Airlangga Diingatkan Indonesia Bisa Kehilangan Mitra Dagang Tiongkok Jika Paksakan BMAD
SinPo.id - Pengamat Hubungan Internasional (HI) Robi Sugara mengungkapkan dampak buruk bagi hubungan bilateral antara Indonesia-Tiongkok jika memaksakan rencana penerapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk keramik.
Menurut Robi, kajian Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) atas ubin keramik asal Tiongkok yang masih menuai polemik akan menjadi masalah jika tidak disikapi dengan serius oleh pemerintah. Salah satunya, akan menjadi blunder bagi perdagangan dalam negeri dan internasional.
Sebab, nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok cukup besar. Robi menuturkan Tiongkok bisa melakukan retaliasi (tindakan balasan) atas produk-produk Indonesia.
“Apalagi kalau kita berbicara komoditas-komoditas strategis pertambangan dan juga perkebunan yang saat ini banyak kita ekspor ke Cina dan juga komoditas-komoditas hilirisasi, terutama ketakutan dari kami adalah Cina mencoba untuk melakukan retaliasi," kata Robi saat dikonfirmasi wartawan, Jakarta, Rabu, 31 Juli 2024.
Robi yang juga Ketua Program Studi Hubungan Internasional UIN Jakarta itu mengingatkan bahwa Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto berpotensi mendapatkan getah dari kebijakan BMAD atas produk ubin keramik Tiongkok tersebut.
Airlangga dinilai memiliki tanggung jawab menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.
Indonesia, kata Robi, bukan hanya akan mengalami kerugian perekonomian dalam negeri, tapi juga akan kehilangan Tiongkok sebagai mitra strategis dalam perdagangan internasional.
"Menko Perekonomian bertanggung jawab dalam urusan koordinasi di bidang perekonomian dan bertanggung jawab kepada presiden. Adapun kebijakan-kebijakan yang lebih operasionalnya itu kan saya kira ada kementerian perdagangan dan perindustrian," ujar Robi.
"Ini jangan sampai hubungan baik antara Indonesia dan Tiongkok (yang dibangun) lewat Presiden Jokowi kemudian salah langkah hanya gara-gara ini," ucap dia.
Robi mengatakan Indonesia memiliki kedaulatan untuk menjalankan kebijakan anti dumping. Namun, dia mengingatkan bahwa Tiongkok juga bisa membalasnya dengan cara yang lebih kejam, yaitu menerapkan tarif 300 persen atas produk Indonesia yang masuk ke Tiongkok.
"Indonesia melakukan anti dumping sampai 200 persen, bisa jadi Tiongkok malah 300 persen balasannya bisa jadi begitu," kata dia.
Robi khawatir kebijakan BMAD bisa membuat Tiongkok sebagai mitra dagang penting marah kepada Indonesia. Sebab, jika melihat data pada tahun 2023 nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai USD64,94 miliar atau sekitar 23 persen dari total nilai ekspor.
Hal tersebut, kata Robi, menjadi bukti bahwa Tiongkok merupakan mitra dagang strategis bagi Indonesia. Maka dari itu, dia mewanti-wanti jika retaliasi dari Tiongkok ini bisa berdampak serius pada semua industri yang bergantung pada ekspor ke negara tersebut. Lebih tragis lagi, menurut Robi, selain melakukan balasan, Tiongkok bisa saja menarik investasinya dari dalam negeri.
"Jadi tidak sampai di situ dia melakukan balasan yang serupa kemudian investasi yang rencana akan ditanam di Indonesia kemungkinan akan ditahan atau bahkan tidak jadi," ucapnya.
Menurut Robi, saat ini Tiongkok sudah menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia. Dia meyakini Indonesia tidak akan diadukan ke organisasi perdagangan internasional (WTO) sebab tanpa WTO pun Tiongkok bisa melakukan aksi balasan yang kontan terhadap Indonesia.
"Saya tidak yakin Tiongkok melakukan ya, karena powernya dia jauh lebih kuat, karena tanpa WTO pun dia melakukan aksi balik dengan anti dumping misalkan Indonesia 200 persen, dia 300 persen atas barang-barang masuk dari Indonesia ke Tiongkok, mau ngapain habis itu investasinya ditarik dari Indonesia misalnya," ucapnya.
"Saya kira merepotkan, jadi menurut saya tidak akan memerlukan jasa WTO tetapi power Cina selama ini itu bisa melakukan dengan aksi-aksi balasan yang menurut saya tidak terlalu baik hubungan kedua negara itu," kata Robi.
Jangan sampai perlakuan Indonesia ini menyulut perang dagang seperti yang terjadi dengan Amerika. Sebab itu, untuk saat ini Indonesia harus mengukur diri dan tidak terlalu frontal mengeluarkan kebijakan yang menyangkut dengan negara lain.
"Berikutnya dampak dari geopolitik, sehingga ini seperti masuk kepada skema perang dagang seperti antara Amerika dan Tiongkok jika Indonesia melakukan itu. Hal itu bisa menyulitkan pada positioning narasi perang dagang antara Amerika dan Tiongkok, Indonesia masuk kepada komposisi menjadi bagian dari apa yang juga pernah dilakukan oleh Amerika terhadap Tiongkok itu," ucapnya.
"Saya kira penting untuk dipertimbangkan kembali kajiannya, meskipun semangatnya baik, semangat untuk memproteksi pengusaha-pengusaha keramik di Indonesia tapi (perlu) kajian yang mendalam," tegasnya.