Guna Mengatur Tata Cara Penyadapan, Diperlukan Payung Hukum Setingkat UU
Jakarta, sinpo.id - Anggota Komisi III DPR RI Wihadi Wiyanto, mendukung rencana Komisi III DPR untuk membuat RUU tata cara penyadapan. Menurutnya, masalah penyadapan adalah hal yang sangat sensitif dan ada beberapa lembaga yang bisa mempunyai kewenangan melakukan penyadapan. Disisi lain, Mahkamah Kontitusi (MK) telah memutuskan, bahwa penyadapan harus diatur oleh payung hukum setingkat UU
"Jadi, UU penyadapan memang perlu ada, sehingga ada aturan-aturan penyadapan yang harus di taati antar lembaga," kata Wihadi dikutip dari sinpo.id, Kamis(14/9).
Politikus Gerindra ini menilai, jika tidak ada payung hukum untuk mengatur masalah UU penyadapan. Maka, masing-masing antar aparat penegak hukum bisa menyadap orang lain sehingga terjadi tarik menarik informasi.
"Dan karena juga penyadapan masuk ke ruang privacy dari seseorang, maka perlu di bekali payung hukum agar tidak di pergunakan untuk hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan masalah pro justitia atau masalah teroris," lanjutnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, penyusunan RUU merupakan tindak lanjut dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatakan, bahwa penyadapan merupakan bentuk pembatasan terhadap hak privasi seseorang yang merupakan bagian dari HAM dan seharusnya diatur dengan undang-undang.
"Maka, kami Komisi III DPR akan ambil inisiatif untuk membuat RUU tata cara penyadapan sebagai inisiatif DPR," papar Bambang di gedung DPR, Selasa (12/9/2017).
Menurut Bambang, pengaturan tersebut perlu diatur setingkat UU agar penyadapan yang berlaku di lembaga penegak hukum maupun yang terkait, seragam. Sebab, selama ini tata cara penyadapan yang harus terlebih dahulu memperoleh izin pengadilan, tidak berlaku untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Intelijen Negara (BIN) yang bukan pro justitia.
"Karena, penyadapan itu bukan hanya hak KPK. Namun ada di berbagai lembaga negara lainnya seperti BIN, BNN, BNPT, dll. Memang hanya KPK lah yang tidak membutuhkan izin, sementara lembaga lain membutuhkan perizinan. Kecuali juga BIN, tapi bukan pro justitia," cetusnya.
Oleh sebab itu, Komisi III DPR telah menunjuk anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP sebagai penanggung jawab penyusunan RUU tersebut. Nantinya, penyusun tersebut akan segera mulai melaksanakan dan mengundang berbagai pendapat akademisi untuk menyusun RUU tersebut.
Kemungkinan, pembahasan RUU baru bisa dimulai pada tahun 2018, sebab ia menargetkan akhir 2017 penyelesaian draft RUU. Jika RUU itu telah selesai, maka semua tata cara prosedur penyadapan akan mmegacu pada aturan tersebut, tak terkecuali KPK.
"Saat pembahasan, kita undang KPK juga untuk ikut membahas. Bagaimana bentuk hasil UU nya kan tidak bisa DPR yang menentukan, tapi bersama Pemerintah Stakeholder seperti BIN, BNN, Kepolisian, Kejaksaan, BNPT dan KPK," tutup Politikus Partai Golkar ini.

