasi pemerintah Indonesia, maka ini tidak punya dasar," tegasnya.
Sesuai dengan Putusan MK No. 71/PUU-XI/2013, kata Benny, produk tembakau produk legal di Indonesia. Namun, pengaturan penyeragaman kemasan rokok (plain packaging) ini justru membuat produk tembakau tidak memiliki hak untuk berpromosi dan diiklankan, seperti produk ilegal.
Kebijakan tersebut dinilai sebagai upaya menghilangkan identitas merek sekaligus merusak hak konsumen dalam menerima informasi yang tepat terkait produk serta kebebasan untuk memilih preferensinya.
Benny pun memperingatkan Kemenkes tentang kemungkinan melanggar aturan yang lebih tinggi, seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.
"Kebijakan ini akan merampas produsen atas merek dagangnya, hak cipta yang menjadi bagian dari kemasan tersebut, serta reputasi baik yang telah dibangun oleh produsen dan merek dagangnya selama puluhan tahun," tuturnya.
Benny juga menilai masalah lain yang membesar akibat penerapan plain packaging adalah peningkatan peredaran rokok ilegal. Dengan kemasan yang seragam seluruhnya, tidak ada pembeda antara rokok legal dan ilegal, karena hilangnya identitas merek.
"Kebijakan ini merupakan kesempatan bagi para pelaku rokok ilegal, karena dengan adanya standardisasi (penyeragaman) warna, bentuk, dan jenis huruf yang ditentukan, akan sangat mudah bagi produsen ilegal membuat tiruan dari merek rokok legal," kata dia.
Lebih lanjut, Benny mengingatkan bahwa maraknya rokok ilegal bukan saja merugikan industri tembakau, tetapi juga berdampak pada tidak tercapainya kebijakan pengendalian tembakau dan penerimaan negara. Data Kementerian Perindustrian menyatakan, kontribusi industri tembakau mencapai 4,22% dari Produk Domestik Bruto. Pada tahun 2024, penerimaan cukai hasil tembakau mencapai Rp216,9 triliun atau setara 72 persen dari total penerimaan kepabeanan dan cukai.
"Ketidakmampuan menggunakan merek secara penuh akan menyulitkan industri untuk membedakan produknya dari yang lain ke konsumen. Akibatnya, akan sangat sulit bagi produk baru maupun pelaku industri yang lebih kecil atau menengah untuk memperkenalkan produknya, sehingga sulit untuk bisa bersaing," tandasnya.
HUKUM 4 hours ago
POLITIK 1 day ago
OLAHRAGA 19 hours ago
BUDAYA 1 day ago
GALERI 2 days ago
BUDAYA 10 hours ago
PERISTIWA 19 hours ago
POLITIK 2 days ago