Hari Tanpa Tembakau Sedunia

Pemerintah diminta Lindungi Industri Rokok Nasional

Laporan: Sinpo
Jumat, 31 Mei 2024 | 17:00 WIB
Ilustrasi (SinPo.id/Pixabay.com)
Ilustrasi (SinPo.id/Pixabay.com)

SinPo.id -  Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani (UNJANI) Cimahi, Prof. Hikmahanto Juwana meminta agar pemerintah melindungi industry rokok nasional berpendapat. Dorongan itu disampaikan bertepatan , Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) yang dinilai baik untuk hidup sehat tanpa tembakau.  

“Namun ia mengingatkan industri hasil tembakau (IHT) nasional telah mempekerjakan sekitar 5,5 juta pekerja Indonesia dengan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau serta pajak pertambahan nilai (PPN) lebih dari Rp350 triliun,” ujar Himahanto, Jum’at 31 Mei 2024.

Ia menyebutkan jika konsumsi rokok di Indonesia masih tinggi dan industri tembakau dimatikan, maka dampaknya banyak pekerja Indonesia yang akan kehilangan pekerjaan serta negara akan kehilangan pendapatan.

“Bisa jadi justru ini akan diraup oleh industri tembakau di luar negeri, baik yang legal maupun ilegal," ujar Hikmahanto menambahkan.

Menurut dia, hasil tembakau di Indonesia bukan hanya berjalan pada bidang kesehatan saja, tetapi juga sektor ekonomi, sosial, budaya. Jika hal itu dimatikan dikhawatirkan Indonesia akan bergantung terhadap supply tembakau dari luar negeri di Tengah sumber daya tembakau melimpah dan perokok aktif Indonesia yang banyak.

Ia mengingatkan IHT di Indonesia sudah menjadi warisan turun-temurun bangsa Indonesia, sehingga masyarakat tidak dapat dipisahkan dari tembakau. Pihaknya menegaskan, Indonesia punya kedaulatan termasuk untuk mengatur IHT.

"Pengambil kebijakan harus paham betul tujuan mulia dibalik HTTS bila akhirnya hanya mematikan industri tembakau di Indonesia. Jangan sampai pengambil kebijakan mematikan industri tembakau dalam negeri di tengah konsumsi rokok dari masyarakat Indonesia," ujar Hikmahanto menjelaskan.

Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), KH Sarmidi Husna berpandangan, HTTS dinilai tidak tepat. Alasannya, pengkonsumsian barang yang diproduksi dari bahan baku tembakau merupakan sebuah kebiasaan.

“Jadi, tidak perlu ada deklarasi dalam bentuk penentangan terhadap komoditas tersebut. Merokok dapat berhenti kapan saja, misalnya saat puasa. Selama 12 jam perokok dapat menahan diri untuk tidak mengkonsumsi rokok tanpa merasa ketagihan,” ujar Sarmidi menambahkan.

Ia menuding HTTS merupakan bagian dari agenda rezim kesehatan global yang akan menghancurkan kelangsungan hidup jutaan petani tembakau yang mayoritas Nahdliyin. Dengan begitu ia berharap harus ada political-will pemerintah untuk melindungi dan menjamin Hak Ekosob keluarga para petani tembakau sebagai penghasil komoditas unggulan.

"Jangan sampai Hak Ekosob para petani terancam dan mereka selalu menjadi 'pesakitan' dengan stigma penguras anggaran kesehatan, penyebab kematian, dan seterusnya,"katanya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI