DPR Dukung Pemerintah Atur Perdagangan Karbon di Indonesia
SinPo.id - Anggota Komisi VI DPR RI Nasim Khan mendukung rencana Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia untuk mengatur perdagangan karbon di Indonesia. Aturan ini penting guna mengoptimalkan perdagangan karbon sebagai sumber pendapatan negara.
Menurut Nasim, sebagai negara tropis Indonesia memiliki kekayaan hutan tropis seluas sekitar 125 juta hektare yang dapat menghasilkan sekitar 25 juta miliar ton karbon, potensi itu dapat menjadi daya tarik bagi para investor dengan potensi pendapatan sekitar USD565,9 miliar atau Rp8 ribu triliun.
"Indonesia adalah negara tropis yang memiliki hutan yang sangat luas, sehingga potensi perdagangan karbon sudah seharusnya dapat dimaksimalkan. Bursa karbon harus dikapitalisasi di Indonesia jangan sampai diatur-atur asing karena kita pemilik 125 juta hektar hutan tropis yang mampu menyerap 25 miliar ton karbon," kata Nasim dalam keterangannya, Jumat, 5 Mei 2023.
Nasim menekanakan dengan potensi pendapatan yang luar biasa dari sektor karbon, pihaknya mendukung pemerintah dalam hal ini kementerian investasi untuk mengatur secara ketat perdagangan karbon di Tanah Air.
"Jumlah itu belum mencakup hutan bakau dan gambut. Catatan dari para ahli memperkirakan bahwa perdagangan karbon bisa menghasilkan pendapatan senilai US$ 565,9 miliar atau Rp 8.000 triliun. Makanya regulasi berupa penguatan hukum di sektor perdagangan ini menjadi perhatian utama pemerintah," ucapnya.
Politikus PKB ini menyebut perdagangan karbon sesuai sebagaimana Protokol Kyoto yang berlaku sejak 16 Februari 2005. Kemudian, pada 2015 diperbarui dengan nama Paris Agreement atau Perjanjian Paris menggantikan Protokol Kyoto untuk menjawab dinamika perubahan iklim global.
"Para pemimpin dunia telah bersepakat mengurangi emisi karbon dioksida dan keberadaan gas rumah kaca di atmosfer, meskipun masih ada negara yang belum meratifikasi seperti misalnya Amerika Serikat," ujarnya.
Dia mengatakan jika melihat fakta perdagangan karbon di dunia, dampaknya relatif cukup besar terhadap penurunan intensitas karbon. Nasim mencontohkan dalam kurun waktu 2015 hingga 2020, dari catatan pegiat lingkungan memperkirakan bahwa sebesar 17,17 miliar ton emisi karbon berhasil dihilangkan atau diminimalkan.
"Negara di dunia yang telah melakukan perdagangan karbon mendapatkan kentungan. Di tahun 2015, perdagangan karbon global tercatat sekitar USD50 milyar. Sekitar 70 persen dari total tersebut dihasilkan dari Emission Trading System dan 30 persen dihasilkan dari Carbon Tax," ucap Nasim.
Nasim mengaku sepakat dengan pemerintah dalam membuat peraturan tentang perdagangan karbon diatur secara lebih detail, mekanisme di lapangan lebih rapi dan terstruktur dengan melibatkan berbagai instansi di dalam negeri.
"Indonesia saat ini terlihat lebih serius dalam persoalan perdagangan karbon. Bahkan wacana yang berkembang selain bisa diperdagangkan langsung, perdagangan karbon bisa dilakukan di bursa karbon, nanti bentuknya seperti saham," ucapnya.
Dengan begitu, kata Nasim, produksi dan pengurangan emisi harus tercatat, terdokumentasi, dan terverifikasi secara jelas. Pemerintah memiliki sumber daya untuk mendata semua karbon yang dihasilkan untuk dikuantifikasi dalam bursa karbon.
Namun, Nasim menegaskan peraturan perdagangan karbon maupun investasi yang masuk ke Indonesia dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia menjadi suatu hal yang prioritas, karena pajak karbon mesti berdampak terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat.
"Bila perlu kita buat spesifikasi khusus alokasi dari pajak lingkungan, yang tidak bisa dikeluarkan untuk selain pemeliharaan hutan pajak dan transaksi di bursa karbon kelak mesti dapat terukur implikasinya secara nyata. Implikasi yang terukur itu bisa disaksikan dan dirasakan bukan sekedar dalam catatan kertas kerja, melainkan dapat dibuktikan di mata masyarakat luas," tegas Nasim.
Sebelumnya, Menteri Investasi Bahlil menyatakan pemerintah memutuskan untuk melakukan penataan perizinan di wilayah-wilayah konsesi seperti hutan lindung dan hutan konservasi. Ini diputuskan setelah Bahlil menggelar rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut Bahlil, saat ini konsesi yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan tersebut akan diatur tata kelolanya oleh pemerintah.
"Nanti semuanya dikendalikan, akan diatur tata kelolanya oleh pemerintah supaya karbon yang pergi ke luar negeri, bisa dijual, kalau tidak tata kelola dibuat sertifikasi, kita tidak akan pernah tahu berapa yang pergi. Kemudian ini juga menjadi sumber pendapatan negara kita," kata Bahlil beberapa waku lalu.
Bahlil juga mengungkapkan pemerintah menyepakati bahwa harga karbon di Indonesia tidak boleh dijual di pasar karbon yang lain di luar negeri. Bahlil menegaskan bahwa pemerintah tidak ingin potensi penangkapan karbon dioksida di Indonesia yang sangat besar justru dikapitalisasi oleh negara tetangga.
Jangan negara tetangga yang tidak mempunyai penghasil karbon, tidak punya tempat CO2, tapi dia membuka bursa karbon itu, kita tidak ingin. Barang, aset milik negara harus dikelola maksimal oleh negara dan harus pendapatan untuk negara," tegas Bahlil.