Ini Kata Ujang Komarudin Melihat Lika-Liku Kasus Setnov

Redaksi
Sabtu, 25 November 2017 | 14:14 WIB
Foto: Istimewa
Foto: Istimewa

Jakarta, sinpo.id - Seperti kita ketahui bersama, Setya Novanto sang Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR RI terseret dalam kasus korupsi e-KTP.

Setya Novanto dan Partai Golkar pun habis-habisan dibully oleh masyarakat melalui media sosial. Tanpa menunggu waktu lama, setelah Setya Novanto dianggap cukup sehat oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), KPK bergerak cepat menahan Setya Novanto.

Jabatan Setya Novanto pun dipertaruhkan. Ada yang memintanya untuk mundur dari Ketua DPR RI dan juga ada yang menginginkannya untuk turun dari kursi Ketua Umum Partai Golkar.

Setya Novanto bukan anak kemarin sore di dunia politik. Walau pun desakan kepada dirinya sangat kencang untuk mundur dari jabatan Ketua DPR RI dan ketua umum Partai Golkar, Setya Novanto tidak bergeming.

Partai Golkar pun bertindak cepat dengan menggelar rapat pleno. Rapat pleno DPP Golkar tidak menghasilkan terobosan yang dapat membawa Golkar cepat keluar dari kemelut karena Ketua Umumnya menjadi tersangka dan ditahan KPK.

Namun, bisa saja keputusan pleno tersebut merupakan jalan tengah untuk keluar dari permasalahan yang mendera. Di tengah ramainya perdebatan untuk mengganti Setya Novanto, keluarlah dua surat sakti dari Setya Novanto.

Dua surat sakti Setya Novanto sudah cukup bagi Partai Golkar untuk menyelesaikan perdebatan dalam pleno. Surat sakti pertama berisi bahwa Setya Novanto telah menunjuk Idrus Marham sekretaris jenderal Partai Golkar untuk menjadi Plt. Dan surat sakti kedua, Setya Novanto meminta posisi Ketua DPR RI untuk dikosongkan hingga kasus yang menimpa dirinya inkrah. Dua surat sakti Setya Novanto tersebut terbukti sakti.

Para jurnalis, pengamat, dan masyarakat pun menanggapi dengan hasil keputusan rapat pleno DPP Partai Golkar tersebut. Namun, apapun keputusannya harus kita hargai. Dan itu bagian dari cara Partai Golkar dalam berdemokrasi dan menyelesaikan masalahnya sendiri.

Hal ini menuai tanggapan dari Ujang Komarudin selaku Pengamat Poliik. Menurutnya, kita tidak boleh menghakimi seseorang apabila keputusan pengadilan belum final.

“Dan sebelum ada keputusan pengadilan yang final dan mengikat kita tidak boleh menghakimi seseorang bersalah. Biarkan proses hukum berjalan. Dan mari kita kawal kasus hukum Setya Novanto agar berjalan fair dan adil,” ungkapnya.

Di negara ini tidak boleh ada orang yang kebal hukum. Siapapun yang terlibat korupsi harus diusut meski melibatkan orang kuat. Setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum. Dan hukum tidak boleh dipermainkan.

“Sudah saatnya bangsa ini berubah. Sudah saatnya yang terlibat korupsi harus diberangus. Karena salah satu faktor kehancuran negeri ini karena korupsi. Tidak boleh ada toleransi bagi pelaku korupsi. Apalagi ingin meminta perlindungan pada Presiden dan Kapolri,” lanjutnya.

Untuk memberantas korupsi. Bukan hanya penegakkan hukum yang konsisten dan pandang bulu tetapi juga harus menumbuhkan budaya malu. Malu jika korupsi. Malu jika disebut-sebut dalam kasus korupsi. Malu jika terlibat korupsi.

Di negara yang peradabannya tinggi seperti Jepang, pejabat yang baru disebut dalam kasus korupsi, ingat baru disebut dalam kasus korupsi sudah mengundurkan diri dari jabatnnya.

“Nah, di kita tidak. Di negara yang indah ini pejabat yang sudah jadi tersangka dan ditahan oleh penegak hukum pun enggan mundur. Rasulullah Saw bersabda: Alahya minal iman, malu itu sebagian dari iman. Jadi jika kita masih memiliki rasa malu, kita termasuk golongan orang yang beriman,” tutupnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI