Anggota DPR Dorong Revisi UU Pariwisata untuk Memperjelas Tugas Pusat-Daerah

Laporan: Juven Martua Sitompul
Jumat, 14 Februari 2025 | 11:38 WIB
Anggota Komisi VII DPR RI Novita Hardini. (SinPo.id/Dok. DPR RI)
Anggota Komisi VII DPR RI Novita Hardini. (SinPo.id/Dok. DPR RI)

SinPo.id - Anggota Komisi VII DPR RI Novita Hardini mendorong revisi Undang-Undang (UU) Pariwisata. Perubahan payung hukum itu untuk memperjelas pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Ini disampaikan Novita saat menyerap aspirasi terkait berbagai tantangan dalam pengelolaan sektor pariwisata di Bali. Selain guna memperjelas, kata dia, ada sejumlah aturan dalam salah satu pasal yang tumpang tindih.

"Kita melihat ada beberapa aturan dalam Pasal 35 yang tumpang tindih dan tidak berpihak kepada rakyat. Maka, perlu ada revisi agar pembagian manajemen pariwisata lebih jelas dan bisa benar-benar mendukung pertumbuhan ekonomi nasional," kata Novita dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, 13 Februari 2025.

Menurut legislator yang membidangi perindustrian, UMKM, ekonomi kreatif, pariwisata, dan sarana publikasi ini, target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen tidak dapat hanya bergantung pada sektor industri dan pertambangan, tetapi juga harus didorong melalui sektor pariwisata yang memiliki potensi besar, terutama dengan luasnya wilayah maritim Indonesia.

Oleh karena itu, revisi UU Pariwisata harus mencakup aspek kelembagaan, regulasi ekologi, dan ekonomi serta pelibatan daerah dalam pengelolaan wisata berbasis potensi lokal.

Selain pembagian tugas dan wewenang yang lebih jelas, Novita juga menyoroti pentingnya mandatory kelembagaan yang mengatur manajemen kepariwisataan di setiap daerah.

Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) itu berharap lembaga ini dapat membantu asosiasi pariwisata dalam menyusun paket wisata, bekerja sama dengan biro-biro perjalanan wisata, serta mencari sumber pendanaan mandiri. Selama ini, banyak asosiasi pariwisata di daerah masih bergantung pendanaan dari pusat.

"Jika ada lembaga profesional yang diatur dalam undang-undang, mereka bisa lebih mandiri, apakah dalam bentuk BUMD, yayasan, atau badan otorita. Ini akan mempercepat kemajuan sektor pariwisata tanpa harus selalu menunggu keputusan dari pusat," ujarnya.

Tidak hanya sampai di situ, dia juga menyoroti tantangan sosial dalam pariwisata, terutama di daerah seperti Bali yang kerap menghadapi masalah wisatawan asing yang tidak menaati aturan, penyalahgunaan izin tinggal, hingga praktik pernikahan dengan warga lokal demi kepentingan penguasaan properti.

Asosiasi atau kelembagaan ini, kata Novita, harus membantu peran pemerintah daerah dalam mengatur manajemen kepariwisataan dengan baik.

"Kita berharap pariwisata tidak hanya membawa dampak ekonomi, tetapi juga harus tetap melindungi lingkungan, identitas budaya daerah secara berkelanjutan," tegas dia.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI