Amnesty Minta Jokowi Perintahkan Kapolri Usut Dugaan Penembakan Pengunjuk Rasa Di Sulteng
SinPo.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta untuk memerintahkan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo untuk melakukan pengusutan terkait dugaan penembakan terhadap pengunjuk rasa menolak tambang di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Senin (14/2).
"Kami mendesak Presiden agar memerintahkan Kapolri untuk mengusut kejadian ini dan menindak dan menghadapkan pelakunya ke peradilan umum," ujar Usman.
Usman mengatakan seluruh kejadian saat insiden itu dilakukan secara brutal, bahkan dia sudah mendapatkan informasi adanya korban tewas dalam penembakan tersebut.
Dia menjelaskan pihaknya secara tegas menyatakan penembakan terhadap pengunjuk rasa damai yang menolak pertambangan di Kabupaten Parigi Moutong tidak bisa dibenarkan.
"Aparat penegak hukum harus segera mengusutnya, termasuk menginvestigasi aparat yang terlibat penembakan atau tindakan lain yang sangat merendahkan martabat manusia," jelasnya.
Usman juga turut menyoroti pemberian sanksi kepada aparat kepolisian yang diduga turut terlibat dalam aksi penembakan kepada warga.
Menurutnya, sejauh ini belum ada sanksi yang tegas kepada aparat kepolisian yang memang terlibat dalam insiden penembakan hingga akhirnya menimbulkan korban jiwa.
Maka dari itu, Usman meminta kepada Kapolri untuk sedianya tegas memberikan sanksi kepada anggotanya jika memang didapati berperan dalam penembakan khususnya pada kasus di Parimou ini.
"Sanksi disiplin seperti yang selama ini diterapkan, jauh dari standar hukum yang benar, apalagi rasa keadilan masyarakat," tegasnya.
Lebih lanjut, Usman juga mendesak kepada Komnas HAM untuk melakukan pengusutan serupa. Sebab kata dia, dengan telah terjadinya penembakan hingga mengakibatkan satu korban jiwa, maka hal itu sudah merendahkan martabat manusia dan adanya potensi pelanggaran HAM.
"Kami mendesak Komnas HAM untuk melakukan investigasi yang kredibel atas kasus ini," tambahnya.
Sebagai informasi, pada Sabtu (12/2) Amnesty Internasional Indonesia menerima laporan, terdapat sekitar 700 orang dari Kecamatan Kasimbar, Kecamatan Tinombo Selatan, dan Kecamatan Toribulu melakukan unjuk rasa.
Di mana dalam aksinya itu, ratusan masa aksi melakukan blokade jalan Trans Sulawesi dalam rangka mengekspresikan penolakan mereka terhadap tambang emas yang beroperasi di daerah tersebut.
Menurut informasi yang diterima Amnesty, pada sekitar pukul 20.30 waktu setempat, anggota Brimob diturunkan ke lokasi untuk membubarkan massa aksi.
Selanjutnya, pada sekitar pukul 24.00, polisi menembakkan gas air mata dan terjadi aksi saling lempar antara massa dan polisi. Ironisnya pada sekitar pukul 01.30, seorang warga Kecamatan Tinombolo Selatan tertembak di dada dan akhirnya meninggal dunia.
Padahal menurut Amnesty, aksi dari masyarakat itu dijamin oleh undang-undang, di mana ada hak atas kebebasan berkumpul dan berekspresi sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, serta Pasal 24 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Bahkan kata Usman Hamid, pada Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) sekalipun secara eksplisit menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 dan hak untuk berkumpul secara damai, sebagaimana diatur dalam Pasal 21. Beleid itu mengikat seluruh negara termasuk Indonesia. Tak hanya itu, ada juga aturan yang memuat terkait dengan penggunaan senjata api untuk anggota kepolisian.
Di mana kata dia, pengunaan senjata api secara berlebihan telah tidak sesuai dengan ketentuan pada Pasal 3 Peraturan Kapolri No. 1/2009 tentang Pengunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian serta Pasal 9 dan Pasal 11 Peraturan Kapolri No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

