Inefisiensi Birokrasi Jadi Masalah Besar Setelah Korupsi

Laporan:
Rabu, 13 September 2017 | 17:42 WIB
Foto: Istimewa
Foto: Istimewa

Jakarta, sinpo.id - Pemerintah telah meluncurkan paket kebijakan ekonomi jilid 16. Paket tersebut berisikan tentang upaya percepatan penerbitan perizinan berusaha dari tingkat pusat hingga daerah.

Pemerintah menyadari kondisi pelayanan saat ini yang belum optimal. Misalnya saja, perizinan masih bersifat parsial dan tidak terintegrasi, sekuensial (berurutan), belum seluruhnya menggunakan teknologi informasi (online), waktu penyelesaian dan biaya perizinan yang tidak jelas, serta paradigma di tubuh birokrasi sendiri sebagai "pemberi izin" dan belum "melayani".

Di samping itu, beberapa indikator juga menunjukkan bahwa kinerja realisasi investasi, meski tumbuh tetapi masih di bawah target yang ditetapkan. Di antaranya realisasi investasi dunia ke Indonesia masih rendah (1,97 persen) dengan rata-rata per tahun (2012-2016) sebesar 1.417,58 miliar dollar AS.

Menanggapi paket kebijakan ekonomi jilid 16 yang sudah dikeluarkan tersebut, anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menyebut paket ekonomi yang dikeluarkan kali ini bukanlah "barang baru". Karena sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2005 di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kemudian diperkuat dengan ditetapkannya UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik.

"Saya melihat bahwa ujung dari kebijakan tersebut adalah terwujudnya pelayanan perizinan yang terintegrasi atau, dalam istilah pemerintah, disebut Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Sebetulnya PTSP Itu sudah dimulai sejak tahun 2005," ujarnya melalui keterangan tertulis.

Walau begitu, Heri Gunawan setuju dengan perbaikan birokrasi ini. Karena ia melihat adanya masalah rumit  yang sering dikeluhkan oleh masyarakat, terutama investor, yaitu terkait kecepatan penanganan.

"Faktor inefisiensi birokrasi masih menjadi masalah yang menghambat daya saing kita. Tidak main-main, inefisiensi birokrasi menjadi masalah besar setelah korupsi," pungkasnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI