Ancaman Krisis Pangan di Indonesia Mungkin Terjadi, Apa Antisipasinya?

Laporan: Sinpo
Kamis, 14 Juli 2022 | 00:32 WIB
Sawah kering. Foto: Istimewa
Sawah kering. Foto: Istimewa

SinPo.id - Krisis pangan bukanlah sesuatu yang tak mungkin terjadi mengingat dampak dari pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina yang belum juga selesai.

Ketua Satgas Pangan Polri, Brigjen Wisnu Hermawan Februanto-pun mengakui bahwa Indonesia menghadapi tantangan ketahanan pangan yang berat, berbeda dengan Singapura dan Malaysia yang penduduknya hanya sedikit.

Wisnu menyoroti kemampuan tehnologi dalam menjaga keamanan pangan di tanah air yang relatif berjangka pendek.

"Kita butuh teknologi untuk menjaga ketahanan pangan yang lebih lama," tutur Wisnu di Focus Group Discussion (FGD) 'Krisis Pangan Global Mengintai, Bagaimana Indonesia' yang digelar Divisi Humas Polri, di Jakarta, Rabu (13/7/2022).

Apabila kebutuhan pangan tersedia dan harganya terjangkau, Wisnu meyakini, hal itu akan mempersempit keinginan seseorang melakukan tindak pidana. Untuk itu, Polri setiap hari memantau ketersediaan pangan di setiap daerah.

"Polri akan melakukan penindakan jika ada kelangkaan yang terjadi, karena pelanggaran pidana," tegas Wisnu.

Pada kesempatan yang sama, Guru besar Pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin, menilai, kekhawatiran adanya krisis pangan menyusul perang Rusia - Ukraina dan pandemi Covid 19 tidak akan separah krisis serupa pada 2008.

"Secara produksi tidak begitu berpengaruh. Tetapi, kita akan kesulitan CO2 yang membuat banyak tanaman tidak tumbuh," ungkap Bustanul.

Selain itu, sambung Bustanul, yang tidak kalah penting adalah inflasi yang berlebihan di sektor pangan.

"Ini nampaknya yang perlu diwaspadai kenaikan harga-harga pangan sehingga tidak terjangkau masyarakat," tutur Bustanul Arifin.

Kepala Litbang Kementan RI Fadjri Djufri, yang diwakili Priatna Sasmita, Kepala Pusat Penelitian Tanaman Pangan justru melihat bahwa krisis pangan kemungkinan terjadi karena supplay pangan turun, adanya peningkatan permintaan sehingga menjadikan pangan langka dan mahal.

Namun, untuk mengantisipasi hal itu, Priatna mengungkapkan, pemerintah telah menyiapkan  srategi dengan meningkatkan produksi pangan, pengembangan pangan substitusi impor, dan peningkatan nilai tambah dan daya saing ekspor.

Priatna memaparkan, nilai ekspor pertanian mencapai Rp 390,16T (2019), Rp 451,77 T (2020), dan Rp 625,04T (2021). Adapun neraca 2020: 5,94 juta ton surprus awal, produksi beras 31,33 juta ton, konsumsi 29,37 juta ton, stok Bulog 511 ribu ton. Total surplus akhir 2020 7,39 juta ton.

Sedangkan target neraca 2021: surplus awal 7,39 juta ton, produksi beras 31,82 juta ton, konsumsi 29,58 juta ton. surplus akhir 9,63 juta ton.

"Produktivitas padi/gabah indonesia tahun 2018 5,19 juta ton GKG/HA (kedua terbesar dari 9 negara FAO). Hanya kalah dari Vietnam 5,82 juta ton/Ha)," ungkap Priatna.

Sementara itu, Direktur Supplay Chain Perum Bulog, Mukhamad Suyamto mengemukakan, Bulog menyiapkan stok pangan minimal 3 bulan di tiap-tiap provinsi. Hanya saja diakuinya stok dimaksud lebih banyak berbentuk beras.

"Ini sesuai penugasan kepada Bulog," tandas Suyamto.
 

 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI