MK: Pemohon Tak Miliki Kedudukan Hukum Uji Masa Jabatan Pimpinan Parpol
SinPo.id - Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) terhadap UUD 1945, pada Senin 31 Juli 2023 di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam amar Putusan Nomor 69/PUU-XXI/2023, Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, MK menyebut Pemohon I dan Pemohon II adalah perorangan warga Negara Indonesia. Pemohon II juga tergabung dalam organisasi dan menjabat sebagai Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) periode 2021- 2023 namun bukan organisasi partai politik. Selain itu, kedua Pemohon memiliki keinginan untuk bergabung dalam organisasi partai politik, namun belum ada langkah-langkah yang konkret terkait dengan keinginan dimaksud.
“Dalam kaitannya dengan pengujian undang-undang a quo, norma undang-undang yang menjadi objek permohonan a quo adalah Pasal 23 ayat (1) UU 2/2011 yang merupakan ketentuan berkenaan dengan pergantian struktur kepengurusan partai politik yang didasarkan pada AD dan ART partai politik. Dengan kata lain, pemilihan pengurus partai politik di setiap tingkatan hanya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan di dalam AD dan ART partai politik. Dalam konteks ini, menurut Mahkamah, terhadap kualifikasi Pemohon I dan Pemohon II tidak secara jelas dan rinci menguraikan kualifikasinya dalam kaitannya ihwal anggapan potensi kerugian hak konstitusional yang timbul karena berlakunya norma Pasal 23 ayat (1) UU 2/2011,” ujar Guntur.
Di samping itu, Guntur melanjutkan, Pemohon I dan Pemohon II juga tidak dapat menjelaskan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara potensi kerugian hak konstitusional dimaksud dengan berlakunya norma pasal yang dimohonkan pengujian, sehingga tidak diketemukan adanya keterkaitan atau hubungan secara langsung kualifikasi Pemohon I dan Pemohon II juga tidak dapat menjelaskan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara potensi kerugian hak konstitusional dimaksud dengan berlakunya norma pasal yang dimohonkan pengujian, sehingga tidak diketemukan adanya keterkaitan atau hubungan secara langsung kualifikasi Pemohon I dan Pemohon II sebagai perorangan warga Negara Indonesia yang ingin bergabung menjadi anggota salah satu partai politik dengan keberlakuan norma Pasal 23 ayat (1) UU 2/2011.
Bahkan, sekiranya kualifikasi Pemohon I dan Pemohon Il ditemukan langkah-langkah konkret untuk menjadi anggota partai politik, hal ini belum cukup juga menggambarkan adanya keterpenuhan syarat kualifikasi tersebut.
“Dengan demikian, baik Pemohon I maupun Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” lanjut Guntur.
Kemudian, terhadap Pemohon III, setelah Mankamah mencermati permohonan dan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon III dalam menerangkan kualifikasinya, telah ternyata Mahkamah hanya menemukan bukti berupa fotokopi Surat Keputusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya Nomor: SKEP. 45/DPPIGOLKARMI/2021 tentang Pengesahan Komposisi dan Personalia Badan Penanggulangan Bencana DPP Partai Golkar Masa Bakti 2019-2024 (Hasil Perubahan). Selain itu, fakta hukum yang terungkap di persidangan, Pemohon tidak dapat menunjukkan kartu anggota sebagai bukti keanggotaan dari partai Golkar. Artinya, Surat Keputusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya Nomor: SKEP-45/OPPIGOLKAR/VII/2021 tidak cukup untuk membuktikan bahwa Pemohon III adalah anggota apalagi pengurus partai Golkar. Terlebih lagi, nama yang tercantum dalam SK dimaksud berbeda dengan nama yang dicantumkan Pemohon dalam permohonan a quo dan KTP Pemohon III. Dengan demikian, Mahkamah tidak mendapatkan keyakinan bahwa Pemohon III adalah anggota partai politik apalagi pengurus partai politik. Sehingga, Pemohon III tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
Selanjutnya terhadap Pemohon IV, Guntur menerangkan, walaupun Pemohon IV menyatakan diri sebagai anggota partai politik yang dibuktikan dengan kepemilikan Kartu Tanda Anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), yang membuat Pemohon IV memiliki kualifikasi sebagai anggota partai politik. Namun, Pemohon IV tidak dapat menyertakan bukti sebagai pengurus dari Partai Nasdem. Di samping itu, Pemohon IV tidak dapat membuktikan secara meyakinkan bahwa yang bersangkutan adalah pengurus partai politik dan/atau anggota yang mempunyai hak memilih dan/atau dipilih sebagai ketua umum sebagaimana diatur dalam ADIART atau peraturan lain dari partai politik yang bersangkutan. Oleh karena itu, Pemohon IV tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, para Pemohon ternyata tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.
Pendapat Berbeda
Kendati demikian, dalam pengambilan putusan, satu Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Arief Hidayat memiliki alasan berbeda (concurring opinion). Arief mengatan, Anggaran Dasar (AD) berfungsi sebagai konstitusi bagi partai politik yang mengatur rules of the games dan prinsip-prinsip organisasi yang bersifat mendasar dari suatu partai politik. Sedangkan Anggaran Rumah Tangga (ART) berfungsi layaknya undang-undang yang merupakan penjabaran dari AD. Oleh karena itu, desain politik hukum dalam UU Partai Politik adalah untuk tetap memberikan ruang bagi partai politik dalam menentukan aturan mainnya sendiri yang dituangkan dalam AD dan ART sebagai hukum tertinggi dan penjabarannya dari hukum tertinggi tersebut.
“Biarlah masa jabatan ketua umum setiap partai politik diatur di dalam ketentuan AD dan ART masing-masing sesuai dengan kebutuhan dan suara nurani seluruh pengurus partai politik dan anggota tanpa intervensi pembentuk undang-undang. Hal ini tidaklah berarti tak ada demokratisasi dalam struktur partai politik. Karena pada dasarnya demokratisasi setiap partai politik tetap ada dalam setiap proses Musyawarah Nasional atau dengan nama istilah lain yang aturan mainnya ditentukan dalam AD dan ART masing-masing partai politik sebagai hukum tertinggi yang wajib ditaati para anggotanya,” kata Arief.
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 69/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Eliadi Hulu, Saiful Salim, Andreas Laurencius, dan Daniel Heri Pasaribu. Para Pemohon menguji norma Pasal 23 ayat (1) UU Parpol yang berbunyi, “Pergantian kepengurusan Parpol di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART”.
Sebelumnya, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (11/7/2023) para Pemohon yang diwakili kuasa hukum Leonardo Siahaan mengatakan parpol harus memiliki suatu kejelasan terkait masalah pembatasan masa jabatan ketua umum parpol karena bagaimana pun juga parpol merupakan organisasi yang sangat sentral dan merupakan cerminan dari demokrasi ataupun pilar demokrasi. “Untuk itulah karena parpol merupakan sentral dari sebuah demokrasi, untuk itulah partai politik harus bisa mencerminkan pilar demokrasi tersebut,” ujar Leo.
Menurutnya, tidak ada kepastian hukum dalam anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART) masing-masing parpol mengenai pengaturan pembatasan masa jabatan dan periodisasi ketua umum parpol. Secara ideal dan berdasarkan preseden umum, pimpinan suatu organisasi diberikan kesempatan untuk memimpin selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak.
Oleh karena itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 23 Ayat (1) UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART, khusus ketua umum atau sebutan lainnya, AD dan ART wajib mengatur masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak