Lie Eng Hok, Jurnalis Koran Sin Po Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia
SinPo.id - Lie Eng Hok merupakan salah satu warga Indonesia dari suku Tionghoa yang gigih merintis kemerdekaan republik Indonesia. Lie lahir dari Desa Balaraja, Tangerang, 7 Februari 1893, merupakan jurnalis surat kabar peranakan Tionghoa berbahasa Melayu Sin Po.
Saat bekerja di media tersebut Lie berteman baik dengan pencipta lagu Indonesia Raya, W.R. Supratman yang sama-sama sebagai jurnalis Sin Po.
“Dari temannya ini ia belajar banyak tentang cita-cita kebangsaan, sesuatu yang jarang dilakukan oleh pemuda keturunan Tionghoa waktu itu,” tulis Yunus Yahya dalam Peranakan idealis: dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya.
Sikapnya yang teguh memperjuangkan kemerdekaan membuat Lie menjadi buruan pemerintah kolonial Belanda. Tercatat pada 1926 saat pemberontakan komunis di daerah Banten dan Sumatera Barat sedang panas-panasnya, Lie menjadi salah satu tokoh pergerakan yang menjadi target penangkapan.
Situasi tersebut membuat Lie bersama keluarganya melarikan diri dan berpindah ke Semarang. Lie kemudian bekerja dengan menjual usaha toko buku loak di Pasar Johar. Meski begitu, Lie tak sama sekali meninggalkan dunia pergerakan.
Dari pekerjaan menjual buku bekas inilah Lie justru memperoleh banyak teman dan informasi tentang dunia pergerakan. Dari situ Lie berperan aktif menyebarluaskan informasinya ke sesama teman pergerakannya.
Tak jarang juga Lie berperan sebagai kurir bagi orang-orang yang dicurigai Belanda di daerah Jawa Tengah yang hendak mengirim surat kepada sesama orang pergerakan di Semarang. Lie pun sampai mencarikan penginapan yang aman bagi teman pergerakan ketika mereka menggelar rapat di Semarang.
“Memang Lie Eng Hok sering ikut rapat membicarakan masalah politik,” ujar Kaspin, teman Lie yang menjabat sebagai Ketua Perintis Kemerdekaan Cabang Semarnag dan Koordinator Jawa Tengah, dikutip Yunus Yahya.
Sayang gerak Lie tak lama, ia ketahuan pemerintah kolonial Hindia Belanda dan tertangkap basah saat hendak menyampaikan surat titipan yang ia selipkan di dalam buku tuanya. Akibatnya, Lie bersama tahanan lainnya turut dibuang ke kamp konsentrasi tahanan politik Boven Digoel.
Surat Kabar De Locomotief pada 29 November 1926 mengabarkan bahwa Lie Eng Hok ditangkap atas permintaan Residen Banten yang curiga keterlibatan Lie dalam pemberontakan komunis.
De Locomotief juga mengabarkan bahwa Lie telah memiliki kartu pers yang dikeluarkan secara resmi oleh sekretaris karesidenan Banten.
Lie selain bekerja sebagai wartawan koresponden Sin Po, turut menjadi koresponden pada surat kabar Kong Po, Tjamboek dan Sin Bin. “Lie Eng Hok tinggal sekitar empat bulan di Semarang,” tulis De Locomotief.
Selama di Boven Digoel, Lie tetap berpegang teguh pada keyakinannya dan menolak bekerja untuk Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Untuk memenuhi kebutuhan hidup ia menbuka kios tambal sepatu.
Bukti tersebut dapat dilihat dalam Sin Po pada edisi Sabtu, 6 September 1930 yang memuat foto Lie Eng Hok di Boven Digoel sebagai tukang tambal sepatu bersama U.Pardede, bekas pemimpin redaksi Soeara Kita di Pematang Siantar.
Pada 1932, Lie dibebaskan dari Digoel. Ia kemudian kembali bekerja sebagai penjual toko buku tua. Setelah kemerdekaan, jasa Lie tidak dilupakan oleh pemerintah. Lie ditetapkan sebagai Perintis Kemerdekaan RI berdasarkan SK Menteri Sosial RI No.Pol 111 PK tanggal 22 Januari 1959. Ia diberi hak uang tunjangan sebesar Rp400 per bulan.
Lie meninggal pada 27 Desember 1961 dan dimakamkan di pemakaman umum Semarang. Tak lama, 25 tahun kemudian, berdasarkan surat Pangadam IV/Diponegoro No. B/ 678/ X/ 1986, jasad Lie dipindahkan ke Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang. (*) ULIL ALBAB ASSYDIQI (Semarang)