Rencana Pembangunan Kawasan Rempang Eco-City Batam Menimbulkan Bentrokan

Laporan: Sinpo
Kamis, 07 September 2023 | 14:33 WIB
Ilustrasi (SinPo.id/Pixabay.com)
Ilustrasi (SinPo.id/Pixabay.com)

SinPo.id -  Warga dan aparat polri serta TNI bentrok dengan masyarakat kampung melayu Rempang Batam terkait rencana Pembangunan Program Strategis Nasional Kawasan Rempang Eco-Cit. Laporan WALHI nasional menyebutkan, bentrokan terjadi ketika aparat keamanan TNI Angkatan Laut dan Kepolisian hendak menggusur 16 Kampung Melayu Tua yang telah eksis sejak 1834.

“Hari ini sekitar pukul 10.00 aparat keamanan memicu bentrokan dengan memaksa masuk untuk melakukan pemasangan patok tata batas dan cipta kondisi,” ujar Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi, dalam pernyataan  resmi, Kamis 7 September 2023.

Tujuan pemasangan patok itu untuk merelokasi atau menggusur warga dari tanah adatnya, maka seharusnya aparat dan Badan Penguasaan Batam tahu kegiatan ini pasti mendapat penolakan.

“Kegiatan ini merupakan pemantik bentrokan yang mengakibatkan paling tidak enam orang warga ditangkap, puluhan orang luka, beberapa anak mengalami trauma, dan satu anak mengalami luka akibat gas air mata,” ujar Zenzi menambahkan.

Menurut Zenzi, pembangunan Kawasan Rempang Eco-City merupakan salah satu program strategis nasional yang dimuat dalam Permenko Ekuin Nomor 7 Tahun 2023. Program strategis nasional ini dari awal perencanaannya tidak partisipatif sekaligus abai pada suara masyarakat adat 16 Kampung Melayu Tua di Pulau Rempang yang sudah eksis sejak 1834.

“Jadi wajar masyarakat di lokasi tersebut menolak rencana pembangunan ini,” ujar Zenzi menambahkan.

Ia menuding dalam proses Pembangunan,  Badan Penguasaan Batam, Menko Ekuin, Kepala BKPM, dan K/L yang terlibat dalam proses itu merumuskan program tanpa persetujuan masyarakat.  

Sedangkan bentrokan yang menimbulkan korban sipil itu memunculkan solidaritas Masyarakat Sipil di Riau, Masyarakat Sipil Nasional, dan 28 Kantor Eksekutif Daerah WALHI meminta Presiden mengambil sikap tegas untuk membatalkan program itu.

“Program yang mengakibatkan bentrokan dan berpotensi menghilangkan hak atas tanah, dan identitas adat masyarakat di 16 Kampung Melayu Tua di Rempang,”  ujar Zenzi.

Peristiwa berdarah ini bagi koalisi ini merupakan tanggung jawab pimpinan BP Batam, Kapolda Kepulauan Riau, Kapolresta Barelang, Komandan Panglima TNI AL Batam.

Peristiwa ini pun bertentangan dengan amanat UUD Tahun NRI 1945, di mana tegas disebut negara wajib melindungi seluruh tumpah darah dan segenap warga negara Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.

” Tindakan aparat Kepolisian, BP Batam dan TNI yang memaksa masuk ke wilayah masyarakat adat Pulau Rempang, adalah pengabaian terhadap amanah konstitusi dan pelanggaran HAM secara nyata,” katanya.

Langkah Warga kampung Rempang upaya mempertahankan hak dasarnya untuk hidup, hak untuk mempertahankan kampung halaman nenek moyang mereka.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI