CALON TUNGGAL PILKADA

Pakar Nilai ada Perbedaan Calon Tunggal 2024 dengan Tahun 2015-2020 di Pilkada

Laporan: Sigit Nuryadin
Minggu, 08 September 2024 | 19:56 WIB
Ilustrasi kotak Pemilu 2024 (SinPo.id/ Pixabay)
Ilustrasi kotak Pemilu 2024 (SinPo.id/ Pixabay)

SinPo.id - Pakar yang juga dosen hukum kepemiluan di Universitas Indonesia Titi Anggraini, memandang terdapat perbedaan calon tunggal pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024  dengan tahun 2015 hingga 2020.

Menurut Titi, calon tunggal ketika tahun 2015 dilakukan untuk memberikan akses pencalonan kepada partai.

"Pasca-2015, calon tunggal disertai motif untuk menutup akses pencalonan oleh partai dengan memborong semua tiket dari lebih 10 partai, sehingga partai-partai tersisa tidak mampu mengusung calon. Jadi, agak berbeda nih," kata Titi dalam keterangannya, Minggu, 8 September 2024.

Dia berujar, terdapat ciri khas lain dari calon tunggal pada 2024, meskipun mulanya pada 2015 dia berpendapat calon tunggal diperbolehkan akibat putusan Mahkamah Konstitusi untuk menyelamatkan hak pilih, sedangkan pada 2024 terjadi praktik memborong tiket partai politik.

"Pada 2024 ditemukan karakter yang lebih khas dibandingkan 2015 sampai 2020 di mana sentralisasi pencalonan dan hegemoni pengurus pusat partai politik melalui rekomendasi dari DPP yang wajib itu membuat banyak ketidakpuasan di sejumlah daerah akibat adanya keterputusan aspirasi pencalonan,” ungkap dia. 

Titi mengatakan, keterputusan aspirasi tersebut salah satunya tercermin dalam Pilkada Jakarta 2024.

“Di Jakarta ada Anies Baswedan, dan Ahok. Kok yang dicalonkan lagi? Apalagi diimpor dari gubernur provinsi sebelah. Nah, itu yang menjadi problem,” ujar Titi. 

Dia pun menuturkan, akibat keterputusan aspirasi dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat, sehingga menimbulkan ekspresi ketidakpuasan dengan adanya gerakan mencoblos semua kandidat.

“Lalu, di daerah-daerah calon tunggal ada gerakan tandingan mendaftarkan kotak kosong setelah calon tunggal didaftarkan. Misalnya di Kota Pangkalpinang, Asahan, Gresik, serta beberapa daerah lain,” tuturnya. 

Lebih jauh, Titi mengungkapkan, ketidakpuasan tersebut turut membuat suara kosong, kotak kosong, atau gerakan tidak memilih calon tunggal menjadi wacana yang dibahas di ruang publik.

“Pembahasan blank vote, suara kosong, kotak kosong, atau none of the above, saya enggak pilih semuanya, itu menarik untuk dibincangkan karena ini soal formalisasi ekspresi politik yang berbeda bahwa tidak semua ekspresi politik itu dapat diwadahi oleh pasangan calon yang ada di kotak suara,” tandasnya. 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI