KENAIKAN PPN

Pengamat: Kenaikan Tarif PPN di Tahun 2025 Wajib Dibatalkan

Laporan: Galuh Ratnatika
Kamis, 21 November 2024 | 16:25 WIB
Ilustrasi kenaikan pajak (SinPo.id/ Pixabay)
Ilustrasi kenaikan pajak (SinPo.id/ Pixabay)

SinPo.id - Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen di tahun 2025 wajib dibatalkan.

Menurutnya ada empat poin yang menjadinalasan mengapa kebijakan tersebut harus dibatalkan, salah satunya karena pemerintah dinilai masih memiliki peluang untuk pemerintah, seperti pendapatan dari pajak karbon.

"Pajak karbon harusnya tahun 2022 dilaksanakan, namun sampai saat ini tidak diimplementasikan," kata Huda, saat dihubungi SinPo.id, Kamis 21 November 2024.

Kedua, ia mengatakan beban terlalu berat tersebut berasal dari pelemahan daya beli masyarakat. Pasalnya, pertumbuhan konsumsi masyarakat melambat di triwulan III 2024 dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91 persen (yoy).

"Sedangkan secara q-to-q, konsumsi rumah tangga turun -0,48 persen. Kita mengalami deflasi 5 bulan secara berturut-turut (Mei-September). Pelaku UMKM mengaku turun omzetnya hingga 60 persen menurut BRI," tuturnya.

Ketiga pemerintah memang butuh uang untuk menambal defisit anggaran yang melebar, dan paling mudah bagi pemerintah adalah dengan menaikkan tarif PPN. Padahal, ada pos penerimaan lain yang belum tergarap yaitu penerimaan negara sektor tambang yang masih banyak ilegal.

"Hasyim pernah menyampaikan ada Rp300 triliun dari pengemplang pajak, kenapa hal itu tidak didahulukan? Alih-alih menaikkan tarif PPN," jelasnya.

Terakhir, kata Huda, tarif PPN Indonesia sebesar 11 persen masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya dan negara-negara OECD. Karena trif PPN di Malaysia hanya 8 persen, sedangkan Singapura 9 persen. Sementara tarif PPN paling tinggi adalah Filipina sebesar 12 persen.

"Pemerintah punya peluang untuk membuat tarif PPN yang tidak membebani masyarakat lebih dalam. Pemerintah punya kesempatan meringankan beban masyarakat. Namun pemerintah justru menambah beban yang dipikul oleh masyarakat," ungkapnya.

"Pada akhirnya masyarakat yang membantu meringankan masyarakat. Penguasa hanya diam dalam kursi singgasananya," tutup Huda.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI