Beranikah KPK Berikan Perluasan Hukuman Sanksi Sosial untuk Para Koruptor?

Redaksi
Senin, 05 Februari 2018 | 19:12 WIB
Foto: Istimewa
Foto: Istimewa

Jakarta, sinpo.id - Kasus korupsi terjadi tak hanya di Indonesia. Di negara adidaya seperti Amerika Serikat dan China pun, masih sering terdapat kasus perugian negara itu.

Bedanya, mungkin negara-negara lain lebih berani dalam melakukan penghukuman bagi para koruptor. Tak ada kata ampun bagi para pelaku koruptor. Siapapun pelakunya, hukuman super berat telah menanti.

Bahkan di China, ketika Presiden Xi Jinping baru dilantik sebagai presiden pada 2013, pidato kenegaraan pertama sebagai presiden dirinya tegas akan melakukan peperangan terhadap penyalahgunaan wewenang, dan menciptakan pemerintahan baru China yang lebih bersih.

Dengan lantang ia berujar, bahwa dirinya sudah menyiapkan 51 peti mati. 49 peti untuk jajaran menteri, 1 peti untuk wakil presiden, dan 1 tersisa untuk dirinya, jika ada yang terbukti melakukan korupsi.

Maka tak heran, dengan adanya kebijakan berani Presiden Xi, sudah banyak aparatur negara yang dihukum mati karena terbukti melakukan korupsi. Bahkan tak sedikit pula, yang melakukan bunuh diri karena sudah terindikasi terlibat korupsi oleh pihak berwenang.

Tindakan tegas seperti itu sepertinya yang dibutuhkan oleh Indonesia, yang sudah menjadi budaya untuk melakukan tindak korupsi. Setidaknya begitulah penilaian kebanyakan masyarakat kita terhadap pemerintah.

Lantas, bisakah hukuman seperti itu diterapkan di Indonesia? Lagipula orang akan berpikir dua kali untuk melakukan tindak korupsi bila hukumannya adalah hukuman mati.

"Kalau untuk hukuman mati belum bisa diterapkan di Indonesia, karena menyangkut HAM," terang pengamat hukum dari Universitas Parahiyangan saat dihubungi sinpo.id, Senin (5/2/2018).

Alasan yang masuk akal. Bangsa ini masih dilindungi oleh HAM yang memberikan siapapun mereka untuk mendapat hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, termasuk untuk hidup.

Akan tetapi yang menjadi persoalan baru ialah, pemerintah telah memberlakukan kembali hukuman mati bagi para terpidana kelas kakap. Contoh, terpidana teroris hingga narkoba.

Sudah berapa banyak pemerintah mengeksekusi mati terpidana narkoba kelas kakap. Barang bukti tentu tak sedikit, jumlahnya bisa mencapai miliaran rupiah. Dan jelas mereka menghancurkan generasi bangsa dengan apa yang dijualnya.

Lalu kita flasback sedikit. Terpidana kasus korupsi, mereka mencuri uang atau barang yang bukan milik bahkan haknya demi kepentingan-kepentingan tertentu. Kerugian negara pun jumlahnya mentereng, bahkan mencapai triliunan rupiah.

Dan jelas pula mereka menghancurkan bangsa dengan apa yang diperbuatnya. Sebagai contoh, kasus korupsi e-KTP, hingga kini banyak warga yang tak bisa mendapatkan kartu KTP, sehingga diterbitkanlah resi sebagai penggantinya, yang berukuran satu kertas A4. Memang nampaknya hal ini bukanlah hal besar. Tapi kalau ditelisik jumlah kerugian negara, serta kerugian masyarakat yang belum bisa mendapatkan KTP, barulah pikiran mungkin akan lebih terbuka terkait kerugiannya.

Ada lagi kasus pengadaan Al-Quran di Kementerian Agama pada APBN 2011 dan 2012. Bahkan hal yang menyangkut agama saja, mereka tak sungkan untuk melakukannya. Belum lagi kita bicara mengenai kasus BLBI, Hambalang dan Pelindo.

Lalu, apa bedanya pengedar narkoba sebagai penghancur bangsa, dengan koruptor yang juga menghacurkan bangsa. Mereka sama-sama tak tembang pilih dalam melakukan aksinya. Pengedar narkoba menjual narkoba kepada siapapun, termasuk anak kecil. Sedangkan koruptor tak memilih apa yang akan ia curi, bahkan hingga membawa ke ranah kitab suci.

Sebelum dilantik pun para pemangku jabatan juga pasti disumpah. Tuhan pun mendengar sumpah itu. Tapi memang hal tersebut sudah menjadi sifat dasar manusia. Tak pernah takut dengan sumpah ketika sudah merasa ada keuntungan besar di depan mata.

Sebenarnya masih banyak lagi yang harus disampaikan dalam tulisan ini. Tapi saya mencoba untuk kembali ke topik awal, yaitu perluasan hukuman dalam menghukum koruptor.

Asep menambahkan, selain hukuman pidana, hukuman tambahan itu bisa berupa upaya pemiskinan, pembekuan aset segala investasi yang dimilikinya. Selain itu yang menikmati aliran hasil korupsi, misalnya seperti keluarga, juga harus diberikan sanksi.

"Tersangka juga wajib menjawab pembuktian terbalik. Jadi kalau ada dana gelap di rekeningnya, atau di mana itu, dia wajib memberi tahu," tambah Asep.

Ada satu hal lagi yang harus diperhatikan dan diharapkan menjadi pertimbangan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yakni sanksi sosial.

Masyarakat umum mungkin hanya melihat sanksi sosial yang diberikan hanyalah penyematan rompi oranye sebagai tanda tersangka koruptor. Tapi nampaknya KPK haruslah lebih berani untuk menerapkan sanksi sosial yang lebih menimbulkan efek jera.

Saya sendiri merasa tidak berkompeten untuk memberikan sanksi sosial apa yang pantas disematkan untuk para koruptor. Saya yakin, KPK pasti lebih tahu sanksi apa yang pantas diberikan, dan pemikiran itu tentunya sudah lama dipikirkan.

Biarkan saya beranalogi. Seorang copet yang tertangkap di dalam bus Transjakarta ketika melakukan aksinya, dikalungkan sebuah papan tulis bertuliskan 'saya copet' atau 'saya pencuri' dan mereka berdiri sepanjang hari memakai papan tulis itu di koridor Transjakarta, sebelum mereka dibawa ke pihak berwajib.

Entah bagaimana cara atau jenisnya, sanksi sosial seperti ini dirasa cukup menimbulkan efek jera bagi para pelaku korupsi. Mereka jadi berpikir dua kali untuk melakukan aksinya jika tak mau wajah mereka menghiasi papan reklame di setiap sudut kota dengan tulisan 'saya koruptor'

Pertanyaannya, beranikah KPK?

TAG:
KPK
BERITALAINNYA
BERITATERKINI