Minggu, 16 Maret 2025
JADWAL SALAT & IMSAKIAH
Imsak
04:30
Subuh
04:40
Zuhur
12:01
Ashar
15:11
Magrib
18:05
Isya
19:14

Politik Uang Hingga Mobilisasi Pegawai Pemerintah, Calon Bupati Petahana Banggai Bisa Didiskualifikasi

Laporan: Tim Redaksi
Minggu, 02 Februari 2025 | 14:36 WIB
Diskusi Publik dugaan kecurangan Pilkada Banggai 2024 (SinPo.id/Sigit)
Diskusi Publik dugaan kecurangan Pilkada Banggai 2024 (SinPo.id/Sigit)

SinPo.id - Calon Bupati Petahana Terpilih Amirudin Tamoreka dinilai bisa didiskualifikasi melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Sebab calon petahana itu kental dengan aroma politik uang dan bansos serta mobilisasi aparat pemerintahan, dari camat, lurah, kepala desa, SKPD sampai ASN Kabupaten Banggai.

"Karenanya sudah sangat tepat kalau kita simpulkan dengan pendekatan analisis teoritis yuridis petahana ini memang harus didiskualifikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi kalau kita memang ingin menegakkan kebenaran dan keadilan kebenaran dan keadilan," kata Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia Abdul Chair Ramadhan di kawasan Menteng, Jakarta, Minggu, 2 Januari 2025.

Abdul mengatakan, sudah ada indikasi kuat terjadinya penyalahgunaan kewenangan atau abuse of power oleh calon bupati petahana. Melalui restrukturisasi APBD, mobilisasi aparat pemda yang digunakan untuk kepentingan menaikkan elektoral.

"Terdapat indikasi kuat terjadinya penyalahgunaan kewenangan, penyalahgunaan kekuasaan, abuse of power. Penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan itu bisa dengan secara langsung kekuasaannya, dengan tindakannya, bisa juga dengan mempengaruhi para pemilih," kata Abdul.

Contohnya seperti upaya calon bupati petahana mempercepat turunnya bantuan sosial untuk diselesaikan pada November. Padahal, Kemendagri telah mengeluarkan edaran agar penghentian sementara bansos.

"Ditambah lagi dengan adanya intervensi yang secara terselubung dengan perangkat dari kecamatan sampai kelurahan," jelas Abdul.

Karena itu, sudah jelas ada upaya terstruktur, sistematis dan masif oleh calon bupati petahana Banggai melalui anggaran daerah dan kewenangan daerah untuk mempengaruhi pemilih pada Pilkada 2024.

"Posisi dominan inilah yang kita kenal dengan paradigma STM, TSM dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Hal ini menjadi dari bagi kita bahwa terjadi pengembangan suara, naiknya suara, memenangkan petahana secara tidak sah," kata Abdul.

Abdul menilai Mahkamah Konstitusi seharusnya mengeluarkan putusan untuk mendiskualifikasi calon petahana sebagai peserta pilkada dan dilakukan pemungutan suara ulang tanpa calon bupati petahana.

"Perolehan suara tidak dapat dilepaskan dari proses pelaksanaan pemilu kada sehingga permohonan dilakukannya pemilihan ulang, tapi dengan tidak disertakannya petahana alias didiskualifikasi, itu benar, tidak dapat dia digunakan lagi dalam pemilihan berikutnya. Karena dia telah menjadikan dirinya sebagai pemenang yang tidak sah," jelas Abdul.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Konstitusi dari Universitas Pakuan Bogor, Andi Asrun menyebut, bahwa penggunaan anggaran negara, baik dari APBN maupun APBD, oleh calon petahana dalam upaya memenangkan pemilu telah menjadi model yang sering dijumpai di berbagai daerah.

“Praktik politik uang ini biasanya seiring dengan penyalahgunaan wewenang yang melibatkan pejabat struktural seperti camat dan kepala desa, yang diberikan janji-janji peningkatan anggaran menjelang hari pencoblosan,” ujar Andi dalam konferensi pers di kawasan Jakarta Pusat, Minggu, 2 Februari 2025.

Andi menilai bahwa praktik semacam ini tidak hanya merusak kualitas demokrasi, tetapi juga memperburuk proses pemilihan kepala daerah, lantaran mempengaruhi pilihan masyarakat dengan cara yang tidak adil.

Menurutnya, bukti dari praktik politik uang ini mudah ditemukan, baik dalam bentuk bantuan sembako, uang tunai, maupun proyek pembangunan yang seringkali dilakukan menjelang pilkada.

"Ini adalah strategi distribusi politik uang yang disamarkan sebagai 'bantuan pemerintah', yang akhirnya mempengaruhi suara pemilih," ungkapnya.

Andi juga menambahkan bahwa kepala daerah yang mencalonkan diri kembali sering memanfaatkan APBD sebagai modal politik untuk memenangkan kembali kekuasaan, dengan berbagai cara yang tidak sesuai dengan rencana pembangunan daerah.

"Saya ingatkan, kondisi ini dapat merusak esensi dari pemilu yang seharusnya menjadi pesta demokrasi yang adil dan jujur," tegasnya.