Ketua Komisi III DPR RI : OTT itu Murah Meriah dan Tidak Mereduksi Praktik Korupsi

Laporan:
Senin, 18 September 2017 | 15:50 WIB
Ketua Komisi III - Bambang Soesatyo
Ketua Komisi III - Bambang Soesatyo

sinpo, Jakarta - Penyergapan sejumlah kepala daerah melalui operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK lebih mencerminkan kegagalan sistem pencegahan korupsi .

Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo SE, MBA bahwa Pemberantasan korupsi yang terfokus pada penindakan tidak akan mereduksi praktik korupsi, baik sekarang maupun yang akan datang. Maka, sambil melanjutkan kegiatan penindakan yang berkualitas, KPK perlu memberi prioritas pada sistem pencegahan korupsi.

Ia pun menambahkan, cukuplah sudah KPK bertindak seperti polisi lalu lintas yang bersembunyi di semak-semak di tikungan jalan untuk mendapat tangkapan (OTT) pengendara yang melanggar rambu lalu lintas. KPK adalah burung Garuda yang mangsanya besar-besar, bukan burung perkutut, tegasnya.

Sudah saatnya KPK melakukan langkah-langkah besar dengan menangani pekerjaaan atau kasus-kasus korupsi besar yang tidak bisa diselesaikan atau dipecahkan di Kepolisian maupun di Kejaksaan. Kalau hanya mengandalkan OTT saja, ya kasihan negara ini. Ibarat menembak nyamuk pakai meriam, sindir bambang lewat rilisnya kepada sinpo.id.

Negara telah mengeluarkan dana yang sangat besar bagi gaji para penyidik, pimpinan dan pegawai KPK. Termasuk  juga biaya operasional, tunjangan, fasilitas sarana dan prasarananya serta kewenangan yang luar biasa dibandingkan dengan dua institusi penegak hukum lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan, imbuh Politisi Golkar ini.

OTT itu 'murah meriah', sambung bambang, Jadi Kalau KPK hanya menggelar OTT-OTT saja sebagai festivalisasi pemberantasan korupsi, tidak bisa dihindari adanya kesan KPK mau gampangnya saja karena hanya melakukan tindakan atau operasi 'murah meriah'. Dan itu tidak akan akan memberi efek jera yang signifikan. Lihat saja data, selama 15 tahun KPK berdiri praktik-praktik  koruptif semakin marak hampir di semua lini kehidupan bangsa ini.

Memang sudah puluhan kali KPK melakukan OTT, Target OTT nya pun tidak tanggung-tanggung. Ada sosok Akil Mochtar yang disergap saat masih menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi, ada pula sosok Patrialis Akbar yang disergap saat masih menjabat Hakim Konstitusi, lalu ada sosok Irman Gusman yang disergap saat masih menjabat Ketua DPD RI. Belum lagi penyergapan terhadap oknum hakim, oknum Jaksa dan penegak hukum lainnya, termasuk oknum pejabat di Mahkamah Agung (MA). Terakhir sasaran bergeser Bupati dan walikota terutama yang berasal dari PDIP dan Golkar, ungkap  Anggota DPR Fraksi Golkar dapil Jawa Tengah VII ini.

Bagi masyarakat pada umumnya, target-target besar yang berhasil dijaring KPK itu menjadi bukti bahwa KPK memang tidak pandang bulu. Secara psikologis, kinerja KPK itu mestinya membuat siapa pun takut atau jera. Sayang, nyatanya efek jera tidak pernah muncul. Sebaliknya, oknum pemerintah dan oknum anggota parlemen terus bertambah, ungkapnya.

Tidak adanya efek jera itu tampak sangat jelas dari rentetan OTT oleh KPK dalam beberapa pekan belakangan ini, Sabtu (16/9) pekan lalu, giliran Walikota Batu yang berasal dari PDIP yang terjaring OTT KPK. Dimana  sebelumnya Bupati Batubara dari Golkar yg kena OTT. Bisa dipastikan bahwa akan ada lagi oknum pemerintah yang terjaring OTT KPK.

Yang menjadi pertanyaan kita adalah, apakah OTT telah melalui prosedur hukum yg benar sebagaimana diatur dalam UU? Sebab, apa yg kerap terjadi dalam Berbagai penangkapan itu benar2 OTT atau jebakan?

Saya meyakini, apa yang dilakukan KPK sebelum penangkapan itu terjadi tidak mungkin tanpa penyadapan, perekaman, infiltrasi atau bahkan penyusupan.

Mereka yang jadi target operasi tersebut sebelum terjadinya penangkapan dalam OTT, jelas belum ada status kasusnya. Apakah itu tingkat penyelidikan atau tingkat penyidikan. Padahal dasar utk 'penyadapan' itu sebagai mana diatur dalam SOP KPK harus pada status penyelidikan (adanya bukti awal yang cukup) dan ditandatangani sekurang-kurangnya tiga dari lima pimpinan KPK yang ada.

Jadi, Bagaimana bisa menyadap atau OTT padahal tahapan penyelidikan saja belum?  Pertanyaannya kemudian adalah, apakah telah terjadi penyadapan liar atau illegal interception di KPK? Jika benar, hal ini adalah kejahatan.

Sebab, apapun alasannya, tindakan memata-matai itu dilarang. Negara asing tidak boleh melakukan mata-mata atau interception dgn alasan apapun termasuk alasan demokrasi, alasan HAM, alasan pemberantasan korupsi atau alasan pemberantasan narkotika.

Kalau asing saja dilarang, masak KPK dibiarkan untuk menyadap warga negaranya sendiri? Itu sama saja Kita belum merdeka. Kita hidup dalam ketakutan dan kecemasan, takut dan cemas setiap saat diintai, disadap dan direkam, ujar Ketua Bidang Hukum PB Perbakin ini.

Inilah titik rawan mengapa kita harus terus kritis dan tegas dalam hal pengawasan terhadap KPK agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang utk tujuan tertentu diluar hukum.

Saya juga berpendapat, jumlah penindakan atau OTT tidak bisa dijadikan satu-satunya tolok ukur keberhasilan pemberantasan korupsi. KPK perlu memberikan prioritas dan fokus pada sistem pencegahan. Dalam merumuskan program pencegahan korupsi, KPK tidak mungkin bisa bekerja sendiri. Minimal, KPK harus bekerjasama dengan inspektorat jenderal pada institusi kementerian serta inspektorat daerah pada tingkat pemerintah daerah.

Sudah 15 tahun KPK diberi tugas memerangi korupsi. Namun, pemberantasan korupsi baru sampai pada tahap penindakan. Banyaknya jumlah penindakan pun seharusnya dilihat sebagai aib atau kegagalan pemberantasan korupsi itu sendiri. 

Efek jera sangat minim karena peluang melakukan korupsi masih sangat terbuka. Peluang melakukan korupsi mestinya bisa diminimalisir jika ada sistem pencegahan yang efektif, tutup Ketua Bappilu Golkar Jawa II ini.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI