Warta Ekonomi Gelar Seminar 'Menavigasi Strategi Bisnis di Era Suku Bunga Tinggi dan Hancurnya Kelas Menengah'

Laporan: Tim Redaksi
Senin, 30 September 2024 | 13:38 WIB
Seminar dengan tema 'Menavigasi Strategi Bisnis Setelah Penurunan Suku Bunga Acuan dan Hancurnya Kelas Menengah'. (SinPo.id/Istimewa)
Seminar dengan tema 'Menavigasi Strategi Bisnis Setelah Penurunan Suku Bunga Acuan dan Hancurnya Kelas Menengah'. (SinPo.id/Istimewa)

SinPo.id - Warta Ekonomi menggelar Seminar dengan tema 'Menavigasi Strategi Bisnis Setelah Penurunan Suku Bunga Acuan dan Hancurnya Kelas Menengah' pada Jumat, 27 September 2024. Seminar ini digelar sebagai wadah diskusi di tengah tren suku bunga tinggi global.

Sektor industri keuangan memiliki peranan penting dalam menopang perekonomian di suatu negara. Pada tahun 2024 ini, sektor keuangan tengah menghadapi tantangan seiring dengan tren era suku bunga tinggi di tingkat global yang diperkirakan masih akan berlanjut.

Kenaikan suku bunga ini tentu akan berpengaruh terhadap rantai pasokan. Perusahaan dikhawatirkan akan menunda kegiatan karena suku bunga yang tinggi akibat meningkatnya biaya peminjaman uang.

Selain itu, dari sisi konsumen juga akan terjadi penurunan daya beli. Di Tengah kondisi ancaman krisis global dan kenaikan inflasi hingga suku bunga yang tinggi dari bank sentral berpotensi melemahkan daya beli masyarakat.

Sektor industri sudah menghadapi tantangan tren era suku bunga tinggi yang saat ini diprediksi akan segera berakhir. Bl telah memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps meniadi 6 persenpada Rabu,18 September 2024 yang sebelumnya Bank Indonesia diketahui mempertahankan Bl-Rate 6,25 perwpada Agustus 2024. 

The Fed secara mengejutkan juga memangkas suku bunga acuan sebesar 50 basis points (bps) menjadi 4,75-5 persen. Ini tentu akan menjadi momentum bagi pemerintah dan semua pihak untuk kembali menata dan memperkuat fundamental ekonomi dan dunia usaha diera penurunan suku bunga acuan. 

Hadir dalam acara seminar yang digelar di Hotel Sultan tersebut, Amalia Adininggar W - PIt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) yang juga ditunjuk sebagai _keynote speaker_ dalam acara seminar Menavigasi Strategi Bisnis Setelah Penurunan Suku Bunga Acuan dan Hancurnya Kelas Menengah tersebut, menghadirkan empat nama sebagai narasumber yakni, David Sumual TIm Ekonom Perbanas, Roy Mandey Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Hari Ganie Wakil Ketua Umum DPP REI dan Firlie H Ganinduto Wakil Ketua Umum Bidang Komunikasi dan Informatika KADIN Indonesia dan dimodertori oleh Ryan Kiryanto - Ekonom & Co-Founder dan Dewan Pakar Institute of Social Economic and Digital (ISED).

David Sumual TIm Ekonom Perbanas dalam kesempatannya mengatakan, bicara tentang ekonomi global, salah satu penggerak utama dari sisi moneter salah satunya ialah Bank Central Amerika. Bank Central Amerika telah menurunkan suku bunga sebanyak 50 basis point par tanggal 20 September 2024.

“Berangkat dari kebijakan Bank Centarl Amerika tersebut, Indonesia telah mengantisipasi dengan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis point. Hal ini berdasarkan pemantauan dan probabilitas yang akan terjadi di bulan September akan mengalaim 100 persen penurunan. Namun ke depannya uncertainty atau ketidakpastiannya masih cukup besar dengan meryjuk beberapa faktor seperti Pemilu di Amerika, Pergerakkan Ekonomi China yang melambat dan Kondisi dari Geopolitik di Ukraina dan Timur Tengah, yang pastinya akan berpengaruh terhadap harga minyak dunia” terang David Sumual.

Lebih lanjut David Sumual juga menjelaskan siklus ekonomi di Indonesia yang keberlanjutannya banyak dipengaruhi oleh siklus komoditas. Naik turunnya revenue banyak dipengaruhi oleh harga komoditas akan menentukan naik turunnya revenue dari perusahaan di Indonesia.

“Ini semua jadi pekerjaan rumah kita, bagaimana agar kita dapat tumbuh tinggi dan mampu mencapai target yang diinstruksikan oleh pemerintah. Kami yakin dengan sinergi bersama kita dapat menghadapi itu semua, pemerintah dapat mengeluarkan bluprint nya, dan menyiapkan langkah-langkah strategisnya serta dukungan investasinya di bidang digitalisasi untuk meningkatkan efisiensi penyaluran kredit,” lanjut David.

Pada sesi waktunya Roy Mandey Ketua APRINDO dalam paparan materinya mengungkapkan, dua penyebab yang menjadikan mid level terdegradasi di saat ini yakni micro trends dan sector trends.

“Seperti apa dampaknya? Pertama seperti kita ketahui penyebab di micro trends adalah perubahan iklim yang terjadi hampir seluruh penjuru dunia. Kemudian ada invasi, inivasi ini di global masih ada yang mengalami kenaikan hingga angka 50 pertumbuhannya. Lalu ada label shortages, inilah yang menjadikan mid level terdegradasi. Kita sama-sama tahu yang terjadi sekarang ini yang namanya fluktuasi dari harga komoditas itu bisa lebih tinggi daripada peningkatan revenue,” ucap Roy Mandey.

Roy Mandey menambahkan, semua usulan yang datang ini dapat diteruskan ke pemerintah agar segala permasalahan yang terjadi mendapatkan solusinya.

“Saya mengusulkan semua data-data yang kita kumpulkan dari berbagai pihak seperti, akademisi maupun pelaku usaha kita salurkan ke pemerintah untuk dijadikan white papper terutama untuk pemerintahan baru yang akan dimulai per 20 Oktober mendatang,” terangnya.

Sementara itu Hari Ganie Wakil Ketua Umum DPP REI dalam kesempatannya menerangkan terkait situasi dan kondisi yang terjai perihal pertumbuhan KPR/KPA dan Suku Bunga Acuan di Indonesia.

“Seperti yang kita ketahui bersama, pada masa COVID-19 beberapa waktu lalu, kami di dunia properti juga terkena imbasnya. Dengan adanya beragam isentif yang dikeluarkan, teman-teman kembali bisa jualan karena pembeli tertarik dengan beragam insentif dan kebijakan dari pemerintah. Namun, minat pembeli kini mulai turun kembali lagi karena di luar propertinya dan faktor micro,” terang Hari Ganie.

Hari Ganie juga mengungkapkan apa saja yang menjadi tantangan dan peluang di dunia Perumahan Komersial.

“Saya rasa kedepan masih banyak tantangan dan peluang bagi kami para pelaku perumahan komersil di masa yang akan datang. Peluang dan tantangannya antara lain, adanya kebijakan PPN OTP yang memberikan dorongan realisasi properti rumah tapak (KPR) dan rumah susun komerisal (KPA) pada akhir tahun 2023 dan awal tahun 2024. Lalu adanya penyerapan PPN DTP sebesar 50% selama Juli-Agustus 2024 yang terkendala sistem aplikasi SiKumbang yang memiliki banyaknya persyaratan,” ujar Hari Gani.

Pada tahun 2024 ini, sektor keuangan tengah menghadapi tantangan seiring dengan tren era suku bunga tinggi di tingkat global yang diperkirakan masih akan berlanjut.

Diketahui bahwa The Fed pada 1 Mei 2024 masih mempertahankan tingkat Fed Fund Rate (FFR) pada level 5,25-5,5 persen. Suku bunga dan kebijakan The Fed ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap kebijakan moneter sampai dengan akhir tahun.

Selain itu juga tantangan muncul dari adanya konflik geopolitik menyebabkan harga komoditas salah satunya minyak mentah melonjak serta menyebabkan rantai pasok global terganggu, yang akhirnya menimbulkan tingginya angka inflasi di berbagai negara, baik negara berkembang ataupun maju. Dampak ini tentu akan berpengaruh bukan hanya pada sektor jasa keuangan namun juga berdampak pada dunia bisnis khususnya bagi Indonesia.

Diketahui bahwa Bank Indonesia menaikkan BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 6,25 persen.  Kenaikan suku bunga ini menurut BI untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dari dampak memburuknya risiko global serta sebagai langkah preemptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap dalam sasaran 2,5±1 persen pada 2024 dan 2025 sejalan dengan stance kebijakan moneter yang pro-stability. 

Dampak kenaikan suku bunga akan dirasakan oleh sejumlah dunia usaha atau korporasi ke depannya. Bagi dunia usaha kenaikan suku bunga acuan mempunyai implikasi makin mahalnya biaya dana bagi modal kerja perusahaan, investasi baru perusahaan maupun pengembangan investasi yang sudah ada. Diketahui bahwa persentase impor berdasar golongan penggunaan barang tercatat bahwa terdapat 72,47 persen bahan baku/penolong impor tercatat BPS periode Januari-Februari 2024.  

Kebijakan kenaikan suku bunga ini dinilai belum efektif karena nilai tukar rupiah telah menyentuh direntang Rp16.154 per US$1.

Dengan kenaikan suku bunga dari BI ini memunculkan beberapa tindakan antisipasi dari sektor dunia usaha, salah satunya adalah dari sektor keuangan yang menaikkan suku bunga, baik suku bunga dana maupun sudah pasti suku bunga kredit.

Dari sisi industry property juga akan mengalami sedikit tekanan, pasalnya kebijakan pembatasan pembelian properti dengan menaikkan uang muka merupakan sinyal agar bank-bank mengerem laju ekspansi Karena daya beli masyarakat juga akan tertahan karena suku bunga tinggi.

Kenaikan suku bunga ini tentu akan berpengaruh terhadap rantai pasokan. Perusahaan dikhawatirkan akan menunda kegiatan karena suku bunga yang tinggi akibat meningkatnya biaya peminjaman uang.

Selain itu, dari sisi konsumen juga akan terjadi penurunan daya beli. Di Tengah kondisi ancaman krisis global dan kenaikan inflasi hingga suku bunga yang tinggi dari bank sentral berpotensi melemahkan daya beli masyarakat.

Yang mana kenaikan suku bunga termasuk harga-harga makanan atau barang yang masih tinggi menjadi sumber penyebab dari rendahnya daya beli masyarakat kedepannya. 

Dalam kasus ini bagi perusahaan pembiayaan dengan adanya tingkat bunga yang tinggi mengakibatkan konsumen tidak mampu lagi membayar cicilan pokok dan bunga kredit, sehingga dapat terlihat dampak kepada profitabilitas perusahaan keuangan  yang mengalami penurunan.

Bagi pemerintah, suku bunga tinggi akan berdampak kepada optimalisasi setoran pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang bisa menyebabkan ekonomi tumbuh stagnan atau bisa jadi menurun.

Mengutip dari informasi dari Kemenkeu, menyebutkan bahwa Kemenkeu akan mewaspadai dampak kenaikan suku bunga acuan terhadap sektor pembiayaan.

Termasuk dampaknya kepada naiknya beban pembiayaan atau cost of fund yang terjadi di perbankan. Hal ini ditambah juga dengan kondisi berakhirnya masa restrukturisasi kredit pada perusahaan pembiayaan.

Terbaru, pemerintah mengusulkan kepada regulator dalam hal ini OJK untuk memperpanjang restrukturisasi kredit Covid-19 hingga tahun 2025 mendatang.

Namun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai tidak ada kebutuhan mendesak untuk memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit Covid-19 yang telah berakhir pada 31 Maret 2024 lalu.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI