Jelang Putusan, MK Diingatkan Jika Sistem Pemilu Tertutup Kemunduran Demokrasi

Laporan: Juven Martua Sitompul
Jumat, 09 Juni 2023 | 14:54 WIB
Atang Irawan (Sinpo.id/NasDem)
Atang Irawan (Sinpo.id/NasDem)

SinPo.id -  Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) diingatkan agar berpikir jernih dalam memutus gugatan proporsional tertutup untuk Pemilu 2024. Sistem coblos partai sesungguhnya meletakkan rakyat sebagai objek dari kontestasi politik sehingga menggerus daulat rakyat dan kembali menjadi daulat tuan.

"Padahal konstitusi kita sudah lebih maju meletakan kedaulatan rakyat tidak hanya sebagai norma konstitusional tetapi moralitas konstitusional," kata Ketua Bidang Legislatif Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem Atang Irawan dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Jumat, 9 Juni 2023.

Atang menilai sistem proporsional tertutup merupakan langkah mundur dalam perjalanan sejarah pertumbuhan demokrasi di republik ini. Sebab, kedaulatan rakyat diserahkan kepada partai politik (parpol).

"Rakyat tidak lagi menitipkan kedaulatannya pada institusi tertentu, seperti sebelum amandemen diserahkan kepada MPR," kata dia.

Atang juga mengingatkan proporsional tertutup akan berimplikasi pada tergerusnya keterwakilan perempuan yang saat ini semakin menunjukkan peningkatan, yaitu sebanyak 120 perempuan terpilih untuk duduk di Senayan. Jumlah itu setara dengan 20,87 persen dari total anggota DPR yang sebanyak 575 orang.

Menurut dia, proporsional tertutup juga akan melemahkan kebebasan ekpresi rakyat dalam menentukan wakilnya di mana wakil lebih erat kaitannya dengan parpol. Sedangkan rakyat hanya dijadikan sebagai objek legitimasi dalam kontestasi politik.

Hal ini, kata dia, sebuah degradasi terhadap kedaulatan rakyat karena menutup hak rakyat untuk berekspresi bahkan melemahkan kedudukan rakyat dalam kebebasan menentukan pilihanya.

Oleh karenanya, Atang mengingatkan jangan biarkan institusi apapun menjadi fredatory dumping, yaitu melakukan manipulasi terhadap hak-hak fundamental rakyat dalam partisipasi politik dengan tujuan untuk menyingkirkan kehendak rakyat dalam menentukan pilihan siapa yang menjadi wakilnya di legislatif.

Sebaliknya, sistem proporsional terbuka sudah teruji dalam mendorong kemajuan demokrasi. Jika memperhatikan dinamika kontestasi politik dari tahun 2014 mengalami perkembangan yang cukup baik karena memilih caleg 71,4 persen, sedangkan memilih partai hanya 28,6 persen.

Demikian halnya pemilu 2019 yang memilih caleg 73,9 perseb dan memilih partai hanya 26,1 persen. Sehingga, yang mengatakan proporsional terbuka menyulitkan rakyat untuk memilih hanyalah pandangan yang skeptis terhadap daulat rakyat dan bahkan menganggap rakyat tidak cerdas dalam berdemokrasi.

Atang menyatakan partisipasi pemilih semakin menunjukkan kenaikan yang signifikan dengan proporsional terbuka, misalnya saja pemilu tahun 2014 partisipasi pemilih sekitar 75.11 persen, sedangkan pemilu tahun 2019 adalah 81,93 persen.

Jika memperhatikan keterpilihan incumbent dalam setiap kontestasi politik tidak lebih dari 60 persen pada setiap lembaga perwakilan rakyat. Hal ini sesungguhnya menunjukkan bahwa fungsi kontrol rakyat terhadap wakil semakin maju karena jika wakil tidak memperjuangkan aspirasi rakyat maka rakyat dapat mengoreksi di pemilu yang akan datang dengan tidak memilik wakilnya kembali.

"Justru inilah sebuah kemajuan demokrasi, karena pada prinsipnya kontrol sosial merupakan urat nadi demokrasi," kata dia.

Melihat data itu, Atang mengaku prihatin jika ada elite politik memandang rakyat memiliki kendala dalam memilih dengan sistem proporsional terbuka. Seolah rakyat diletakan sebagai mahluk politik yang tidak paham dengan cara memilih, padalah faktanya dalam kontestasi politik rakyat lebih banyak memilih caleg ketimbang memilih partai.

"Bagaimana kita akan membangun demokrasi jika rakyat tidak dipercaya untuk menentukan pilihannya berdasarkan keyakinannya, bahkan terkesan menyumbat partisipasi politik rakyat dalam menentukan siapa akan menjadi wakilnya," tegas dia.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI