Situs Bai Shi Liu Fang, Jejak Tionghoa Jakarta Yang Nyaris Terlupakan
Situs Bai Shi Liu Fang menjadi salah satu objek situs memorial. Memiliki makna sejarah dan sarat nilai moral yang menjadi teladan bagi generasi penerus.
SinPo.id - Kebisingan lalu lintas serta kemacetan di jalan raya Jembatan Batu serta tak mengurangi keriuhan anak-anak sekolah yang sedang asik berolahraga dan bermain di lapangan Sekolah Dasar Negeri Pinangsia 03. Kompleks bangunan sekolah itu merupakan bekas sekolah binaan perkumpulan Hua Chiao Kung Hui atau biasa dibaca Huaqiao Gonghui, kini kawasan itu merupakan situs bersejarah leluhur Tionghoa yang sebagian terlupakan.
Untuk mengakses situs yang menjadi bagian dari kompleks bangunan sekolah itu perlu masuk ke dalam sebuah gang sempit yang berada tepat di seberang Pintu Barat Stasiun Kota. Akses itu berfungsi sebagai jalan masuk menuju sekolah yang tak asing dengan beberapa orang tua murid hendak menjeput putra-putrinya, serta pedagang asongan menjajakan dagangannya
Dari gerbang masuk sekolah, melewati lorong pendek sebelum akhirnya menjumpai lapangan sekolah SDN Pinangsia 03. Posisi situs bersejarah itu di sebelah barat lapangan sekolah, berupa aula yang tampak berbeda dengan bangunan lainnya di dalam kompleks sekolah tersebut.
Aula khas bangunan tionghoa itu terdapat tulisan “Bai Shi Liu Fang (百氏流芳) dalam plakat nama yang tertera di bagian atas yang luas dengan langit-langit. Tulisan itu seakan menampakkan kebesarannya di masa lampau. Tulisan yang secara harfiah bisa diartikan “Reputasi Harum Bertahan Selamanya” itu menjadi ironi dengan keberadaannya yang kini nyaris terlupakan, bahkan oleh kebanyakan masyarakat Tionghoa sendiri.
Kawasan Bai Shi Liu Fang, menunjukkan sebagai aula leluhur yang dibangun pada abad ke-19, tepatnya tahun 1865. Termasuk inskripsi yang tertera pada prasasti di tembok sebelah kiri pintu masuk. Sedangkan prasasti memorialnya sendiri dibuat 16 tahun kemudian, pada 1881.
Keterangan pada prasasti menunjukkan paguyuban masyarakat Tionghoa setempat dan para simpatisannya pada masa itu bahu-membahu dalam membangun kompleks bergotong dengan beragam tantangan dan proses pembangunannya.
Prasasti pendirian tersebut juga menjelaskan bagaimana masyarakat Tionghoa secara pribadi maupun berkelompok mengumpulkan uang dan mengkoordinasikan sumbangan untuk membeli lahan, mengurus izin, membeli bahan bangunan serta menyewa para tukang dan pekerja untuk sebaga Balai Leluhur.
Teks pada prasasti tersebut juga menggambarkan pentingnya pembangunan, yang dimaksudkan untuk melayani penduduk setempat. Juga terdapat penyebutan tentang tantangan yang mereka atasi dan koordinasi antara berbagai pihak untuk menyelesaikan proyek tersebut.
Peran Letnan Khoe A Fan Terhadap Situs Hua Chiao Kung Hui
Inkripsi pada prasasti tersebut juga menekankan keutamaan upaya kolektif, semangat komunitas, dan dedikasi untuk kesejahteraan publik. Serupa dengan prasasti di sisi kiri, di sisi kanan tembok Bai Shi Liu Fang juga terdapat prasasti berupa epitaf terukir yang isinya menjelaskan tentang peran penting seorang Luitenant der Chinezen (Letnan Tionghoa) bernama Khoe A Fan alias Khoe Siat Ting (丘燮亭 Qiu Xieting) yang berasal Meixian 梅县, daerah Guangdong, Tiongkok. Khoe A Fan alias Khoe Siat Ting ini berjasa terhadap pendirian situs ini serta manfaatnya bagi warga setempat.
