Siswi SMA di Bantul yang Mengaku Dipaksa Pakai Jilbab Alami Trauma
SinPo.id - Seorang siswi SMA Negeri di Bantul mengalami trauma setelah diduga dipaksa memakai hijab. Hal itu terjadi saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) pada 18, 20, 25 dan 26 Juli 2022.
Demikian diungkapkan Komisioner KPAI, Retno Listyarti.
"Secara singkat dapat kami sampaikan hasil psikologis pada lapis pertama sudah menunjukkan korban mengalami pukulan psikologis,” ungkap Retno, dalam keterangannya, Rabu 3 Agustus 2022.
Retno dan Chatarina Girsang, kepala Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi beserta tim turun bersama ke Daerah Istimewa Jogjakarta mengawasi dan menangani kasus dugaan pemaksaan berjilbab di salah satu SMA Negeri di wilayah Bantul, DIY.
Hal ini dilakukan sebagai bentuk kehadiran negara dalam perlindungan dan pemenuhan hak anak-anak Indonesia.
Pada hari pertama, Retno Listyarti bertemu dengan ayah korban dan pendamping korban di kantor KPAID Jogjakarta, karena salah satu komisioner KPAID Jojakarta dan LSM Sapu Lidi sudah mendampingi korban sejak 26 Juli 2022.
Saat pertemuan, KPAI menanyakan kronologi peristiwa versi ayah korban dan juga kronologi pendampingan KPAID Yogjakarta dan LSM Sapu Lidi saat menunggu dan mendampingi korban di rumahnya.
Hal ini, karena saat itu korban sempat mengunci diri di kamarnya selama beberapa hari, sampai akhirnya korban berhasil dibujuk dan diyakinkan untuk keluar kamar dan menemui pendampingnya.
KPAI juga meminta update hasil assesmen psikologi anak korban pasca kejadian, tentu saja hasil asesesmen korban tidak bisa disampaikan ke public secara rinci, karena ada kode etik psikolog yang mengaturnya.
Tim Itjen KemendikbudRistek dan KPAI bertemu ayah dan ibu korban untuk menggali keterangan dan kronologis peristiwa, terutama versi ibu korban yang selalu melakukan chating dan komunikasi lisan dengan anak korban.
Keterangan Ibu korban didukung rekaman chattingan dengan anak korban, mulai dari korban mengikuti MPLS sampai peristiwa 26 Juli 2022.
"Saat ibu korban menjemput anaknya ke sekolah karena menangis terus dan sempat mengurung diri di toilet sekolah. Artinya ada hubungan antara peristiwa-peristiwa yang dialami korban di sekolah dengan kondisi psikologis korban”, ujar Retno.
Pada hari kedua, KPAI dan Itjen KemendikbudRistek melakukan pengawasan langsung ke sekolah anak korban.
Ikut dalam kunjungan ke sekolah, yaitu perwakilan Inspektorat Provinsi DIY dan KPAID Kota Yogjakarta.
Di tengah pertemuan dengan pihak sekolah, tiba-tiba datang anggota Komisi X DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan yaitu Esti Wijayanti beserta anggota DPRD Bantul.
Saat pengawasan, Tim meminta keterangan kepada pihak sekolah tentang kronologi peristiwa tanggal 18, 20, 25 dan 26 Juli 2022 versi sekolah.
Hal ini dilakukan sebagai klarifikasi dan perimbangan informasi. Tim mencatat dan mendalami keterangan dari kepala sekolah dan wakil kepsek bidang kurikulum, , guru BK, dan wali kelas. Pertemuan tertutup dilakukan di ruang aula selama sekitar 3 jam.
“Pada intinya, guru BK dan wali kelas memang mengakui ada peristiwa memasangkan jilbab pada anak korban di dalam ruang BK, namun dalihnya hanya sebagai tutorial”, jelas Retno.
KPAI dan Tim Itjen KemendikbudRistek juga sempat berkeliling kelas-kelas dan melihat lokasi-lokasi kejadian seperti di UKS, toilet, ruang BK, kelas, gazebo dan kantin sekolah.
Semua lokasi itu ada dalam cerita korban, orangtuanya dan juga para guru yang terkait.
Saat memasuki areal sekolah, Retno melihat peserta didik yang sedang berolahraga, dan yang perempuan memang menggunakan jilbab semua.
"Saat masuk kedua kelas semua anak perempuan memang berjilbab, begitupun ketika berkeliling sekolah dan menyapa para peserta didik. Menurut keterangan kepala sekolah, memang siswi muslim di sekolah tersebut berjilbab meskipun tidak aturan sekolah wajib menggunakan jilbab,” ungkap Retno
Terkait dengan selebaran berupa panduan penggunaan seragam (dilengkapi gambar) peserta didik putra dan putri di sekolah anak korban yang yang diperoleh KPAI melalui aplikasi WhatsApp.
Di mana ketentuannya memang menggunakan kemeja Panjang dan rok/celana Panjang serta jilbab diakui oleh pihak sekolah sebagai dokumen yang di keluarkan sekolah dan dibagikan kepada peserta didik.
“Ketentuan seragam dan diperkuat dengan gambar, di sekolah anak korban tidak sesuai dengan ketentuan dari Permendikbud No 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam bagi peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan menengah”, ujar Retno.
KPAI dan Itjen KemendikbudRistek masih akan bertemu dengan Kepala Dinas Pendidikan dan Olahraga Provinsi DIY pada hari berikutnya untuk meminta keterangan penanganan kasus dan proses pemeriksaan pihak sekolah (Kepala Sekolah dan para guru terkait) dalam kasus dugaan pemaksaan jilbab ini.
“KPAI dan Itjen KemendikbudRistek akan terus mengawal kasus ini, dan seluruh hasil pengawasan akan dipergunakan sebagai landasan mengeluarkan rekomendasi atas kasus tersebut,” pungkas Retno.