Survei FSGI: Mayoritas Guru Setuju UN Dihapus, PPDB Dipertahankan
SinPo.id - Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo melaporkan, berdasarkan hasil survei FSGI, sebanyak 87,6 persen guru setuju Ujian Nasional (UN) dihapus, 12,4 persen setuju kembali dilaksanakan, dan 72,3 persen setuju sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dipertahankan, 27,7 persen setuju dihapus.
Survei dilakukan pada 17 – 22 November 2024, terhadap 912 guru, yang terdiri dari 58,9 persen guru di jenjang SMP/MTs, 25 persen guru SMA/MA/SMK, 10,1 persen guru SD/MI, dan 6 persen guru SLB, di 15 provinsi. Survei melibatkan sekitar 56,4 persen responden guru perempuan dan 43,6 persen guru laki-laki, menggunakan Google Forms.
Heru mengatakan, alasan 87,6 persen responden guru yang setuju UN dihapus, karena pelaksanaan UN sebagai penentu kelulusan menimbulkan banyak kecurangan sistematis, terstruktur, dan masif di masa lalu.
"Pelaksanaan UN sebagai penentu kelulusan siswa juga menimbulkan tekanan psikis pada peserta didik. UN tidak tepat menjadi penentu kelulusan peserta didik ketika standar pendidikan di setiap sekolah dan daerah berbeda-beda kondisinya," kata Heru dalam keterangannya, Minggu, 24 November 2024.
Alasan lainnya, para guru beranggapan, UN bisa digunakan sebagai parameter pemetaan kualitas pendidikan, dengan catatan tak dilakukan setiap tahun dan tidak semua sekolah atau hanya mengambil sekolah sebagai sampel.
Di sisi lain, kondisi dan kualitas sekolah belum merata. Sehingga kebijakan UN sebagai penentu kelulusan menjadi tidak adil.
Untuk itu, saat kualitas semua sekolah di Indonesia sudah rata, standardisasi pendidikan nasional melalui kebijakan UN bisa dilaksanakan, sehingga memenuhi rasa keadilan bagi semua.
Tak hanya itu, mayoritas guru menilai perlu adanya evaluasi Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) yang sudah diterapkan sebagai pengganti UN dalam lima tahun terakhir.
Namun, FSGI mendorong Presiden Prabowo Subianto tidak buru-buru menghidupkan UN kembali, tetapi harus dilakukan evaluasi dulu kebijakan ANBK yang sudah diterapkan sebagai pengganti UN di masa Mendikbud Ristek Nadiem Makarim
Untuk alasan sekitar 72,3 persen guru yang setuju sistem zonasi PPDB dipertahankan, karena dinilai lebih melindungi peserta didik selama perjalanan dari dan ke sekolah. PPDB juga dinilai dapat menjamin tumbuh kembang anak secara optimal.
"(Sistem zonasi) Lebih berkeadilan, dimana semua anak dengan latar belakang dan kondisi apapun dapat mengakses sekolah negeri selama masih ada kuotanya," kata Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti menyampaikan alasan responden guru.
Alasan lainnya, PPDB lebih memberikan kesempatan untuk semua kondisi. Tak hanya jalur zonasi, tapi juga menyediakan jalur lain, seperti prestasi, afirmasi, perpindahan tugas orangtua yang memberikan peluang akses bagi siapapun. Dan bukan atas dasar nilai atau prestasi akademik semata.
Alasannya berikutnya, mendorong pemerintah daerah menambah sekolah negeri baru, untuk memenuhi hak atas pendidikan anak-anak di daerahnya.
"Penambahan sekolah negeri baru di kecamatan yang tidak ada sekolah negerinya, menunjukkan kesungguhan Kepala Daerah dalam memenuhi hak atas Pendidikan anak-anak di wilayahnya. Pemenuhan hak atas Pendidikan merupakan kewajiban negara dalam pelaksanaan Program Wajib Belajar sebagaimana diamanatkan dalam UUD 45," ucapnya.
Terkait hasil survei tersebut, FSGI menganggap, akar masalah sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya bukan lantaran ada kecurangan atau tidak, namun lebih pada kemauan Pemda untuk memenuhi hak atas pendidikan anak-anak di wilayahnya.
"Karena mau diganti seperti apapun sistemnya, kalau pemerintah daerah tidak pernah membangun sekolah negeri baru di Kelurahan atau Kecamatan yang tidak memiliki sekolah negeri, terutama SMAN dan SMKN yang jumlahnya minim hampir di seluruh provinsi di Indonesia, maka permasalahan yang dihadapi akan tetap sama, yaitu hanya sekitar 30-40 persen peserta didik yang dapat bersekolah di sekolah negeri," kata Retno.
FSGI menilai, jika PPDB sistem zonasi diganti, belum tentu menjamin mayoritas anak Indonesia usia sekolah akan tertampung di sekolah negeri, mengingat jumlahnya yang memang terbatas.
Menurut Retno, sistem PPDB semula nyaris tak ada gejolak karena diserahkan kepada mekanisme pasar. Sistem PPDB sebelumnya juga dianggap lebih menguntungkan kelompok tertentu yang mampu secara ekonomi.
Bahkan, hasil penelitian Balitbang Kemendikbud selama delapan tahun menunjukkan, anak-anak dari keluarga tidak mampu, justru mengeluarkan biaya pendidikan lebih tinggi karena tak berhasil menembus sekolah negeri lantaran kalah nilai.
"Sistem PPDB zonasi justru menghendaki kehadiran negara agar sekolah negeri dapat diakses oleh siapa pun, baik pintar atau tidak, kaya atau tidak, dan seterusnya. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi RI," pungkas Retno.