Sosok Letnan Tionghoa Khoe A Fan alias Khoe Siat Ting (1858-1930) bisa dilacak dalam “Riwajat 40 Taon THHK “ yang mencatat Khoe A Fan sebagai salah satu pendiri perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan (Zhonghua Huiguan 中華會館) sekaligus menjabat sebagai Wakil Ketua THHK Batavia periode 1900-1918, bersama dengan Ang Sioe Tjiang.
Khoe A Fan alias (Qiu Yafan 丘亚凡) alias Khoe Siat Ting(Qiu Xieting 丘燮亭) alias Khoe Hong Hoan (Qiu Honghuan 丘宏寰) terlahir pada 1859 di Kabupaten Meixian, Guangdong.
Ketika berusia 17 tahun, ia merantau ke Indonesia dan bekerja di toko kerabatnya. Di toko ini Khoe belajar dan bekerja keras hingga akhirnya mampu membuka bisnisnya sendiri. Setelah bertahun-tahun mengelola dengan susah payah, perusahaan yang didirikannya berkembang luas.
Dalam usia 34 tahun, Khoe telah menjadi pengusaha terkenal di kalangan Tiongho perantauan di Batavia pada era akhir abad ke-19. Khoe memiliki antusiasme yang tinggi terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar terutama di bidang pendidikan. Pada 1901, ia mendirikan Sekolah Menengah Patekoan (Badiguan Zhonghua Zhongxue 八帝贯中华中学) dan Sekolah Gie Seng Hak Hauw (Yi Cheng Xuexiao 義成學校) yang termasuk dalam kelompok sekolah tradisional berbahasa Hokkian yang banyak didirikan pada akhir abad ke-19, di mana kurikulumnya berdasarkan pada konfusianisme klasik serta lebih mengutamakan ingatan daripada memahami.
Pada tanggal 11 Juni 1930, Khoe A Fan meninggal dunia karena sakit di Batavia, pada usia 71 tahun. Sebelum kematiannya, Khoe masih menunjukkan kepeduliannya bagi masyarakat dan membuat surat wasiat yang isinya :
"Kami akan berusaha sebaik mungkin untuk menghemat biaya pemakaman, dan mengalokasikan sisa uangnya untuk dana kesejahteraan masyarakat. Dupa dan lilin tidak akan digunakan dalam aula bakti, hanya bunga yang akan digunakan. Tidak pantas bagi kerabat dan teman untuk menanggung beban...”
Untuk mengenang jasa-jasa Khoe A Fan di bidang pendidikan bagi masyarakat Tionghoa perantauan di Batavia, pada 28 September 1939 didirikanlah sebuah monumen berbahan perunggu di dinding kelenteng di ujung daerah Jembatan Batu, Batavia dengan relief patung Khoe A Fan.
Dari monumen Khoe A Fan ini kita bahkan bisa mengetahui nama asli dari situs memorial leluhur ini, sewaktu masih beroperasi sebagai kelenteng yaitu Bai Shi Zong Yi (百氏總義) atau dikenal juga dengan nama Ba Cheng Yi Ci (吧城義祠) yang secara harfiah bermakna “Balai Leluhur”.
Monumen peringatan jasa-jasa Khoe A Fan tersebut menceritakan bahwa Khoe adalah seorang filantropis yang murah hati dan menjunjung tinggi kebenaran. Ia berdedikasi pada masalah-masalah sosial, terutama dalam mendukung sekolah-sekolah Tionghoa perantauan di Jakarta. Khoe yang juga seorang pengamat politik15, mendorong pelajar-pelajar melakukan studi ke luar negeri agar memiliki wawasan luas.
Ia juga mengembangkan industri dan perekonomian, yang menuai pujian baik dari dalam maupun luar negeri. Inkripsi pada monumen ini juga menunjukkan upaya Khoe A Fan dalam mencerdaskan masyarakat sekitar dalam bidang pendidikan dan pembentukan karakter yang bermoral.
Sebagaimana dikutip dari prasasti pendiriannya, bangunan asli situs memorial yang sekarang disebut Bai Shi Liu Fang dahulu merupakan kelenteng “Balai Leluhur” Bai Shi Zong Yi.
Bangunan bersejarah berarsitektur Tiongkok yang berada di dalam kompleks sekolah itu menekankan moralitas yang berpegang pada nilai-nilai budaya dan tradisi Tionghoa, sebagaimana dapat dilihat pada teks Hanzi 漢字 yang tertera di dinding, pilar maupun plakat yang terpampang di situs ini.
Dari translasi tulisan pada kedua pilar, diketahui bahwa situs memorial yang dikenal juga di kalangan para sesepuh Tionghoa dan pemerhati bangunan tua di Jakarta sebagai “Rumah Papan Arwah” ini menjadi simbol relasi kuat dengan kampung halaman dan penghormatan terhadap leluhur.
Secara harfiah, translasi pilar di sisi kiri berarti: “Semua tempat pemujaan leluhur berawal dari Kaisar Kuning; jika kita melihat hari ini, kita bukanlah kelompok yang terpisahkan. Dengan dupa dan berkat yang tulus, kita menghormati persatuan yang telah terjalin lima ratus tahun yang lalu ketika kita masih satu keluarga”.
Telaah singkat dengan pendekatan budaya terhadap teks ini mengungkapkan secara simbolis tentang asal mula altar penghormatan leluhur yang dituliskan sejak zaman kaisar Oey Ti atau Huang Di 黃帝 (2711-2597 SM) yang harus terus dijaga sebagai tradisi tak terpisahkan sebagai orang Tionghoa. Teks ini juga mengungkapkan kerinduan untuk tetap bersama dengan keluarga di tanah leluhur, meskipun kini berada jauh dari negeri asal.
Sedangkan translasi lepas dari teks di pilar kanan berarti: “Hakikat kebenaran lebih berat dari yang dapat diungkapkan seseorang; menatap masa lalu, berlayar menyeberangi lautan mendaki gunung, jejak tangan seseorang melampaui delapan ribu li, membentuk gugusan kuil leluhur”. Secara filosofis, makna teks ini mengungkapkan pentingnya kaum Tionghoa perantauan untuk berjuang dan berkarya di mana pun berada dengan tidak melupakan kampung halaman dan tetap mementingkan pemujaan terhadap altar leluhur.
Pada altar utama situs ini terdapat ratusan sin-ci (plakat nama leluhur) dari beragam nama dan marga, yang sebagian besar kondisinya tampak sudah lapuk termakan usia. Di sisi kiri dan kanan altar utama tergantung papan hitam beraksara Hanzi yang diukir dengan tinta emas. Menurut Queenie Lin peneliti dari National University of Arts, Taipei, delapan huruf teratas adalah satu kesatuan kalimat, tujuh kalimat terbawah adalah kalimat lainnya. Masing-masing artinya "Kuil ini menawarkan ribuan terang lilin, menghubungkan ratusan marga dan keluarga. Dupa dan cahaya lilin di kuil ini menghubungkan kembali semua yang memiliki ikatan yang sama.” "Berbakti untuk tanah air dan keluarga, dipisahkan oleh lautan dan langit. Berkunjung ke altar untuk untuk menanyakan kabar dari puluhan ribu mil.”
Sejalan dengan ajaran Di Zi Gui (Pedoman Hidup Berbudi Pekerti), sebuah ajaran budi pekerti yang menjadi pegangan dasar masyarakat Tionghoa, yang mengajarkan Shou xiaodi ci jin xin 首孝弟, 次谨 信 yang artinya “Awali dengan bakti dan sikap perhatian, kemudian fokus ke usaha dan dipercaya” ,
Kedua teks pada papan tersebut jelas menunjukkan simbol kultur masyarakat Tionghoa yang mengutamakan ritual penghormatan terhadap leluhur melalui altar atau meja sembahyang sekaligus sebagai cara untuk “bersatu kembali” dengan seluruh anggota keluarga besar di tanah air sebagai wujud bakti, etika, dan mawas diri. (*)
Artikel ini sumbangan Alex Cheung, penulis, peneliti dan budayawan. Penelitiannya sebagian besar difokuskan pada bidang budaya dan kemasyarakatan etnis Tionghoa-Indonesia.