Was Was Ancaman Krisis Global

Laporan: Tim Redaksi
Sabtu, 23 Juli 2022 | 07:00 WIB
Ilustrasi (SinPo.id/Wawan)
Ilustrasi (SinPo.id/Wawan)

 

Perang yang terjadi berdampak pertumbuhan ekonomi melambat serta kenaikan harga sejumlah barang. Momok bagi sejumlah negara dengan ketergantungan yang tinggi.

 

SinPo.id -  Krisis ekonomi disebut mengacam sejumlah negara di dunia yang saat ini belum tuntas menghadapi pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19. Perang Rusia dan Ukraina memicu kekhawatiran resesi di sejumlah negara lain mendekatkan krisis.

“Hampir semua dalam hidup kita telah terganggu oleh pandemi, dan kemudian saat ditambah lagi dengan perang di Ukraina," kata pengamat ekonomi dari University of Texas, Julia Coronado, dilansir New York Times, Minggu 17 Juli 2022.

Julia menilai perang yang terjadi berdampak pertumbuhan ekonomi melambat serta kenaikan harga dari sejumlah barang. Hal itu menjadi momok bagi sejumlah negara, khususnya negara dengan ketergantungan yang tinggi. Sedangkan inflasi global saat ini digerakkan oleh reaksi dunia terhadap penyebaran Covid-19 dan guncangan ekonomi yang menyertainya.

“Serangan Rusia terhadap Ukraina yang menyebabkan berkurangnya penyediaan pangan, pupuk, dan energi,” kata Julia menambahkan.

Masalah lain kelangkaan produk yang dihasilkan mendorong harga naik. Sementara banyak industri yang mengeksploitasi dominasi pasar mereka untuk meraih rekor keuntungan.

Selain itu persoalan ekonomi global, sejumlah negara produsen saat ini juga telah kehilangan mesin vital. Julia mencontohkan laju ekonomi China melambat, dengan kenaikan 0,4 persen di Kuartal II 2022.  Hal itu dinilai membahayakan prospek perdagangan antara China dengan sejumlah negara lainnya.

Ancaman krisis juga sudah diraskan Selandia Baru dengan inflasi tembus 7,3 persen. Konon kondisi itu memaksa warga di negara yang dikenal surplus daging dan susu itu terpaksa makan siput kebun.

Angka inflasi yang menimpa Selandia Baru itu pertama kali terjadi dalam 32 tahun terakhir.  

Dampak inflasi di negara itu membuat lonjakan besar pada harga makanan, bahan bakar minyak (BBM), hingga perumahan. Tercatat harga makanan di Selandia Baru naik 6,5 persen dari tahun sebelumnya, sedangkan harga bensin naik 32 persen dan solar 74 persen.

“Masalah rantai pasokan, biaya tenaga kerja, dan permintaan yang lebih tinggi terus mendorong biaya pembangunan rumah baru,” kata manajer umum Stats New Zeland, Jason Attewell Jason Attewell, dikutip dari The Guardian.

Ia mengatakan penyebab utama inflasi di Selandia Baru oleh kenaikan harga konstruksi dan persewaan perumahaan. Akibatnya sebagian masyarakat Selandia Baru memesan bahan makanan dari Australia untuk menghemat anggaran.

“Beberapa dilaporkan terpaksa makan siput kebun dan tidak lagi menggunakan tisu toilet. Bahkan keluarga yang memang tidak memiliki uang harus kelaparan,” tulis artikel yang dirilis oleh Journal of the Royal Society of New Zealand.

Artikel itu juga menarasikan enam ibu tunggal yang terpaksa tidak makan agar anak-anak mereka tidak kelaparan. “Semuanya naik tetapi pendapatan tidak naik. Dengan hidup yang sama, ada defisit,” kata Evans, warga Selandia Baru dalam artikel tersebut.

Pemerintah Selandia Baru berusaha mensiasati kenaikan biaya hidup yang cukup tinggi dengan subsidi transportasi.

Pada Minggu 17 Juli 2022, pemerintah Selandia Baru memperpanjang setengah harga biaya transportasi dan pengurangan cukai bahan bakar serta biaya pengguna jalan sampai 2023 mendatang. Subsidi ini awalnya hanya direncanakan untuk tiga bulan, tetapi harga yang terus melonjak membuat pemerintah terus berupaya lanjutkan program tersebut.

Nilai Tukar Dollar AS Trhadap Mata Uang Negara Lain

Ketua Forum Lembaga Moneter dan Keuangan Resmi AS, Mark Sobel, mengatakan dalam situasi gejolak ekonomi justru nilai tukar dollar AS menguat sehinga mendevaluai sejumlah mata uang di dunia.

“Ini dolar yang sangat, sangat kuat,” kata  Mark Sobel, dilansir dari New York Times, Minggu pertengahan Juli lalu.

Inflasi yang melonjak, serta suku bunga yang meningkat, menjadi faktor mengapa dolar menjadi jauh lebih kuat. Hal itu diukur dengan indeks dari sekeranjang mata uang mitra dagang utama AS seperti Jepang dan negara-negara di Eropa.

Sedangkan Yen merosot ke level terendah terhadap dollar. Bahkan sejumlah negara lainnya seperti India, Kolombia, Polandia dan Afrika Selatan, telah kehilangan nilai mata uang mereka terhadap dolar.

Federal Reserve bergerak lebih cepat dan agresif ketika bank sentral di seluruh dunia sedang berusaha keras untuk menjinakkan inflasi. Akibatnya suku bunga sekarang jauh lebih tinggi di Amerika Serikat daripada di sejumlah ekonomi besar lainnya.

"Inilah yang memikat investor tertarik dengan pengembalian yang lebih tinggi bahkan dari investasi yang relatif konservatif seperti obligasi jangka panjang (Treasury bonds)," kata Mark menjelaskan.

Bagaimana dengan Indonesia ?

Kenaikan nilai tukar dollar tentu telah berdampak pada nilai tukar rupiah. Tercatat mata uang rupiah ditutup melemah 47 poin ke level Rp 15.036 per dollar AS pada, Kamis 21  Juli 2022 sore lalu. Penyebabnya diduga ada hubungannya dengan keputusan Bank Indonesia (BI) yang  menahan suku bunga acuan di level 3,5 persen.

Ekonom Bank Danamon Irman Faiz, mengatakan pelemahan rupiah merupakan respon keputusan BI yang kembali menahan suku bunga acuan. Selain itu ekspektasi pasar terhadap keputusan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed yang diperkirakan akan kembali agresif menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin akhir bulan ini.

"Jadi salah satu pendorong lemahnya rupiah hari ini yaitu adanya ekpektasi The Fed akan menaikkan suku bunga paling tidak 75 basis poin, tapi BI masih menahan suku bunga acuan," ujar Irman.

Ia memperkirakan rupiah bakal melanjutkan tren pelemahannya hingga akhir bulan ini. Bergantung pada keputusan The Fed dalam menentukan nasib suku bunga acuannya. Meski Irman tak memungkiri jika rupiah memiliki daya tahan yang tinggi atau cukup resilien di tengah gejolak ekonomi global. Bahkan, pelemahannya lebih rendah dibandingkan negara lainnya, terutama dengan negara Asia Tenggara lainnya.

"Harga komoditas yang tinggi juga membantu kekuatan rupiah, jadi likuiditas valas kita lumayan memadai untuk menahan permintaan dollar. Perkiraannya tidak akan separah lira Turki, karena dibandingkan negara tetangga saja kita paling perform," kata Irman menjelaskan.

Sedangkan Ekonom BCA David Sumual menilai pelemahan rupiah hanya bersifat teknikal. Keputusan BI dalam menahan suku bunga tidak berpengaruh signifikan. Sebelumnya, pasar berekspektasi BI akan menaikkan suku bunga acuan hingga 25 basis poin.

"Tapi mungkin ke depan, ekspektasi inflasinya akan meningkat dan rupiah masih akan cenderung melemah," ujar David.

Ia memperkirakan pergerakan rupiah dalam jangka pendek masih akan relatif stabil di level Rp14.900 - Rp15.100. Namun, menjelang akhir tahun diproyeksikan akan kembali pada tren pelemahan.

Sejumlah negara di dunia saat ini sedang menghadapi resesi ekonomi ketika gejolak ekonomi global dan ancaman stagflasi yang menghantui perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Stagflasi merupakan kondisi ketika inflasi merangkak naik, disertai dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah atau stagnan.

Inflasi tinggi salah satu sebabnya adalah harga komoditas yang tinggi, justru sebenarnya menguntungkan Indonesia."Namun begitu, potensi stagflasi tetap ada, terutama melalui kenaikan suku bunga dan kurs rupiah yang melemah," kata Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan.

Potensi stagflasi di Indonesia terbilang masih sangat rendah, karena harga dari berbagai jenis komoditas masih terjaga. Namun, jika stagflasi terjadi di sejumlah negara yang merupakan mitra dagang Indonesia, maka stagflasi kemungkinan juga dapat terjadi.

Oleh sebab itu, kondisi stagflasi harus diantisipasi secara serius. Terlebih, ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina juga tidak kunjung berhenti, yang mana hal ini juga dapat mempengaruhi perekonomian dunia.

Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad mengingatkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar jangan menganggap remeh resesi ekonomi saat ini. Hal ini dalam merespons survei terkini dari perusahaan keuangan di Kota New York, Bloomberg, yang memasukkan Indonesia ke dalam 15 negara (peringkat 14) negara di dunia yang terancam resesi.

"Meski struktur dan fundamental ekonomi Indonesia dikatakan jauh lebih baik dibandingkan dengan apa yang terjadi di Sri Lanka, namun bukan berarti bebas ancaman resesi," ujar Kamrussamad

Diketahui, dalam survei Bloomberg tersebut, terdapat beberapa negara lain yang terancam resesi, seperti Korea Selatan, Jepang, China, Hongkong, Australia, Taiwan, Pakistan, Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina, Indonesia, lalu India. Probabilitas resesi Indonesia dalam survei tersebut berada di angka 3 persen.Angka tersebut jauh di bawah tingkat probabilitas resesi di beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Filipina (8 persen), Thailand (10 persen), Vietnam (10 persen), dan Malaysia (13 persen).

Hal itu menjadi alasan Kamrussamad mengingatkan agar menjadi perhatian pemerintah, terlebih saat ini, Cadangan Devisa (Cadev) Indonesia sudah berkurang sekitar 12 miliar dolar AS sejak September 2021.

"Cadev itu terus berkurang dalam empat bulan terakhir ini. Apalagi ditambah tren capital outflow akibat kenaikan suku bunga The Fed," katanya.

 sinpo

Komentar: