Serangan AS Di Bendungan Terbesar Suriah Masih Hantui Warga Sipil Setempat

Laporan: Samsudin
Jumat, 04 Februari 2022 | 08:03 WIB
Serangan AS di bendungan Suriah 2017 silam masih membekas di hati warga setempat/dok via Xinhua
Serangan AS di bendungan Suriah 2017 silam masih membekas di hati warga setempat/dok via Xinhua

SinPo.id - Serangan Amerika Serikat ke bendungan terbesar Suriah, Tabqa, pada 2017 masih menyisahkan trauma bagi warga sipil setempat yang mengira serangan tersebut adalah perbuatan ISIS, yang saat itu mengendalikan Kota Tabqa dan bendungan tersebut.

Namun, ternyata itu adalah serangan Amerika Serikat (AS) terhadap bendungan strategis Suriah, yang juga dikenal sebagai Bendungan Efrat, yang mengendalikan waduk sepanjang 40 kilometer.

“Ketika militan ISIS menguasai Tabqa dan bendungannya, kami pikir mereka akan mengebom bendungan itu jika mereka harus melakukannya, tetapi tidak pernah terpikir oleh kami bahwa Amerika-lah yang melakukannya karena mereka menggambarkan diri mereka sebagai pasukan yang memerangi terorisme," kata Muhammad Ani (27), penduduk Kota Tabqa, melansir Xinhua, Jumat (4/2).

Pengeboman bendungan pada 26 Maret 2017 itu menyebabkan kerusakan sarana penting. Sungai itu tidak bisa mengalir dan air waduk mulai meluap, yang memicu evakuasi penduduk ke hilir.

Masyarakat Tabqa hidup dalam ketakutan, karena bencana kemanusiaan akan muncul jika bendungan itu runtuh, kata Ani.

"Apakah menyerang militan ISIS merupakan alasan yang cukup untuk membahayakan nyawa warga sipil?" tanya Ani.

Setelah serangan itu, Ani meninggalkan Tabqa dan mencari perlindungan di Provinsi Hasakah di Suriah timur laut. Ia merasa tidak aman meski beberapa pekerjaan perbaikan kemudian dilakukan di area bendungan itu.

Sementara itu, Khaled Abu Ahmad, yang juga penduduk setempat, memilih untuk tetap tinggal di Tabqa setelah serangan mendadak AS di bendungan itu.

"Ketika serangan AS pada 2017 terjadi, itu mengguncang daerah kami. Kami meninggalkan rumah kami untuk melihat apa yang terjadi dan kami menemukan kerusakan besar di tiga tempat di Tabqa ... Kerusakan properti sipil sangat jelas," kata pria berumur 54 tahun itu.

Ahmad mengingat bahwa sebuah bus yang membawa warga sipil berusaha melarikan diri dari Tabqa setelah serangan itu, tetapi "pesawat-pesawat tempur AS mengejar dan menabraknya."

"Kota itu mengalami kengerian yang tak terlupakan selama serangan tersebut dan penduduk takut bendungan itu akan runtuh dan membunuh setiap makhluk hidup di sekelilingnya," katanya, menggambarkan hari-hari setelah serangan itu sebagai "kelam dan menyedihkan" karena penduduk hidup tanpa listrik, makanan, atau kebutuhan hidup lainnya.

Waktu berlalu dan Pasukan Demokratik Suriah Kurdi yang didukung AS mengambil alih bendungan itu setelah kekalahan ISIS. Namun, ingatan suram itu masih tertinggal dan bahkan diperkuat oleh serangan udara AS baru-baru ini terhadap lingkungan Gweiran di Hasakah dengan dalih menargetkan buronan ISIS dari penjara yang dikuasai Kurdi di daerah tersebut.

Osama Danura, seorang pakar politik yang berbasis di Ibu Kota Damaskus, mengatakan kepada Xinhua bahwa selama perang Suriah, AS mengabaikan kehidupan warga sipil dan terkadang dengan sengaja menargetkan warga sipil, terutama mereka yang menentang "proyek okupasinya."

"Selama AS masih menganggap dirinya di atas hukum internasional, hal-hal seperti itu pasti akan terulang di lebih banyak tempat," katanya, seraya mencatat apa yang terjadi di Raqqa "bisa setara dengan kejahatan perang."

Membantah apa yang disebut perang melawan teror oleh pasukan AS di Suriah, Danura mengatakan kampanye AS tidak sepenuhnya mengakhiri ISIS atau kelompok radikal lainnya, seraya menyerukan pasukan AS untuk berhenti menggunakan dalih memerangi ISIS sebagai alasan untuk terus menduduki sebagian wilayah Suriah.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI