Airlangga: Menaker Sedang Siapkan Regulasi Tindaklanjuti Putusan MK soal Upah

Laporan: Tio Pirnando
Minggu, 03 November 2024 | 15:48 WIB
Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. (SinPo.id/dok. Menko Perekonomian)
Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. (SinPo.id/dok. Menko Perekonomian)

SinPo.id - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah akan mempersiapkan regulasi untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Cipta Kerja dalam Omnibus Law. 

Menurut Airlangga, saat ini Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Yassierli sedang menyusun secara bertahap regulasi tentang beberapa pasal yang dicabut oleh MK dalam UU Ciptaker. 

"Menteri Tenaga Kerja akan segera mempersiapkan regulasi yang akan didorong dan terkait dengan Undang Undang Ketenagakerjaan," kata Airlangga usai rapat bersama menteri bidang ekonomi di Hotel Four Season, Jakarta Selatan, Minggu, 3 November 2024. 

Airlangga menjelaskan, pemerintah terlebih akan fokus pada masalah pengupahan. Karena, perhitungan Upah Minimum Provinsi (UMP) harus ditetapkan pada akhir bulan ini. 

"Mempersiapkan tentu yang terkait dengan jangka pendek adalah upah minimum. Kemudian ada upah sektoral," tuturnya. 

Nantinya, seluruh kepala daerah akan disosialisasikan disesuaikan dengan regulasi baru tersebut, tentu atas izin Presiden Prabowo Subianto.

"Akan ada pemberitahuan ke para gubernur yang ini kan siklusnya ada disana. Namun hal teknisnya kami harus lapor Pak Presiden dulu," ucap dia.

Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, termaktub dalam Putusan Nomor 168/PUU-XXII/2024. 

"Menyatakan Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU Nomor 6 Tahun 2023 ... bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai 'termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota'," tulis MK dalam putusannya. Sebelumnya, aturan tentang pemberlakuan upah minimum sektoral (UMS) terdapat pada UU Ketenagakerjaan yang diteken pada 2003.

Namun, UU Ciptaker menghapus ketentuan itu. MK sependapat dengan gugatan yang dilayangkan buruh bahwa dalam praktiknya, penghapusan UMS sama saja negara tak memberi perlindungan yang memadai bagi pekerja. 

Karena, pekerja di sektor-sektor tertentu memiliki karakteristik dan risiko kerja berbeda. Ada tuntutan pekerjaan yang lebih berat atau spesialisasi yang diperlukan sehingga memerlukan standar upah yang lebih tinggi. 

Penghapusan UMS dinilai justru bisa mengancam standar perlindungan pekerja, khususnya pada sektor-sektor yang sebetulnya memerlukan perhatian khusus dari negara. Sebab itu, MK menegaskan, UMS mesti diberlakukan kembali.

"Penghapusan ketentuan upah minimum sektoral bertentangan dengan prinsip perlindungan hak-hak pekerja yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, terutama hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," bunyi pertimbangan putusan MK. 

Dalam putusan yang sama, MK juga mengubah sejumlah pasal dalam klaster pengupahan. 

Pertama, Mahkamah mengembalikan komponen hidup layak sebagai bagian tak terpisahkan dari hitungan upah yang sebelumnya dihapus UU Ciptaker. 

MK meminta pasal soal pengupahan harus "mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua". 

Kedua, MK juga menghidupkan lagi peran dewan pengupahan yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah sebagai bahan bagi pemerintah pusat menetapkan kebijakan upah. Aturan soal dewan pengupahan juga dilengkapi MK dengan klausul bahwa dewan tersebut "berpartisipasi secara aktif".

Ketiga, MK merasa perlu menambahkan frasa "yang proporsional" untuk melengkapi frasa "struktur dan skala upah".

MK juga memperjelas frasa "indeks tertentu" dalam hal pengupahan sebagai "variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh." 

Keempat, Mahkamah juga memasukkan kembali frasa "serikat pekerja/buruh" pada aturan soal upah di atas upah minimum.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI